Popular Post

Posted by : Unknown Senin, 02 Desember 2013

 BY. ISHAK HARIYANTO
I.                   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu-ilmu alam sejak abad ke-17, dan meruncing pada abad ke-18 dengan model fisika Newton mempengaruhi pemikiran filosofis. Kehancuran tatanan feodal dan gereja tradisional, dan juga sistem metafisika, membuat para pemikir abad ke-19 cenderung menemukan sistem integrasi yang baru. Salah satu caranya adalah membuat sebuah rekonstruksi historis tentang sistem pengetahuan manusia melalui tahap-tahap sehingga secara reflektif jelas kesatuannya dalam setiap tahap. Di abad ke-18, Condorcet dan Turgot telah mencoba merekonstruksi semacam itu, dan di abad ke-19, Saint-Simon juga membuat hal yang sama.[1]
Pada abad ke-19 meruapakan abad yang sangat dipengaruhi oleh filsafat Positivisme dalam bidang ilmu pengetahuan. Dalam masyarakat Barat, orang sering menyatakan bahwa abad ke 19 merupakan Abad Positivisme, yaitu suatu pikiran ilmiah, atau apa yang disebut ilmu pengetahuan modern. Kebenaran atau kenyataan filsafati dinilainya dan diukur menurut nilai positivistiknya, sedangkan perhatian pada filsafat, lebih ditekankan pada segi-seginya yang peraktis bagi tingkah laku dan perbuatan manusia. Jadi dunia yang abstrak tidak lagi dianggap penting.[2]
Auguste Comte adalah figur yang paling representatif untuk positivisme sehingga dia dijuluki Bapak Positivisme. Namun istilah Positivisme digunakan pertama kali oleh Saint Simon (sekitar 1825). Positivisme berakar pada empirisme. Prinsip filosofik tentang positivisme dikembangkang pertama kali oleh Francis Bacon (sekitar 1600). Tesis positivisme adalah: bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subyek dibelakang fakta, menolak segala penggunaan metode diluar yang digunakan untuk menelaah fakta. [3]
B.     Rumusan Masalah
1.      Apapengertian epistemologi?
2.      bagaimana dasar pemikiran Auguste Comte dalam unsur-unsur ilmu pengetahuan, terutama dalam ranah epistemologinya.

C.     Tujuan dan Manfaat Penulisan
            Adapun tujuannya yaitu untuk mendorong para generasi calon pemikir-pemikir Islam untuk lebih kritis dalam memahami kebenaran yang tidak hanya didapatkan dalam satu metode berfikir saja, tapi juga dapat mengkomparasikan berbagai macam metode berfikir tersebut untuk kemajuan pemikiran.


D.    Pengertian epistemologi
     kata epistemologi berasal dari kata yunani Episteme: pengetahuan dan logos: ilmu, maka secara sederhana epistemologi dapat dimaknai dengan teori pengetahuan. Epistemologi, sebagai ditegaskan Amin Abdullah, sedikitnya membahas tiga persoalan mendasar; pertama, sumber pengetahuan; dari mana dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan yang benar. Kedua, sifat pengetahuan ;apakah segala sesuatu itu bersifat fenomenal (tampak) ataukah essensial, Ketiga, validitas atau kebenaran suatu pengetahuan, bagaimana pengetahuan yang benar dan yang salah dapat dibedakan.
     Sedikitnya ada dua paradigma pemikiran dalam menjawab persoalan epistemlogi tersebut. Pertama, idealisme atau nasionalisme menitikberatkan pada pentingnya peranan ide, kategori atau bentuk-bentuk yang terdapat pada akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. Plato ( 427-347 SM), seorang bidan bagi lahirnya janin idealisme ini, menegaskan bahwa hasil pengamatan inderawi tidak dapat memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang selalu berubah-ubah (Amin Abdullah;1996). Sesuatu yang berubah-ubah tidak dapat dipercayai kebenarannya. Karena itu suatu ilmu pengetahuan agar dapat memberikan kebenaran yang kokoh, maka ia mesti bersumber dari hasil pengamatan yang tepat dan tidak berubah-ubah. Hasil pengamatan yang seperti ini hanya bisa datang dari suatu alam yang tetap dan kekal. Alam inilah yang disebut oleh guru Aristoteles itu sebagai alam ide, suatu alam dimana manusia sebelum ia lahir telah mendapatkan ide bawaannya (S.E Frost;1966). Dengan ide bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatu sehingga lahirlah ilmu pengetahuan. Orang tinggal mengingat kembali saja ide-ide bawaan itu jika ia ingin memahami segala sesuatu. Karena itu, bagi Plato alam ide inilah alam realitas, sedangkan alam inderawi bukanlah alam sesungguhnya.
II.                BIOGRAFI AUGUSTE COMTE
A.    Sejarah Kehidupan Auguste Comte
Dalam memahami perkembangan dan ide-ide pemikiran Auguste Comte, terlebih dahulu kita harus memehami sejarah kehidupannya, baik dalam konteks sosial maupun intelektualnya semasa hidupnya. Auguste Comte atau lengkapnya Isidore Auguste Marie Francois Xavier  Comte lahir di Mountpellier, Prancis, 19 januari 1798 dari kelurga yang beragama Katolik.
Pada usia 25 tahun Comte menjalani studi di Ecole Polytechnique  di Paris. Disana dia mempelajari pemikiran-pemikiran kaum idiolog, juga pemikiran Hume dan Condorcet. Pada saat menjalani studinya, Ia mengalami suasana pergolakan sosial, intelektual, dan politik. Comte seorang mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak. Dia meninggalkan Ecole Polytechnique setelah seorang mahasiswa yang memberontak dalam mendukung Napolion dipecat.
Walaupun Comte telah banyak memperoleh pendidikan seperti pendidikan matematika, namun fokus perhatiannya tertuju pada masalah-masalah kemanusiaan dan sosial. Minat ini berkembang setelah berkenalan dengan Saint-Simon yang sekaligus banyak mempengaruhi pemikirannya, dan mempekerjakan Comte sebagai sekretarisnya. Dengan bekerja sebagai sekretaris, Comte juga menjalin kerjasama dalam mengembangkan karya awalnya sendiri.
B.     Karya Pemikiran Auguste Comte
Karya utama Auguste Comte yang berjudul Cours De Philosophi Positif, menjelaskan bagaimana perkembangan jiwa manusia baik secara individual maupun keseluruhan di bagi dalam tiga tahap, yaitu tahap teologi, metafisika, dan positif. Pada tahap positif inilah manusia berkembang dalam pengetahuannya.
III.    SUMBER DAN INSTRUMEN PENGETAHUAN
Dalam Cours De Philosophie Positive, Comte menjelaskan bahwa munculnya ilmu-ilmu alam tak bisa dipahami secara terlepas dari sejarah perkembangan pengetahuan umat manusia dari abad ke abad. Sejarah pengetahuan itu berkembang  melalui tiga tahap, yang ia sebut sebagai tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap positif. Ketiga tahap ini dipahami Comte sebagai tahap-tahap perkembangan mental umat manusia sebagai suatu keseluruhan, dan juga bersesuaian dengan tahap-tahap perkembangan individu dari masa kanak-kanak, melalui masa remaja, ke masa dewasa.[4]
Hukum tiga tahap merupakan unsur pokok dalam filsafat positivisme Auguste Comte, karena dalam hukum inilah tercermin arti, makna, serta sifat seluruh pandangannya. Hukum tiga tahap ini, Ia jadikan titik tolak untuk menerangkan ajarannya tentang sejarah, ilmu pengetahuan, masyarakat, dan agama. Sejarah umat manusia, juga jiwa manusia, baik secara individual maupun secara keseluruhan, berkembang menurut tiga tahap ini yaitu:
1.      Tahap teologi atau fiktif
Tahap teologi atau fiktif merupakan tahap perkembangan jiwa atau mental masyarakat. Dalam perkembangan ini manusia selalu berusaha untuk mencari dan menemukan sebab-sebab awal dan akhir dari segala sesuatu yang ada. Gejala, fenomena, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia selalu dikaitkan dengan sesuatu yang mutlak dalam konteksnya. Menurut Comte tahap teologi atau fiktif ini tidak akan muncul begitu saja, melainkan didahului pula oleh suatu perkembangan secara bertahap, yaitu:
a.       Tahap Fetisyisme, [5] yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang di dasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan, bahwa segala sesuatu yang berada di sekeliling manusia mempunyai suasana kehidupan yang sama seperti manusia sendiri dan bahkan keberadaannya mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia. Adapun yang dimaksud dengan segala sesuatu tersebut adalah benda-benda alam seperti gunung, sungai, pohon, dan lain-lain termasuk benda-benda yang dibuat sendiri seperti alat-alat, senjata, dan lain-lain.
b.      Tahap Politeisme [6], yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang di dasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan, bahwa kekuatan tidak lagi berasal dari benda-benda melainkan berasal dari makhluk-makhluk yang yang tidak kelihatan yang berada di sekeliling manusia. Sehingga segala tingkah laku manusia disesuaikan dengan keinginan para makhluk-makhluk yang tidak kelihatan tadi. Dalam bentuk pemikiran seperti inilah dalam kehidupan manusia timbul kepercayaan bahwa setiap gejala dan peristiwa alam dikuasai dan diatur  oleh dewanya masing-masing.
c.       Tahap Monoteisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang di dasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan, bahwa kekuatan tidak lagi berasal dari dewa-dewa yang menguasai dan mengatur benda-benda atau segala gejala alam dan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan manusia, tetapi melainkan berasal dari suatu kekuatan mutlak, adikodrati, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga segala tingkah laku dan perbuatan manusia hanya ditujukan dan berorientasi kepada Tuhan sesuai dengan dogma-dogma agama yang dianutnya.
2.      Tahap metafisik atau abstrak
Tahap metafisik atau abstrak menurut Auguste Comte merupakan tahap peralihan. Sebagaimana perkembangan menuju ke masa dewasa melalui masa kanak-kanak ke masa remaja., sehingga tahap metafisik dalam perkembangan manusia merupakan tahap yang akan mengantarkan perubahan yang amat mendasar bagi perkembangan jiwa manusia menuju perkembangannya yang paling akhir. Walaupun dalam tahap metafisik jiwa manusia masih dipengaruhi seperti dalam tahap teologi, namun manusia disini sudah mampu melepaskan diri dari kekuatan adikodrati, dan beralih kepada kekuatan abstraksinya. Dengan demikian, peralihan ke tahap ini diselesaikan sesudah seluruh konsep mengenai kekuatan-kekuatan adimanusiawi diubah menjadi konsep-konsep abstrak mengenai alam sebagai keseluruhan. tidak ada lagi Allah dan dewa-dewa, yang ada adalah entitas-entitas abstrak yang metafisis.








3.      Tahap positif atau riil
Dalam perkembangan jiwa manusia tidak lagi puas dengan hal-hal yang bersifat abstrak. Manusia tidak lagi berkpentingan dengan hal-hal yang berkaitan dengan sebab pertama atau tujuan akhir, tidak lagi menjelaskan sebab-sebab diluar fakta yang teramati. Pikiran hanya memusatkan diri pada faktual yang sebenarnya bekerja menurut hukum-hukum umum, misalnya hukum grafitasi. Pada tahap inilah ilmu berkembang penuh. Ilmu pengetahuan tidak hanya melukiskan yang real yang dapat dicapai melalui pengamatan, percobaan, perbandingan, di atas hukum-hukum yang umum, tapi juga bersifat pasti dan berguna. [7]
Dengan keyakinan hukum tiga tahap ini, Auguste Comte melihat sejarah sebagai suatu derap atau gerak perkembangan yang dapat mengantarkan setiap orang atau masyarakat ke masa depan yang sama yaitu kemajuan atau progress. Dengan semboyannya “Savoir pour prevoir” disertai “Orde et Progres”, memberi petunjuk bahwa makna perkembangan yang tersirat dalam hukum tiga tahap, tidak lain bersifat positif dalam arti suatu kemajuan.
Dalam karyanya Discours sur lesprit positif, secara eksplisit Auguste Comte menerangkan yang dimaksud positif [8] yaitu:
1.      Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bersifat khayal, maka pengertian positif  sebagai sesuatu yang nyata.  Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa filsafat positivisme itu, dalam penyelidikan obyek sasarannya didasarkan pada kemampuan akal, sedangkan hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal tidak akan dijadikan sasaran penyelidikan.
2.      Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang tidak bermanfaat, maka pengetian positif sebagai suatu yang bermanfaat. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa filsafat positivisme, bahwa segala sesuatu harus diarahkan kepada pencapaian kemajuan.
3.      Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang meragukan, maka pengertian positif diartikan sebagai sesuatu yang sudah pasti. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa filsafat positivisme, bahwa filsafat harus sampai pada keseimbangan yang logis yang membawa kebaikan  bagi setiap individu dan masyarakat.
4.      Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang kabur, maka pengertian positif diartikan sebagai suatu yang jelas atau tepat. Hal ini sesuai dengan ajarannya bahwa dalam pemikiran filsafati, kita harus dapat memberikan pengertian yang jelas atau tepat, baik mengenai gejala-gejala yang nampak maupun mengenai apa yang kita sebenarnya butuhkan, sebab cara berfilsafat yang lama hanya memberikan pedoman yang tidak jelas,  dan hanya mempertahankan disiplin yang diperlukan dengan mendasarkan diri pada kekuatan adikodrati.
5.      Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang negatif, maka pengertian positif dipergunakan untuk menunjukkan sifat-sifat pandangan filsafatnya yang selalu menuju kearah penataan atau penertiban.
Pengertian positif ini oleh Auguste Comte dipergunakan untuk menunjukkan ciri perbedaan dengan pandangan filsafat lama yang bercorak teologik dan metafisik.
IV.    METODE AUGUSTE COMTE
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan Comte melukiskan kemajuan manusia ditunjukka pada perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan konkrit. Menurut Comte, semua ilmu pengetahuan memusatkan diri pada kenyataan factual, dan karena kenyataan factual ini berbeda-beda, harus ada perbedaan sudut pandang dari ilmu pengetahuan. Untuk menetapkan ilmu-ilmu khusus, Comte berusaha menemukan ilmu-ilmu yang bersifat fundamental. Dalam hal ini, Comte menyebutkan ada enam ilmu fundamental, yakni: matematika, astronomi, fisika, kimia, fisiologi, biologi, dan fisika sosial (atau sosiologi).[9]
Keenam llmu dasar tersebut di urutkan sedemikian rupa mulai dari yang paling abstrak ke yang paling konkrit, yang kemudian tergantung pada yang terdahulu. Misalnya matematika lebih abstrak dari astronomi, dan astronomi tergantung pada matematika. Fisiologi dan biologi menyelidiki hukum-hukum umum yang mengatur makhluk hidup, dan keduanya tergantung pada kimia yang menyelidiki perubahan zat, tetapi juga lebih abstrak dari sosiologi. Sebagai ilmu pengetahuan terakhir, menurut Comte, sosiologi baru berkembang sesudah ilmu-ilmu lain menjadi matang. Matematika menurut comte sebagai pangkal model metode ilmiah bagi ilmu-ilmu lainnya. Namun menurut Comte, pada sosiologi ilmu-ilmu mencapai tahap positifnya, yakni secara penuh memakai metode ilmiah untuk menyelidiki fakta yang paling konkrit, yakni prilaku social manusia.[10]
Dalam penggolongan ilmu pengetahuan yang didasarkan atas gejala-gejala yang paling sederhana, umum atau abstrak, menuju ketingkat gejala-gejala yang semakin jelas, khusus, dan konkrit, Auguste Comte menggunakan metode pengamatan, pencobaan dan perbandingan, kecuali dalam menghadapi gejala-gejala dalam fisika sosial, yang tahap perkembngannya masih belum sampai pada tingkat yang positif, disni Comte menambahkan metode sejarah. Comte menerapkan metode-metode ini pada ilmu pengetahuan seperti:
1.      Dalam ilmu perbintangan (astronomi).
Metode yang digunakan adalah pengamatan dengan menggunakan dasar-dasar ilmu pasti, semua pengamatan astronomi terdiri atas ukuran-ukuran waktu dan sudut. Dalam pengamatannya harus menggunakan alat-alat pengukuran yang sempurna, dan menggunakan dasar teori-teori tertentu.
2.      Dalam ilmu alam (fisika)
Dalam penelitian ilmu alam, disini banyak menghadapi rangkaian gejala yang lebih kompleks, sehingga disamping pengamatan, metode yang digunakan juga metode percobaan. Percobaan disini menggambarkan suatu cara, berupa pengamatan yang dilakukan terhadap rangkaian gejala alamiah, dengan menempatkan benda-benda untuk membuat gejala tiruan menyerupai gejala alamiah yang akan diselidiki itu, yang dengan sengaja dibuat untuk memungkinkan penyelidikan dapat dilakukan.[11]
3.      Dalam ilmu kimia
Dalam ilmu kimia ini pengamatan mulai bekerja dengan sesungguhnya, karena sebelumnya pengamatan hanya dilakukan oleh sebagian dari indra kita. Artinya, apabila ilmu perbintangan pengamatannya dilakukan oleh pengelihatan saja dan dalam ilmu alam menggunakan pendengaran dan perabaan, maka dalam ilmu kimia ini, indra perasa dan penciuman harus digunakan. Karena kedua indra ini sangat penting dan satu-satunya cara untuk menemukan dan mengenali hasil yang ingin dicapai.
Kedua indra yang di atas menurut Comte khusus dipergunakan untuk mengamati gejala-gejala yang tersusun dan terurai, karena menurutnya pengamatan melalui kedua indra tersebut tidak ada yang bersifat kebetulan atau empirik, karena teori fisiologi menunjukkan bahwa indra perasa dan penciuman bekerja secara kimiawi. Disini metode yang digunakan adalah metode perbandingan.[12]


4.      Dalam ilmu biologi
Dalam ilmu biologi pengamatan diterapkan secara lebih luas, sebab apabila dalam ilmu kimia menggunakan lima macam indra kita, maka dalam ilmu biologi selain menggunakan indra juga dilengkapi dengan sarana-sarana buatan sehingga kita dapat mengadakan pengamatan secara langsung terhadap bagian-bagian organik yang terkecil yang merupakan dasar bagi gejala-gejala kehidupan yang paling kecil dan juga sebagai sarana untuk melengkapi ketepatan hasil pengamatan. 
5.      Dalam ilmu fisika sosial (sosiologi)
Sosiologi sebagai ilmu dalam urutan tertinggi dalam penggolongan ilmu pengetahuan, sesuai dengan asas yang dipergunakan meliputi gejala-gejala yang paling kompleks, khusus, dan konkrit dalam melakukan penyelidikan. Comte dalam hal ini membedakan metode langsung dengan metode tidak lamgsung. Metode langsung dalam penyelidikannya menggunakan pengamatan, percobaan, dan perbandingan. Sedangkan metode tidak langsung yaitu metode yang timbul dari hubungan fisika dengan ilmu lain.
Metode pengamatan disini sangat diperlukan sejalan dengan semakin kompleksnya gejala-gejala yang dihadapi. Comte juga menekankan bahwa pengamatan statis mengenai suatu kelompok gejala harus disertai dengan pengetahuan tentang hukum intraksi sosial, sedangkan gejala-gejala dinamis tidak akan memperoleh arah yang pasti jika tidak dikaitkan dengan hukum perkembangan sosial melalui hipotesis yang sifatnya sementara.
Metode percobaan walaupun diakui Comte akan kegunaannya yang kurang dan tidak sesuai untuk di terapkan dalam ilmu sosial. Karena menurutnya percobaan tidak mungkin dilakukan dalam ilmu sosial apabila terlalu sulit untuk diadakan ditengah-tengah kompleksnya gejala-gejala yang dihadapi.
Dalam metode perbandingan, Auguste Comte mengemukakan adanya perbandingan dengan inferior aimals, yaitu metode yang tidak pernah digunakan karena pengaruh filsafat teologik-metafisik. Disini dikemukakan adanya perbandingan tahap-tahap perkembangan masyarakat yang berlangsung dalam waktu yang bersamaan.
Dengan mengkaji petunjuk-petunjuk yang diperoleh melalui analisis ejarah, metode perbandingan dapat mengisi kekurangan yang masih ada. Metode sejarah dalam rangka perbandingan ini merupakan satu-satunya dasar yang dapat membantu logika politik. Disini Comte mengemukakan metode perbandingan sejarah dari tahap-tahap perkembangan yang berlangsung dalam kehidupan manusia. Dengan menitik beratkan metode sejarah ini, sifat filsafat sisiologi akan nampak, baik dalam arti logis maupun ilmiah. Menurut Comte disamping pengamatan, percobaan, dan perbandingan, metode sejarah merupakan metode ke-empat untuk melakukan pengamatan yang harus digunakan untuk menguraikan gejala-gejala yang paling kompleks.[13]
6.      Dalam ilmu matematika
Matematika merupakan ilmu yang berdiri di urutan pertama dalam penggolongan ilmu pengetahuan, karena menurut Comte ilmu pasti merupakan dasar bagi kelima ilmu pengetahuan lainya.  Menurutnya Ilmu pasti merupakan sarana yang paling tepat bagi manusia untuk menyelidiki gejala-gejala alam yang paling sederhana, baik yang umum maupun yang abstrak.
Dengan membagi ilmu pasti menjadi bagian yang abstrak dan bagian yang kongkret, karena bagian yang abstrak ini merupakan dasar untuk mengetahui bagian yang kongkret, sebab ilmu pasti bagian yang kongkret yang terdiri atas geometri dan mekanika merupakan dasar semua filsafat alam. Bagian ilmu pasti yang abstrak disebutkan sebagai satu-satunya yang berfungsi sebagai alat , karena ia merupakan “being simply an immense extension of natural logicto a certain order of deduction”, sedangkan geometri dan mekanika dipandang sebagai ilmu alam yang sebenarnya yang melalui pengamatan gejala-gejala walaupun gejala-gejala itu sifatnya sangat sederhana mereka dapat disusun menjadi sesuatu yang lebih sempurna.
Demikianlah pengertian positif menurut pandangan filsafat Auguste Comte, sebagaimana tercermin dalam pembatasan yang ia berikan mengenai istilah positif itu sendiri, serta tercermin pula dalam metode penyelidikan yang ia gunakan.[14]











                                              
DAFTAR PUSTAKA
F.Budi Hardiman. Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Erlangga.
Koento Wibisono Siswomihardjo, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.
Noeng Muhaddjir, Filsafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme, dan Modernisme. Yogyakarta: Rakesarasin, 2001.
Lorens Bagus. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.
http://www.goodreads.com.

                                              






[1] F.Budi Hardiman. Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Erlangga), hlm. 177.
[2] Koento Wibisono Siswomihardjo, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), hlm. Xiii.
[3] Noeng Muhaddjir, Filsafat Ilmu, Positivisme, Post Psitivisme, dan Modernisme, (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001), hlm. 69.
[4] F. Budi Hardiman. Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Erlangga), hlm. 178.
[5] Itilah fetisyisme disini terdapat beberapa pengertian, diantaranya yaitu:Dalam antropologi, istilah fetishisme menunjukkan kultus kepada jimat yang diyakini sebagai suatu yang memiliki kekuatan, roh atau adikodrati. Lorens Bagus. Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 240
[6] Istilah politeisme dan monoteisme merupakan paham dan peraktek kebatinan. Yang pertama tertuju pada banyak dewa-dewi, yang kedua kepada satu entitas tertinggi (Allah). Politeisme muncul dari totemisme, fetishisme, animisme dalam priode hancurnya komunitas perimitif. Lorens Bagus. Kamus Filsafat, hlm. 856-857

[7] Koento Wibisono Siswomihardjo, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), hlm. 11-15
[8] Ibid., hlm. 37.
[9] F. Budi Hardiman. Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern Dari Machiavelli Sampai Nietzsche,  (Jakarta: Erlangga), hlm. 180.
[10] Ibid.,  hlm. 181.
[11] Koento Wibisono Siswomihardjo, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), hlm. 39
[12] Ibid.,  hlm. 40.
[13] Koento Wibisono Siswomihardjo, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, (Yogyakarta: Gadjah  Mada University Press, 1996), hlm.43-45.
[14] Ibid.,  hlm. 47.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © FILSAFAT - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -