- Back to Home »
- AL-QUR'AN TENTANG MANUSIA
Posted by : Unknown
Jumat, 13 Desember 2013
Al-QUR’AN
TENTANG MANUSIA
By. Syafrizal
A.
Latar Belakang
Al-Qur'an adalah pedoman hidup bagi manusia
serta merupakan sumber dari segala ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini.
Membaca al Qur'an merupakan suatu ibadah. Tetapi alangkah lebih baik apabila
isi kandungan al-qur'an dapat kita kaji lebih mendalam dengan mempelajari
tafsir al-qur'an. Pada masa sekarang, dalam menyikapi berbagai persoalan
kehidupan harus disandarkan pada Al-Qur'an dan Hadis. Tetapi untuk memahaminya,
tentu saja dibutuhkan penafsiran yang tepat agar makna yang terkandung di
dalamnya tidak melenceng atau sesuai dengan syai’at Islam. Untuk itu kita bisa
merujuk pada kitab-kitab tafsir yang sudah diakui kebenarannya.Tafsir al-qur'an
akan menjelaskan tentang berbagai hal, salah satunya tentang Manusia.
Berbicara tentang manusia berarti
kita berbicara tentang dan pada diri kita sendiri makhluk yang paling unik di
bumi ini. Banyak di antara ciptaan Allah yang telah disampaikan lewat wahyu
yaitu kitab suci. Manusia merupakan makhluk yang paling istimewa dibandingkan
dengan makhluk yang lain. Manusia mempunyai kelebihan yang luar biasa.
Kelebihan itu adalah dikaruniainya akal. Dengan dikaruniai akal, manusia dapat
mengembangkan bakat dan potensi yang dimilikinya serta mampu mengatur dan
mengelola alam semesta ciptaan Allah adalah sebagai amanah.
Selain itu, manusia juga dilengkapi
unsur lain yaitu hati. Dengan hatinya, manusia dapat menjadikan dirinya
sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan, kenikmatan beriman dan kehadiran
ilahi secara spiritual.
Oleh sebab itu, saya akan mencoba menguraikan pembahasan
mengenai manusia dari perspektif Al-Qur’an.
B. Rumusan
Masalah
Agar pembahasan lebih terfokus dan tidak meluas kepada
pembahasan lain, maka dengan berangkat dari latar belakang diatas, dapat
dirumuskan pembahasan antara lain:
1. Apa pengertian
manusia
2. Bagaimana manusia dalam pandangan Al-qur’an.
3. Fungsi dan
peran manusia dalam Al-qur’an
C. Pengertian
Manusia
Dalam kamus
bahasa Indonesia“ Manusia" diartikan sebagai ‘makhluk yang
berakal, berbudi (mampu menguasai makhluk lain); insane, orang’. Menurut
pengertian ini maka dapat dikatakan bahwa Manusia adalah makhluk Tuhan yang
diberi potensi akal dan budi, nalar dan moral untuk dapat menguasai makhluk
lainnya demi kemakmuran dan kemaslahatannya.[1]
Dalam bahasa Arab, kata ‘manusia’ ini bersepadan dengan kata-kata nâs, basyar, insân, mar’u, ins dan lain-lain. Meskipun
bersinonim, namun kata-kata tersebut memiliki perbedaan dalam hal makna
spesifiknya. Kata nâs misalnya lebih merujuk pada makna manusia
sebagai makhluk sosial. Sedangkan kata basyar lebih menunjuk pada makna manusia
sebagai makhluk biologis.[2]
Berbicara tentang manusia, dalam pandangan ilmu
pengetahuan sangat tergantung dengan metodologi yang digunakan. Para penganut teori
psikoanalisis menyebut bahwa manusia sebagai homo volens (makhluk
berkeinginan). Menurut aliran ini, manusia adalah makhluk yang memiliki
perilaku interaksi antara komponen biologis (id), psikologis (ego), dan social
(superego). Di dalam diri manusia tedapat unsur animal (hewani), rasional
(akali), dan moral (nilai). Para penganut teori behaviorisme
menyebutkan bahwa manusia sebagai homo mehanibcus (manusia mesin). Menurut
aliran ini segala tingkah laku manusia terbentuk sebagai hasil proses
pembelajaran terhadap lingkungannya, tidak disebabkan aspek. Para penganut
teori kognitif menyebut manusia sebagai homo sapiens (manusia berpikir).
Menurut aliran ini manusia tidak di pandang lagi sebagai makhluk yang bereaksi
secara pasif pada lingkungannya, makhluk yang selalu berfikir. Penganut teori
kognitif mengecam pendapat yang cenderung menganggap pikiran itu tidak nyata
karena tampak tidak mempengaruhi peristiwa. Padahal berpikir , memutuskan,
menyatakan, memahami, dan sebagainya adalah fakta kehidupan manusia.
Dalam pandangan Islam manusia adalah mahluk yang
mulia, dan sempurna di bandingkan mahluk ciptaan allah lainnya, ini disebabkan manusia diberi
kelebihan berupa akal untuk berfikir, sehingga dengan akal tersebut bisa
membedakan mana yang hak mana yang batil, selain dari itu manusia juga diberikan Allah
berupa Nafsu. Namun apabila mereka tidak bisa memanfa’atkan kelebihan tersebut
dengan sebaik-baiknya, maka mereka akan menjadi mahluk yang paling hina, bahkan
lebih hina dari pada binatang.
D.
Manusia dalam persepektif Al-qur’an
Manusia telah berupaya memahami dirinya selama beribu-ribu tahun,
tetapi gambaran yang pasti dan meyakinkan tentang dirinya, tak mampu
memperolehnya dengan mengandalkan daya nalar semata. Oleh karna itu mereka
memelukan pengetahuan dari pihak lain yang dapat yang mengkaji dirinya secara utuh, yaitu mengarah
kepada kitab suci (Al-Qur’an). Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang memberi gambaran konkrit tentang
manusia.
Al-Qur’an
memberikan sebutan manusia dalam tiga kata yaitu al-basyar, an-nas, dan al-ins
atau al-insan, ketiga kata ini lazim diartikan sebagai manusia. Namun, jika
ditinjau dari segi bahasa serta penjelasan Al- Qur’an itu sendiri, ketiga kata
tersebut satu sama lain berbeda maknanya.
1. Kata Al-
Basyar
Penamaan manusia dengan kata Al-Basyar
dinyatakan dalam al-qur’an sebanyak 27 kali.[3]
Kata basyar secara etimologis berasal dari kata ( ba’,
syin, dan ra’) yang berarti sesuatu yang tampak
baik dan indah, bergembira, menggembirakan, memperhatikan atau mengurus suatu. Menurut M. Quraish Shihab, kata basyar terambil
dari akar kata yang pada umumnya berarti menampakkan sesuatu dengan baik dan
indah. Dari kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit.
Manusia dinamakan basyarah karena kulitnya tampak jelas dan
berbeda dengan kulit binatang lainnya.[4]
Kata basyar dapat juga diartikan sebagai makhluk biologis.
Tegasnya memberi pengertian kepada sifat biologis manusia, seperti makan,
minum, hubungan seksual dan lain-lain.[5]
Sebagimana dalam surat yusuf, ayat 31 yaitu:
$¬Hs>sù
ôMyèÏJy
£`ÏdÌõ3yJÎ/
ôMn=yör&
£`Íkös9Î)
ôNytGôãr&ur
£`çlm;
$\«s3GãB
ôMs?#uäur
¨@ä.
;oyÏnºur
£`åk÷]ÏiB
$YZÅj3Å
ÏMs9$s%ur
ólã÷z$#
£`Íkön=tã
(
$¬Hs>sù
ÿ¼çmuZ÷r&u
¼çmtR÷y9ø.r&
z`÷è©Üs%ur
£`åkuÏ÷r&
z`ù=è%ur
|·»ym
¬!
$tB
#x»yd
#·|³o0
÷bÎ)
!#x»yd
wÎ)
Ô7n=tB
ÒOÌx.
ÇÌÊÈ
Artinya: Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan
mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat
duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk
memotong jamuan), kemudian Dia berkata (kepada Yusuf): "Keluarlah
(nampakkanlah dirimu) kepada mereka". Maka tatkala wanita-wanita itu
melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya, dan mereka melukai (jari)
tangannya dan berkata: "Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia.
Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah Malaikat yang mulia."
Ayat ini menceritakan wanita-wanita pembesar Mesir yang
didukung Zulaikha dalam sutau pertemuan yang takjub ketika melihat ketampanan
Yusuf as. Konteks ayat ini tidak memandang yusuf as. Dari segi moralitas atau
intelektualitasnya, melainkan pada keperawakannya yang tampan dan berpenampilan
mempesona yang tidak lain adalah masalah biologis.
Pada ayat lain disebutkan juga manusia dengan
kata basyar dalam konteks sebagai makhluk biologis yaitu pada ayat yang
menceritakan jawaban Maryam (perawan) kepada malaikat yang datang padanya
membawa pesan Tuhan bahwa ia akan dikaruniai seorang anak :
قَالَتْ
رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَر
“Maryam
berkata: Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak padahal aku tidak pernah
disentuh manusia (basyar) ” (QS.Ali Imran : 47)
Maryam berkata demikian sebab dia tahu bahwa
yang dapat menyentuh (hubungan seksual) itu hanya manusia dalam arti makhluk biologis,
dan anak adalah buah dari hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan .
Nalar Maryam tidak menerima, bagaimana mungkin dia akan punya anak padahal dia
tidak pernah berhubungan dengan laki-laki.
Manusia
dalam pengertian basyar ini banyak
juga dijelaskan dalam Al-Qur’an, diantaranya dalam surah Ibrahim
ayat 10, surah Hud ayat 26, surah al-Mu’minun ayat 24 dan 33,
surah asy-syu’ara ayat 154, surah Yasin ayat 15, dan surah al-isra’
ayat 93.[6]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia
dengan menggunakan kata basyar, artinya anak keturunan adam (bani
adam) , mahkluk fisik atau biologis yang suka makan dan berjalan ke pasar.
Aspek fisik itulah yang menyebut pengertian basyar mencakup anak
keturunan adam secara keseluruhan. Al-Basyar mengandung pengertian bahwa
manusia mengalami proses reproduksi seksual dan senantiasa berupaya untuk
memenuhi semua kebutuhan biologisnya, memerlukan ruang dan waktu, serta tunduk
terhadap hukum alamiahnya, baik yang berupa sunnatullah (sosial kemasyarakatan),
maupun takdir Allah (hukum alam). Semuanya itu merupakan konsekuensi logis dari
proses pemenuhan kebutuhan tersebut. Untuk itu, Allah swt. memberikan kebebasan
dan kekuatan kepada manusia sesuai dengan batas kebebasan dan potensi yang
dimilikinya untuk mengelola dan memanfaatkan alam semesta, sebagai salah satu
tugas kekhalifahannya di muka bumi.
2.
Kata An-Nas
Kata al-Nas dinyatakan
dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali dalam 53 surat. Kata al-nas menunjukkan
pada eksistensi manusia sebagai makhluk hidup dan makhluk sosial, secara
keseluruhan, tanpa melihat status keimanan atau kekafirannya, atau suatu
keterangan yang jelas menunjuk kepada jenis keturunan nabi Adam.[7]
Kata al-Nas dipakai
al-Qur’an untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat yang
mempunyai berbagai kegiatan (aktivitas) untuk mengembangkan kehidupannya.
Penyebutan manusia dengan kata Al-Nas lebih menonjolkan bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat
hidup tanpa bantuan dan bersama-sama manusia lainnya.[8]
Sebagimana dalam al-qur’an
Allah berfirman, tepatnya pada surah Al-Hujrat, ayat 13 yang berbunyi:
$pkr'¯»t
â¨$¨Z9$#
$¯RÎ)
/ä3»oYø)n=yz
`ÏiB
9x.s
4Ós\Ré&ur
öNä3»oYù=yèy_ur
$\/qãèä©
@ͬ!$t7s%ur
(#þqèùu$yètGÏ9
4
¨bÎ)
ö/ä3tBtò2r&
yYÏã
«!$#
öNä39s)ø?r&
4
¨bÎ)
©!$#
îLìÎ=tã
×Î7yz
ÇÊÌÈ
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Jika kita kembali ke asal mula terjadinya manusia yang bermula dari
pasangan laki-laki dan wanita (Adam dan Hawa), dan berkembang menjadi
masyarakat dengan kata lain adanya pengakuan terhadap spesies di dunia ini,
menunjukkan bahwa manusia harus hidup bersaudara dan tidak boleh saling
menjatuhkan. Secara sederhana, inilah sebenarnya fungsi manusia dalam konsep al-nas.
Manusia
dalam pengertian An-Nas ini banyak
juga dijelaskan dalam Al-Qur’an, diantaranya dalam surah al- Maidah,
ayat 2. Ayat ini menjelaskan bahwa penciptaan manusia menjadi berbagai suku dan bangsa bertujuan untuk
bergaul dan berhubungan antar sesamanya (ta’aruf ). Kemudian surat al-hujurat: 13, al-Maidah :3, al-Ashr: 3, al-imran: 112.[9]
3.
Kata Al-Insan
Adapun penamaan manusia dengan kata al-insan yang
berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73
kali dan tersebar dalam 43 surat.21 Secara etimologi, al-insan dapat
diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa.[10]
Menurut Jalaludin Rahmat memberi
penjabaran al-insan secara luas pada tiga kategori.
Pertama, al-insan dihubungkan dengan keistimewaan manusia
sebagai khalifah dan pemikul amanah. Kedua, al-insan dikaitkan
dengan predisposisi negatif yang inheren dan laten pada
diri manusia. Ketiga, al-insan disebut dalam hubungannya
dengan proses penciptaan manusia. Kecuali kategori ketiga, semua konteks
al-insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual. [11]Kategori
pertama dapat difahami melalui tiga penjelasan sebagai berikut :
1.
Manusia
dipandang sebagai makhluk unggulan atau puncak penciptaan Tuhan. Keunggulannya
terletak pada wujud kejadiannya sebagai makhluk yang diciptakan dengan
sebaik-baik penciptaan. Manusia juga disebut sebagai makhluk yang dipilih
Tuhan untuk mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi.
2.
Manusia
adalah satu-satunya makhluk yang dipercaya Tuhan untuk mengemban amanah, suatu
beban sekaligus tanggung jawabnya sebagai makhluk yang dipercaya untuk
mengelola bumi. Menurut Fazlurrahman, amanah yang dimaksud terkait dengan
fungsi kreatif manusia untuk menemukan hukum alam, menguasainya dalam bahasa
al-Quran (mengetahui nama-nama semua benda), dan kemudian
menggunakannya dengan insiatif moral untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih
baik[12].
Sedangkan menurut Thabathaba’I, Amanah yang dimakdus Sebagai predisposisi
positif (isti’dad) untuk beriman dan mentaati Allah. Dengan
kata lain manusia didisposisikan sebagai pemikul al-wilayah al-Ilahiyah.
3.
Merupakan
konsekuensi dari tugas berat sebagai khalifah dan pemikul amanah, manusia
dibekali dengan akal kreatif yang melahirkan nalar kreatif sehingga manusia
memiliki kemampuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena itu
berkali-kali kata al-insan dihubungkan dengan perintah melakukan nadzar
(pengamatan, perenungan, pemikiran, analisa) dalam rangka menunjukkan
kualitas pemikiran rasional dan kesadaran khusus yang dimilikinya.
4.
Dalam
mengabdi kepada Allah manusia (al-insan) sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan
kondisi psikologisnya. Jika ditimpa musibah ia selalu menyebut nama Allah.
Sebaliknya jika mendapat keberuntungan dan kesuksesan hidup cenderung sombong, takabbur,
dan musyrik.
Kata al-insan juga digunakan dalam
al-Qur’an untuk menunjukkan proses kejadian manusia sesudah dan kejadiannya
mengalami proses yang bertahap secara dinamis dan sempurna di dalam di dalam
rahim. Sebagaimana dalam al-qur’an dalam surah al-Nahl ayat 78, yaitu:
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& w
cqßJn=÷ès? $\«øx© @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur
öNä3ª=yès9 crãä3ô±s? ÇÐÑÈ
Artinya: dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.
Penggunaan kata al-insan dalam ayat ini
mengandung dua makna[13],
yaitu: Pertama,makna proses biologis, yaitu berasal dari saripati
tanah melalui makanan yang dimakan manusia sampai pada proses pembuahan. Kedua, makna
proses psikologis (pendekatan spiritual), yaitu proses ditiupkan ruh-Nya pada
diri manusia, berikut berbagai potensi yang dianugerahkan Allah kepada
manusia.
Makna pertama mengisyaratkan bahwa
manusia pada dasarnya merupakan dinamis yang berproses dan tidak lepas dari
pengaruh alam serta kebutuhan yang menyangkut dengannya. Keduanya saling
mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Sedangkan makna kedua
mengisyaratkan bahwa, ketika manusia
tidak bisa melepaskan diri dari kebutuhan materi dan berupaya untuk
memenuhinya, manusia juga dituntut untuk sadar dan tidak melupakan tujuan
akhirnya, yaitu kebutuhan immateri (spiritual). Untuk itu manusia diperintahkan
untuk senantiasa mengarahkan seluruh aspek amaliahnya pada realitas ketundukan
pada Allah, tanpa batas, tanpa cacat, dan tanpa akhir. Sikap yang demikian akan
mendorong dan menjadikannya untuk cenderung berbuat kebaikan dan ketundukan
pada ajaran Tuhannya.
E. Fungsi dan
peran manusia di permukaan bumi
Membincangkan
maslah peran dan tanggungjawab manusia, erat hubungannya dengan istilah khalifah
seperti disebutkan dibeberapa ayat al-Qur’an. Menurut Dawam Raharjo dalam
bukunya Ensiklopedi al-Qur’an, kata khalifah yang cukup dikenal di
Indonesia mengandung makna ganda. Di satu pihak, khalifah dimengerti
sebagai Kepala Negara dalam pemerintahan seperti Kerajaan Islam di masa lalu,
dan di lain pihak pula pengertian khalifah sebagai ‘wakil Tuhan” di muka
bumi.[14] yang dimaksud
dengan “wakil Tuhan” itu- masih menurut M. Dawam Raharjo- bisa mempunyai dua
pengertian; Pertama, yang diwujudkan dalam jabatan pemerintahan seperti
kepala negara, kedua, dalam pengertian fungsi manusia itu sendiri di
muka bumi.[15]
Adapun khalifah dalam tulisan ini lebih
condong kepada pengertian khalifah yang kedua yaitu “wakil Tuhan” yang
berhubungan dengan fungsi dan tanggungjawab manusia di muka bumi yang mengemban
amanat Tuhan. Pembatasan ini dimaksudkan adalah untuk tidak membatasi fungsi
manusia yang hanya tertumpu kepada kepemimpinan yang formal atau kekuasaan.
Sebab dalam mengemban amanat tidak harus selalu dalam bentuk kekuasaan atau
menjadi pemimpin. Pada dasarnya, semua manusia mempunyai kewajiban untu
menyampaikan kebenaran. Landasan kajian ini adalah berdasar pada Firman Allah dalam
surah al-baqarah ayat 30.
øÎ)ur tA$s% /u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkÏù `tB ßÅ¡øÿã $pkÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB w
tbqßJn=÷ès?
ÇÌÉÈ
Artinya: ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya
aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Dari ayat di
atas dapat dipahami bahwa khalifah adalah sebuah fungsi yang diemban
manusia berdasarkan amanat yang diterimanya dari Allah. Ke-khalifahan
merupakan amanat atau tugas mengelola bumi secara bertanggungjawab, dan harus
sesuai dengan petunjuk dari yang memberikan tugas tersebut dengan mempergunakan
akal yang telah dianugerahkan Allah kepadanya.
Menurut Hamka
dalam tafsirnya Al-Azhar –mengutip pendapat al-Qurtubi- amanat yang ditugaskan
Allah kepada manusia sungguh berat, hal ini terbukti pada penolakan langit dan
bumi serta gunung-gunung ketika ditawarkan untuk memikulnya dan mengemban
amanat tersebut.[16]
Ada dua bentuk
peranan dan tanggung jawab manusia di permukaan bumi yaitu:
1.
Peran dan
Tanggungjawab Manusia sebagai Hamba Allah dan Makhuk Sosial
Peran dan
tanggungjawab manusia yang paling utama adalah bagaimana manusia mampu
memposisikan dirinya di hadapan Allah dan kehidupan sosialnya. Untuk mengetahui
hal tersebut perlu dipaparkan terlebih dahulu maksud dan tugas diciptakan
manusia itu, seperti dijelaskan dalam ayat al-Qur’an yang artinya:
“Dan Aku tidak
menciptakan jin and manusia kecuali agar mereka mengabdi kepada-Ku
Dalam
kehidupan masyarakat beragama pada umumnya, ketaatan dan kepatuhan kepada
Tuhan, seringkali diartikan ketaatan dan kepatuhan seseorang terhadap ajaran
agama. Ajaran agama itu kemudian dimengerti sangat formalistic, seperti yang
tercermin dalam ketentuan-ketentuan peribadatan.
Pemahaman
yang teramat formalistic terhadap agama, atau formalisme agama dalam kehidupan
masyarakat melahirkan kepekaan yang teramat kuat terhadap ketentuan-ketentuan
formal keagamaan saja, tetapi mengabaikan kepekaan sosial dan moral.
Seakan-akan peribadatan kepada Tuhannya hanya akan diterima jika seseorang
memenuhi ketentuan formalnya, meskipun realitas sosial dan kepekaan moralnya
rendah. Akibatnya peribadatan terlepas dari kaitan dengan realitas sosial dan
moral.
Penjelasan
di atas bukan ingin mengatakan bahwa ketaatan dan kepatuhan kepada ajaran agama
dalam arti formalistic tidak akan mempunyai dampak etis teologis yaitu pahala
dan balasan dari Allah, tetapi hendaknya selain mempunyai dampak etis dan
teologis, ibadah-ibadah tersebut harus mempunyai dampak sosial dan moral.
Seorang yang ahli ibadah kemudian hidup dengan serba kecukupan, tetapi tidak
pernah peduli dengan masyarakat lingkungannya yang hidup serba kekurangan,
dapat saja memberikan peluang kejahatan kepada orang lain dengan tindak pencurian,
perampokan dan bentuk kejahatan lainnya. Semestinya, perlu dipahami bahwa
kepedulian sosial juga merupakan lahan ibadah yang dapat dilakukan oleh
siapapun.
2. Peran dan Tanggungjawab Manusia sebagai
Khalifah fil Ardl
Dalam sub bahasan sebelumnya telah dijelaskan
bahwa antara peran dan tanggungjawab manusia sebagai hamba Allah dan makhluk
sosial tidak dapat dipisahkan, keduanya mempunyai hubungan fungsional dan
korelatif. Manusia dalam perannya sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari
perannya sebagai khalifah fil ardl. Firman Allah yang artinya:
“ ….Dia telah
menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurny
Khalifah fil ardl dapat diartikan pengemban amanat yang diberikan Allah kepada
manusia. Tugas manusia dalam rangka mengemban amanat “khalifah fil ardl” yang
terkandung dalam ayat di atas adalah mengelola dan memakmurkan bumi dengan
menggali sumber daya alam yang ia miliki untuk kesejahteraan manusia.
Kesejahteraan yang dimaksud adalah kemampuan manusia untuk mengambil manfaat
dari kekayaan alam yang tersedia.
Peran dan tanggungjawab manusia sebagai khalifah
tidak saja terbatas pada kemampuan mengeksplorasi sumber daya alam, tetapi
bagaimana agar hasil dari eksplorasi tersebut dapat dijadikan bekal atau modal
untuk melakukan perubahan dan pengembangan masyarkat, khususnya masyarakat
Islam.
Secara terminoligis menurut Amrullah Ahmad pengembangan masyarakat Islam adalah
suatu system tindakan nyata yang menawarkan model pemecahan masalah umat dalam
bidang sosial, ekonomi dan lingkungan dalam perspektif Islam.[17] Dengan demikian, pengembangan masyarakat Islam merupakan model
empiris pengembangan prilaku individual dan kolektif dalam dimensi amal saleh
(karya terbaik), dengan tujuan untuk memecahkan permasalahan yang timbul dalam
masyarakat. Dari situlah lahir beberapa perspektif dan alternative (problem
solving).
F. Kesimpulan.
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling unik dan paling
sempurna di muka bumi ini, ini disebabkan manusia diberiakn Allah SWT berupa akal
yang dapat membedakannya dengan makhluk-makhluq tuhan yang lainnya ,dengan
akalnya manusia bisa membedakan antara yang hak dan yang bathil , antara yang
pantas dan tidak pantas di lakukan , bahkan seseorang yang tidak mempunyai
pengetahuan hukum agama pun dengan bekal akal dan hati nuraninya bisa merasakan
dan membedakan antara yang benar dan yang salah, karena tujuan penciptaan
manusia memang untuk menjadi khalifah di muka bumi.
Dalam
Al-Quran konsep manusia terdiri dari beberap aspek yakni al-basyar, an-nas, dan
al-ins atau al-insan, ketiga kata ini lazim diartikan sebagai
manusia. Namun, jika ditinjau dari segi bahasa serta penjelasan Al- Qur’an itu
sendiri, ketiga kata tersebut satu sama lain berbeda maknanya. Kata
al-basyar senantiasa senantiasa mengacu pada manusia dari aspek lahiriahnya, mempunyai bentuk
tubuh yang sama, makan dan minum, bertambahnya usia, kondisi fisiknya
akan menurun, menjadi tua, dan akhirnya ajal pun menjemputnya. Kata al-Insan digunakan untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh
totalitasnya, jiwa dan raga, ada perbedaan antara seseorang dengan yang lain
akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan. Kata al-nas pada umumnya
dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Nuh, Kamus Indonesia Arab, Jakarta: Mutiara,
2008.
Dawam
Raharjo, Pandangan al-Qur’an Tentang Manusia Dalam Pendidikan Dan
Perspektif al-Qur’an Yogyakarta : LPPI, 1999.
Muhammad Fu’ad
‘Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Kar³m,Qahirah
: Dar al-Had³ts, 1988.
M.Quraish Shihab, Wawasan al Qur’an, Bandung :
Penerbit Mizan, Cetakan VII, April 1998.
Rif’at Syauqi
Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi
Islami, Ed. Rendra Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2000.
Usman A. Hakim, Bamus Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai
pustaka, 2001
M. Dawam
Raharjo, Ensiklopedi Islam, TafsirSosial berdasarkan Konsep-konsep
Kunci, (Jakarta: Paramadina, 2002)
Amrullah Ahmad
dalam Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad Syafe’I, Pengembangan Masyarakat
Islam,dari Ideologi , Strategi sampai Tradisi,(Bandung: Rosda Karya,
2001
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988),
cet. I, juz XXII, h. 112
[1] Usman
A. Hakim, Bamus Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai pustaka 2001, hal 212
[3] Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras
li Alfazh al-Qur’an al-Kar³m,(Qahirah : Dar al-Had³ts, 1988), hal 153-154
[5] Rif’at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut
al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami, Ed. Rendra (Yogyakarta
Pustaka Pelajar, 2000), hal. 5.
[7] M. Quraish
Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’i atas Berbagai Persoalan
Umat (Bandung : Mizan, 1998) hal. 281
[8]Dawam Raharjo, Pandangan al-Qur’an Tentang
Manusia Dalam Pendidikan Dan Perspektif al-Qur’an ( Yogyakarta : LPPI,
1999) hal. 53
[10] Ibid,.hal 159
[11] Op.cit,. Dawam Raharjo, hal 55
[12] Ibid,. hal 57
[14] M.
Dawam Raharjo, Ensiklopedi Islam, TafsirSosial berdasarkan
Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 2002), cet. II, h. 346
[15] Ibid,.
hlm. 347
[17] Amrullah
Ahmad dalam Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad Syafe’I, Pengembangan
Masyarakat Islam,dari Ideologi , Strategi sampai Tradisi,(Bandung:
Rosda Karya, 2001), h. 29.