Popular Post

Posted by : Unknown Jumat, 13 Desember 2013

By. Syafrizal
A.       Latar Belakang
Proses sejarah masa lalu, tidak dapat di lupakan begitu saja bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat yunani. Para filosof Islam banyak mengambil pemikiran Aristoteles dan mereka banyak tertarik pada pemikiran-pemikiran Plato, sehingga banyak teori-teori filosof Islam  di ambil filosof Yunani.
Kita yang hidup di abad sekarang ini banyak berhutang budi pada orang-orang Yunani dan Romawi, karena merekalah guru kita pada zaman dahulu. Akan tetapi berguru tidak berarti mengekor dan mengutip sehingga dapat dikatakan bahwa filsafat Islam itu hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles, sebagaimana yang di katakana Renan,karena filsafat Islam telah mampu menampung dan mempertemukan berbagai aliran pikiran.
Para filosof Islam pada umumnya hidup dalam lingkungan dan suasana yang berbeda dari apa yang di alami oleh filosof-filosof lain. Sehingga pengaruh lingkungan terhadap jalan pikiran mereka  tidak bisa dilupakan. Pada akhirnya tidaklah dapat di pungkiri bahwa dunia Islam berhasil membentuk filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam itu sendiri.
B.        Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu: siapa saja tokoh-tokoh filsafat islam di dunia timur dan bagaimana pemikiran filsafatnya.



C.       Sejarah Masuknya Filsafat Islam di Dunia Timur
Pemikiran filsafat masuk kedalam dunia Timur melalui filsafat Yunani, yaitu pada abad ke 8 M, atau abad ke 2 Hijriah. Dalam buku Sejarah Filsafat Islam karangan Majid Fakhri beliau mengutip Ensiklopedi Islam, terbitan Ichitiar Baruvan Hoeve, dijelaskan bahwa kebudayaan dan filsafat yunani masuk kedaerah itu melalui ekspansi Alexander Agung, penguasa Macedonia (336-323 SM).[1] Beliau datang bukan dengan cara menghancurkan peradaban dan budaya Persia, tetapi sebaliknya Ia berusaha menyatukan kebudayaan yunani dan Persia, dengan demikian, memunculkan pusat-pusat kebudayaan yunani di wilayah Timur, seperti Alexandria di Mesir, Antiokia di Suriah dan Bactra di Persia.
Pada masa Dinasti Umayyah, pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam belum begitu jelas karna ketika itu penguasa Umaiyyah lebih banyak tertuju kepada kebudayaan Arab. Pengaruh kebudayaan Yunani, baru nampak pada masa Dinasti Abbasiyah karna orang Persia pada masa itu memiliki peranan penting dalam struktur pemerintahan pusat. Pada awalnya  para Khalifah Abbasiyah hanya tertarik dengan ilmu kedokteran yunani dan berkaitan dengan sistem pengobatannya, lama-kelamaan mereka juga tertarik dengan filsafat dan ilmu pengetahuan lain nya.[2]
Kelahiran filsafat tidak terlepas dari adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat dan berbagai cabang ilmu pengetahuan lainnya kedalam bahasa arab. Dalam penerjemahan ini, tidak hanya dilakukan terhadap naskah-naskah berbahasa yunani saja, melainkan naskah-naskah dari berbagai bahasa, seperti bahasa siryani, Persia dan india. Usaha penerjemahan tersebut berlangsuang selama satu setengah abad dizaman klasik islam, dan menghasilkan berbagai buku-buku yang sudah di terjemahkan kedalam Bahasa Arab.[3]
Kesedian buku-buku tersebut di manfaatkan oleh kalangan kaum muslimin untuk, berkenalan bahkan mengkaji ulang berbagai  ilmu pengetahuan. Dengan demikian lahirlah tokoh-tokoh pemikiran islam. Seperti: Al-Kindi, Al-Farabi,Ibnu Maskawih, Ibnu Sina,  Al-Ghazal.
D.       Tokoh-tokoh  filsaft islam di dunia timur.
1.   Al-Kindi
a.      Riwayat hidupnya
Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’qup bin Ishaq Ash-Shabbah bin ‘Imran bin Isma’il bin Al Asy’ats bin Qays Al-Kindi. Ia dilahirkan di Kuffah tahun 185 H (801 M). Ayahnya, Ishaq Ash-Shabbah adalah Gubernur Kuffah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid dari Bani ‘Abbas.[4]
Menurut Ibn Al-Nadim,  karya-karya Al-Kindi  berjumlah 260 buku, beliau juga berpendapat bahwa,risalah-risalah Al-kindi meliputi seluruh ensiklopedi ilmu (sains) klasik: filsafat, logika, artimmentika, musik, astronomi, geometri, kosmoling, kedokteran, astrologi dan sebagiannya. Menurut beliau kebanyakan naskah-naskah yang jumlahnya besar tersebut telah hilang.[5]
b.      Pemikirannya filsafatnya
1.      Talfiq
Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutya filsafat adalah pengetahuan yang benar ( knowledge of truth). Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat. Karena itu mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang bahkan teologi bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan mempelajari teologi. Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan  dari keduanya. Agama disamping wahyu mempergunakan akal, dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama bagi Al-Kindi ialah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas tentang Tuhan dan agama ini pulalah dasarnya. Filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan.
Dengan demikian, orang yang menolak filsafat maka orang itu menurut Al-Kindi telah mengingkari kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling benar. Disamping itu, karena pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan, tentang ke-Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal sebaliknya. Kita harus menyambut dengan gembira kebenaran dari manapun datangnya. Sebab, “tidak ada yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran daripada kebenaran itu sendiri”. Karena itu tidak tidak wajar merendahkan dan meremehkan orang yang mengatakan dan mengajarkannya. Tidak ada seorang pun akan rendah dengan sebab kebenaran, sebaliknya semua orang akan menjadi mulia karena kebenaran. Jika diibaratkan maka orang yang mengingkari kebenaran tersebut tidak beda dengan orang yang memperdagangkan agama, dan pada akikatnya orang itu tidak lagi beragama.
Pengingkaran terhadap hasil-hasil filsafat karena adanya hal-hal yang bertentangan dengan apa yang menurut mereka telah mutlak digariskan Al-Qur’an. Hal semacam ini menurut Al-Kindi, tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak filsafat, karena hal itu dapat dilakukan ta’wil. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri perbedaaan antara keduanya, yaitu:
a)      Filsafat termasuk humaniora yang dicapai filosof dengan berpikir, belajar, sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati tingkat tertinggi karena diperoleh tanpa melalui proses belajar, dan hanya diterima secara langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.
b)      Jawaban filsafat menunjukan ketidakpastian ( semu ) dan memerlukan berpikir atau perenungan. Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang dibawa Al-Qur’an memberi jawaban secara pasti dan menyakinkan dengan mutlak
c)      Filsafat mempergunakan metode logika, sedangkan agama mendekatinya dengan keimanan.

2.   Jiwa

Tentang jiwa, menurut Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi ruh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah. Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan dan saling memberi bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi tentang perlainan ruh dari badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah. Sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang.
Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran Plato ketimbang pendapat Aristoteles. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah baharu, karena jiwa adalah bentuk bagi badan. Bentuk tidak bisa tinggal tanpa materi, keduanya membentuk kesatuan isensial, dan kemusnahan badan membawa kepada kemusnahan jiwa. Sedangkan Plato berpendapat bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accidental dan temporer. Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya jiwa. Namun Al-Kindi tidak menyetujui Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide. Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya, yakni: daya bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Kendatipun bagi Al-Kindi jiwa adalah qadim, namun keqadimannya berbeda dengan qadimnya Tuhan. Qadimnya jiwa karena diqadimkan oleh Tuhan.

3.      Moral

Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa sorang filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam negara. Ia merasa diri korban kelaliman negara seperti Socrates. Dalam kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih kekangan, keberanian dan hikmak dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata negara. Sebagai filsuf, Al-Kindi prihatin kalau-kalau syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara wajar. Karena itu dalam akhlak atau moral dia mengutamakan kaedah Socrates.
2.      Al-Farabi
a)      Riwayat hidupnya.
Nama lengkapnya Al-Farabi adalah Abu Nashr Ibnu Audagh Ibn Thorhan Al-Farabi, Ia dilahirkan di desa Wasij dalam kota Farab pada tahun 257 H (870 M). ayah Al-Farabi berasal dari Iran menikah dengan wanita Turki. Karya-karya nyata dari Al-Farabi anttara lain: Jami’u Baina Ra’yai Al Hakimain Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles), Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan), As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan), Fususu Al Taram (hakikat kebenaran), Arroo’u Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan),  As Syiyasyah (ilmu politik), Fi Ma’ani Al Aqli, Ihsho’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu), At Tangibu ‘ala As Sa’adah, Isbatu Al Mufaraqat; Al Ta’liqat[6].
b)     Pemikiran filsafatnya
1.      Pemaduan Filsafat
Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran  filsafat yang berkembang sebelumnya terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat. Karena itu ia dikenal filsuf sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat. Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam masalah akhlak dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato. Sedangkan dalam hal matematika, ia dipengaruhi oleh Plotinus.
Untuk mempertemukan dua filsafat yang berbeda seperti dua halnya Plato dan Aristoteles mengenai idea. Aristoteles tidak mengakui bahwa hakikat itu adalah idea, karena apabila hal itu diterima berarti alam realitas ini tidak lebih dari alam khayal atau sebatas pemikiran saja. Sedangkan Plato mengakui idea merupakan satu hal yang berdiri sendiri dan menjadi hakikat segala-galanya. Al-Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni dengan menggunakan ta’wil bila menjumpai pertentangan pikiran antara kedanya. Menurut Al-Farabi, sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang terdapat diluar alam ini. Jadi kedua filsuf tersebut sama-sama mengakui adanya idea-idea pada zat Tuhan. Kalaupun terdapat perbedaan, maka hal itu tidak lebih dari tiga kemungkinan:
a.       Definisi yang dibuat tentang filsafat tidak benar
b.      Adanya kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang menduga bahwa antara keduanya terdapat perbedaan dalam dasa-dasar falsafi.
c.       Pengetahuan tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar, padahal definisi keduanya tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang yang ada secara mutlak.
Adapun perbedaan agama dengan filsafat, tidak mesti ada karena keduanya mengacu kepada kebenaran, dan kebenaran itu hanya satu, kendatipun posisi dan cara memperoleh kebenran itu berbeda, satu menawarkan kebenaran dan lainnya mencari kebenaran. Kalaupun terdapat perbedaan kebenaran antara keduanya tidaklah pada hakikatnya, dan untuk menghindari itu digunakab ta’wil filosofis. Dengan demikian, filsafat Yunani tidak bertentangan secara hakikat dengan ajaran Islam, hal ini tidak berarti Al-farabi mengagungkan filsafat dari agama. Ia tetap mengakui bahwa ajaran Islam mutlak kebenarannya.
2.      Jiwa
Adapun  jiwa, Al-Farabi juga dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus. Jiwa bersifat ruhani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke badan lain. Kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, yang berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, beruapa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa kholidah dan jiwa fana. Jiwa khalidah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan.
3.      Ibnu Miskawih
a.      Riwayat hidup
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan nama yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Ia dilahirkan di kota Rayy, Iran pada tahun 330 H/ 941 M dan wafat di asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/ 16 Februari 1030 M. Adapun karya-karya Maskawaih yang dapat terekam oleh para penulis (sejarahwan) di antaranya adalah sebagai berikut: Kitab Al-Fauz Al-Ashgar, tentang Ketuhanan, jiwa dan kenabian (metafisika), Kitab Al-Fauz Al-Akabr, tentang etika, Kitab Thabarat Al-Nafs, tentang etika, Kitab Tahdzib Al-Akhlaq wa Tathhir Al-‘Araq, tentang etika, Kitab Tartib As-Sa’adat, tentang etika dan politik terutama mengenai pemerintahan Bani ‘Abbas dan Banu Buwaih, Kitab Tajarib Al-Umam, tentang sejarah yang berisi peristiwa-peristiwa sejarah sejak setelah air bah Nabi Nuh hingga tahun 369 H, Kitab Al-Jami’, tentang ketabiban, Kitab Al-Adwiyah, tentang obat-obatan, Kitab Al-Asyribah, tentang minuman, Kitab Al-Mustaudi, berisi kumpulan syair-syair pilihan, Kitab Maqalat fi Al-Nafsi wa Al-‘Aql, tentang jiwa dan akal, Kitab Jawizan Khard (Akal Abadi), yang membicarakan panjang lebar tentang pemerintahan dan hukum yang berlaku di Arab, Persia, India, dan Romawi.[7]
b.      Pemikiran filsafatnya
Sedangkan mengenai filsafat, Maskawaih tidak memberikan pengertian secara tegas. Ia hanya membagi filsafat menjadi dua bagian; bagian teori dan bagian praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya benar, keyakinannya benar dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral[8]. Kesempurnaan moral ini dimulai dengan kemampuan mengatur potensi-potensi dan perbuatan-perbuatan itu dapat sejalan benar dengan potensi rasionalnya yang dapat membeda-bedakan hal yang benar dan salah, yang baik dan buruk, hingga perbuatan-perbuatan itu benar-benar teratur sebagaimana mestinya. Akhir dari kesempurnaan moral adalah sampai dapat mengatur hubungan antar sesama manusia hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama. Jika manusia berhasil memiliki dua bagian filsafat, yang teoritis dan yang praktis tersebut, maka berarti ia telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna
4.      Ibnu Sina
a.      Riwayat hiudpnya
Nama lain Ibnu Sina adalah Abu Ali Hosain Ibn Abdullah Ibn Sina. Di Eropa dia lebih dikenal dengan nama Avicenna. Beliau lahir di sebuah desa Afsyana, di daerah Bukhara pada tahun 340 H / 980 M.
Adapun karangan-karangan Ibnu Sina yang terkenal adalah: As-Syifa’, buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar, dan terdiri dari 4 bagian, yaitu logika, fisika, matematika dan metafisika (ketuhanan). An-Najat, buku ini merupakan ringkasan buku As-Shafa’, dan pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku Al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 H di Mesir, Al-Syarat Wat-Tanbihat, buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik, dan pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892.
b.      Pemikiran filsafatnya
1.      kenabian
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, ibnu Sina membagi manusia kedalam empat kelompok:  mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka  yang tajam mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang. Kemudian mereka memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu orang yang daya teoretisnya sempurna tetapi tidak praktis. Terakhir adalah orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman daya praktis mereka.
Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan seorang Nabi, yaitu memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia mampu mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga seluruh materi pada umumnya. Dengan imajinatif yang luar biasa kuatnya, pikiran Nabi, melalui keniscayaan psikologis yang mendorong, mengubah kebenaran-kebenaran akal murni dan konsep-konsep menjadi imaji-imaji dan simbol-simbol kehidupan yang demikian kuat sehingga orang yang mendengar atau membacanya tidak hanya menjadi percaya  tetapi juga terdorong untuk berbuat sesuatu. Apabila kita lapar atau haus, imajinasi kita menyuguhkan imaji-imaji yang hidup tentang makanan dan minuman. Pelambangan dan pemberi sugesti ini, apabila ini berlaku pada akal dan jiwa Nabi, menimbulkan imaji-imaji yang kuat dan hidup sehingga apapun yang dipikirkan dan dirasakan oleh jiwa Nabi, ia benar-benar mendengar dan melihatnya.
2.      Tasawuf 
Tasawuf, menurut ibnu Sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah dan meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orag-orang sufi sebelumnya. Ia memulai tasawuf dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima ma’rifah dari al-fa’al. Dalam pemahaman bahwa jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai ma’rifah, tetapi perbedaannya terletak pada ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal fa’al.
Mengenai bersatunya Tuhan dan manusia atau bertempatnya Tuhan dihati diri manusia tidak diterima oleh ibnu Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya, tetapi melalui prantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali hubungan manusia dengan Tuhan. Karena manusia mendapat sebagian pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar tidak langsung keluar dari Allah, tetapi melalui akal fa’al.[9]



5.      Al- Ghazali
a.      Riwayat hidupnya
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid Al Ghazali. Beliau dilahirkan di Thus, suatu kota di Khurasan pada tahun 450 M. Ayahnya seorang pekerja pembuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar.
b.      Pemikiran filsafatnya
Menurut Al-Gahzali akal harus dipergunakan sebagai penopang, karena ia harus mengetahui dirinya sendiri dan bisa mempersepsi benda lain, yang jika lepas dari sumbat angan-angan dan khayalan maka ia harus mempersepsi benda-benda secara hakiki. Namun Al-Ghazali menghentikan akal pada batas-batas tertentu, dan hanya naqlilah yang bisa melewati batas-batas ini. Mengenai problematka sifat-sifat (Allah), Al-Ghazali memegang pendapat yang dinut oleh Asy’ari, sehingga ia tidak menerima pendapat yang dikemukakan oleh kaum Hasywiyah maupun Mu’tazilah, karena kedua aliran ini ekstrim. Aliran Hasywiyah berpegang teguh pada arti dari suatu teks (ayat Al-Qur’an dan Al-Sunnah) agar mereka tidak mengosongkan Allah dari sifat-sifat, sehingga mereka antropomorfis. Sebaliknya Mu’tazilah berlebih-lebihan dalam mensucikan Allah, sehingga mereka harus menafikan sifat-sifat dari Allah. Yang paling baik adalah tengah-tengah. Menurut Al-Ghazali, Allah adalah satu-satunya sebab bagi alam. Alam diciptakan dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, karena kehendak Allah adalah sebab bagi segala yang ada (al-Maujudat), sedangkan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sebab-sebab alami hanyalah korelasi waktu antara benda-benda. Nampak jelas bahwa Al-Ghazali mengagumi pemecahan masalah melihat Allah yang dikemukakan oleh Asy’ari. Pemecahan ini ia tingkatkan dengan cara menafsirkan melihat Allah itu sebagai suatu corak pengetahuan.[10]
6.      Al-Razi
a.      Riwayat hidupnya
      Nama lengkap al-razi adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi. Dalam wacana keilmuan barat, beliau dikenal dengan sebutan Razhes. Ia dilahirkan di Rayy, sebuah kota tua yang masa lalu bernama Rhoges, dekat Teheran, Republik Islam Iran pada tanggal 1 Sya’ban 251 H/865 M. meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/ 27 Oktober 925 dalam usia 60 tahun.
      Karya-karyanya sangat banyak sekali bahkan dia menuliskan pada salah satu kitabnya, bahwasanya dia menulis tidak kurang sari 200 karya tulis dalam berbagai ilmu pengetahuan. Sebagian dari karyanya telah dikumpulkan menjadi satu kitab yang bernama al-Rasa’il Falsafiyyat dan buku-buku yang lainnya seperti Thib al-Ruhani, al-Sirah al-Falsafah dan lain sebagainya. Dia terkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding dengan sebagai filosof.
b.      Pemikirannya filsafatnya.
1.      Lima Kekal ( Al-Qadiim )
Karena filsafatnya terkenal dengan 5 yang kekal, maka kami sebagai pemakal memasukannya dalam makalah kami. Sebenarnya pemikirannya sangat banyak, akan tetapi yang akan kami bahas disini hanya pada pemikirannya mengenai 5 hal yang kekal. Ada lima hal yang kekal itu antara lain; Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal), Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang absolut), dan al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut). Dan dia juga mengklasifikasinya pada yang hidup dan aktif. Yang hidup dan aktif itu Allah dan jiwa, yang tidak hidup dan pasif itu materi, yang tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif itu ruang dan waktu.
Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), menurutnya Allah itu kekal karena Dia-lah yang menciptakan alam ini dari bahan yang telah ada dan tidak mungkin dia menciptakan ala mini dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal), menurutnya jiwa merupakan sesuatu yang kekal selain Allah, akan tetapi kekekalannya tidak sama dengan kekekalan Allah. Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), disebut juga materi mutlak yang tidak lain adalah atom-atom yang tidak bisa dibagi lagi, dan menurutnya mengenai materi pertama, bahwasanya ia juga kekal karena diciptakan oleh Pencipta yang kekal. Sebelumnya dia berpendat bahwa materi bersifat kekal dank arena materi ini menempati ruang, maka Al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang absolute) juga kekal. Ruang dalam pandangannya dibedakan menjadi dua kategori, yakni ruang pertikular yang terbatas dab terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya,  dan ruang universal yang tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas.
Seperti ruang, dia membedakan pula Al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut) padad dua kategori yakni; waktu yang absolut/mutlak yang bersifat qadiim dan substansi yang bergerak atau yang mengalir (jauhar yajri), pembagian yang kedua yaitu waktu mahsur. Waktu mahsur adalah waktu yang berlandaskan pada pergerakan planet-planet, perjalanan bintang-bintang, dan mentari. Waktu yang kedua ini tidak kekal. Menurutnya, bahwasanya waktu yang kekal sudah ada terlebih dahulu sebelum adanya waktu yang terbatas.



     






E.        KESIMPULAN
Al-Kindi, nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’qup bin Ishaq Ash-Shabbah bin ‘Imran bin Isma’il bin Al Asy’ats bin Qays Al-Kindi. Ia dilahirkan di Kuffah tahun 185 H (801 M). Menurut Al-Kindi, filosof adalah seorang yang berupaya memperoleh kebenaran dan hidup mengalkan kebenaran yang diperolehnya yaitu orang yang hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup adil. Dengan demikian, filsafat yang sebenarnya bukan hanya pengetahuan tentang kebenaran, tetapi disamping itu juga merupakan aktualisasi atau pengamalan dari kebenaran itu.
Al-Farabi, nama lengkapnya Al-Farabi adalah Abu Nashr Ibnu Audagh Ibn Thorhan Al-Farabi, Ia dilahirkan di desa Wasij dalam kota Farab pada tahun 257 H (870 M). filsafat adalah: Al Ilmu bilmaujudaat bima Hiya Al Maujudaat, yang berarti sesuatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada ini.
Ibnu Maskawaih, nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan nama yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Beliau lahir di kota Ray, yakni pada tahun 421 H/16 M. Ia hanya membagi filsafat menjadi dua bagian; bagian teori dan bagian praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya benar, keyakinannya benar dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral.
Ibnu Sina,nama lain Ibnu Sina adalah Abu Ali Hosain Ibn Abdullah Ibn Sina. Di Eropa dia lebih dikenal dengan nama Avicenna. Beliau lahir di sebuah desa Afsyana, di daerah Bukhara pada tahun 340 H / 980 M. Adapun filsafat ajaran Ibnu Sina tentang wujud, sebagaimana para filosuf muslim terdahulu. Dari Tuhanlah kemaujudan yang mesti, mengalir inteligensi pertama, sendirian karena hanya dari yang tunggal. Yang mutlak, sesuatu dapat mewujud. Tetapi sifat inteligensi pertama itu tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan.
Al-Ghazali, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid Al Ghazali. Beliau dilahirkan di Thus, suatu kota di Khurasan pada tahun 450 M. Al-Ghazali memiliki pemikiran berisi tiga persoalan filsafat yaitu ilmu mantq, metafiska dan fisika yang diuraikan dengan sejujur-jujurnya. Seolah-olah ia seorang filosuf yang menulis tentang kefilsafatan dalam karyanya Maqashid Al Falasifah, sesudah itu ia menulis sebuah buku Tahafutu al Falasifah dimana ia bertindak bukan sebagai seorang filosuf, melainkan sebagai seorang tokoh Islam yang hendak mengkritik filsafat dan menunjukkan kelemahan-kelemahannya serta kejanggalan-kejanggalannya yaitu dalam hal-hal yang berlawanan dengan agama. Dengan demikian dia seorang filosuf yang sanggup menggugat dirinya sendiri. Ia jujur, konsekuen dan tegas dalam pendirian. Selalu nengacu pada kebenaran yang didasarkan pada ajaran Islam.
Al-Razi. Nama lengkap al-razi adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi. pemikirannya mengenai 5 hal yang kekal. Ada lima hal yang kekal itu antara lain; Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal), Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang absolut), dan al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut). Dan dia juga mengklasifikasinya pada yang hidup dan aktif. Yang hidup dan aktif itu Allah dan jiwa, yang tidak hidup dan pasif itu materi, yang tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif itu ruang dan waktu.


DAFTAR PUSTAKA

Fakhriy,Majid. Sejarah  Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2001.
H.A. Mustofa,  Fisafat Islam, CV. Pustaka Setia, Bandung , 1997.
Hossein Nas,Sayyed. Ensiklopedi Tematis Filsaft Islam, Bandung: Mizan. 1996.
Muzairi M,ag. Filsafat Agama,(Yokyakarta:Tres, 2009), hlm109
Madkour, Ibrahim Fi al-Falsafah al-Islamiyyah (Penerjemah, Yudian Wahyudi Asmin: Aliran dan Teori Filsafat Islam), PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2009.
Hanafi, MA., Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1990.
Saifuddin Anshari,Endang. Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya, Bina Ilmu, 1991.
Fu’ad Al-Ahwani,Ahmad.  Filsafat Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1988.
Asy-Arie,Musa. Filsafat Islam; Kajian Ontologis, Epistimologis, Aksiologis, Historis, Perspektif, Yogyakarta, Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992.




[1]Majid Fakhriy, Sejarah  Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2001.hal 2
[2] Ibid,. hal. 4
[3] Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah (Penerjemah, Yudian Wahyudi Asmin: Aliran dan Teori Filsafat Islam), PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hlm, 230
[4] H.A. Mustofa,  Fisafat Islam, CV. Pustaka Setia, Bandung , 1997, hal.99
[5] Sayyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsaft Islam, Bandung: Mizan. 1996. hal  208
[6] Ibid,. hal.112
[7] Op.cit. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,.hal. 310
[8] Ibid,.hal.315
[9] Op.cit, Ensiklopedi Tematik Filsafat Islam,. Hal. 289
[10] Ibid,.329

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © FILSAFAT - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -