- Back to Home »
- ASPEK PEMIKIRAN PADA MASA NABI DAN KHULAFA AL-RASYIDIN
Posted by : Unknown
Selasa, 10 Desember 2013
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam pembahasan berikut ini ada dua
konsep utama yang perlu di jelaskan terlebih dahulu, yaitu: aspek pemikiran
pada masa Nabi dan aspek pemikiran pada masa Khulafa Al-rasyidin kedua konsep
tersebut perlu dipahami sebagai suatu kesatuan kopnsep dimana dalam aspek-aspek pemikiran tersebut.
Akan tetapi disini penulis akan mencoba mengaitkannya dengan peradaban dan
sejarah bagaimana kehidupan padamasa Nabi dan Khulafa Al-rasyidin, karena dari
perspektif ini kita bisa mengetahui aspek pemikiran Nabi dan Khulafa al-rasyidin.
Cakupan pembahasan tentang aspek
pemikiran pada masa Nabi dan Khulafa al-rasyidin disini adalah konsep-konsep
pengetahuan dan objek-objek kajiannya sumber-sumber pengembangan ilmu
berdasarkan sejarah kehidupan pada masa dulu.
Tulisan ini di harapkan dapat
memeberikan wahana pengetahuan yang bersifat konseptual sehingga berfungsi
praktis dalam membahas aspek-aspek dan konsep pemikiran masa Nabi dan Khulafa
Al-rasyidin.
B.
Rumusan masalah
Dari latar belakang masalah di
atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana aspek pemikiran pada masa nabi
2.
faktor-faktor yang memicu perbedaan pendapat pada
masa nabi dan khulafa al- rasyidin
C.
Pembahasan
Memahami aspek pemikiran pada masa Nabi dan Khulafa Al-rasyidin dalam unsur-unsur ilmu pengetahuan. Sehingga secara
keseluruhannya dapat diupayakan untuk memahami sumber ilmu serta memahami
bagaimana pengaruhnya terhadap
doktrin islam samapai saat ini, dan juga mendorong
para generasi calon pemikir-pemikir Islam untuk lebih kritis dalam memahami
kebenaran yang tidak hanya didapatkan dalam satu metode berfikir saja, tapi
juga dapat mengkomparasikan berbagai macam metode berfikir tersebut untuk
kemajuan pemikiran khususnya pemikiran Islam.
1.
Aspek Pemikiran Pada Masa Nabi
Sosokok insan Nabi Muhammad (SAW) yang sangat memukau
sejarah di Dunia yang tak tertandingi yang pernah hidup di muka bumi ini, yaitu
manusia mempunyai hati yang bersih, budi pekerti yang luhur, akhlak yang mulia,
sopan dan kesantunannya yang membuat orang-orang selalu merindukan namanya dia
yang telah menyempurnakan syari’at islam memegang estapet kenabian dari Nabi-nabi
terdahulu. Beliau lahir di tengah-tengah masyarakat jahiliyah dengan moral yang
gelap dan ketika beliau lahir memberikan keharuman dan ketenangan dunia dalam
kebenaran. Sosok seorang hamba Allah ini telah membawa aspek-aspek pelajaran
yang sangat mendunia yaitu:
a.
Aspek pemikiran pada masa Nabi
Nabi muhammad lahir sebagai yatim piatu pada hari senin
12 Rabi’ul Awal tahun gajah, bertepatan dengan 20 April 571. [1]
Dalam kelahiran
beliau selalu dinanti-nantikan oleh para nabi-nabi sebelumnya, karena dia
adalah utusan terahir yang akan membawa perubahan secara mendunia melalui
aspek-aspek pemikiran dan ajaran yang telah diwahyukan oleh Allah SWT, dimana
fase pemikiran pada masa Rasulullah dimulai sejak Allah mengutus Nabi Muhammad
SAW membawa wahyu berupa Al-qur’an ketika Rasulullah SAW berada dalam Gua Hira
pada hari jumat 17 Ramadhan Tahun ketiga belas sebelum hijriah bertepatan
dengan tahun 601 M. Wahyu terus turun kepada baginda Rasulullah SAW di Mekkah selama
tiga belastahun dan terus berlansung ketika beliau berada di Madinah dan
ditempat-tempat lain setelah hijrah selama sepuluh tahun, sampai baginda Rasulullah
wafat pada tahun 11 hijriah. Jadi secara keseluruhan fase ini berlansung selama
dua puluh tiga tahun.
Aspek pemikiran
pada masa ini diwakili oleh wahyu pertama “iqra” pemikiran ini masih murni, hal
ini dikarenakan pemikiran islam pada masa ini hanya bersumber pada wahyu
alqur’an. Pemikiran islam pada masa ini disandarkan pada kemurnian akhlak Rasulullah
dan utamanya wahyu, jadi tidak ada pertentangan, karena setiap ada persoalan
langsung diajukan dan dijawab oleh Rasulullah SAW. Sehingga Nabi SAW sebagai
sentral ilmu. [2]
Namun jika Rasulullah tidak ada di tempat, maka para sahabat berijtihad sendiri
kemudian mengembalikan keputusannya kepada Rasulullah SAW untuk ditetapkan atau
dibatalkan.
Pada fase ini terkesan sangat luar biasa sekali, karena
tanpa hidup dalam dunia yang canggihpun beliau sudah menanamkan aspek pemikiran
yang sangat luar biasa dalam dunia ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Terlebih dalam urusan politik ketika beliau hijrah ke kota Madinah atau yang
sering disebut Madinatul munawwarah (kota yang bercahaya), karena dari kota
inilah Nabi resmi menjadi pemimpin umat yang pernah hidup dalam kegelapan
akhlak dan moral.
b.
Aspek Pemikiran Pada Masa Khulafa Al-Rasyidin
Setelah wafatnya Rasulullah Saw banyak sekali terjadi
perubahan, tetapi beliau meninggalkan para sahabat sang sangat pandai dan terkenal
karenakemampuannya, di antaranya Umar bin Khattab, Ali Bin Abi Thalib, Zaid Bin
Tsabit, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Aisyah. Meraka semua adalah
para ahli walaupun berbeda kadar kemapuannya dan keahliannya, seperti Umar Bin
Khattab ahli dalam bidang hukum dan kepemerintahan, Ali Bin Abi Thalib sebagaimana
Umar mempunyai keahlian dalam bidang hukum dan dalam bidang tafsir.
Ketika masa ini dimulai
sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW Tahun 11 H, sampai pada masa berdirinya
dinasti Umayyah di tangan Mu’awiyah Bin Abi Sofyan, pada masa ini aspek
pemikiran fiqih mulai menjadi pembicaraan tetapi fiqih disini masih deidasari
pada Al-Qur’an, sunnah dan juga ijtihad para sahabat yang masih hidup. Ijtihad
dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash
Al-Qur'an maupun Hadis. Permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah
banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam. Pada periode
ini, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat
pada masyarakat Islam kala itu.
Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih berusaha mencari
jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang
jelas, maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan yang jelas
juga di Hadis maka para faqih ini melakukan ijtihad.
D.
Faktor-Faktor Yang Memicu
Pemikiran Islam Pada Periode Ini
Sebagaimana yang disebutkan pada pendahuluan
tadi bahwa ada dua faktor yang memcu geliat pemikiran islam pada fase ini,
yaitu:
1. Terdapatnya masalah-masalah
yang tidak ditemukan pada masa Rasulullah. Seperti masalah khilafah, apa
syarat-syaratnya, batasan-batasannya juga orang yang tidak mau berzakat, apakah
murtad atau berdosa.
2. Disamping permasalahan interen seperti murtad
tersebut, juga di sebabkanhukum Islam mengalami perkembangan sejalan dengan
semakin luasnya wilayah kekuasaan umat Islam dan seiring dengan perubahan
kondisi sosial pada masa itu. Atau biasa dikatakan adanya interaksi orang
arab dan non arab. [3]
E. Sebab-Sebab Perbedaan
Pendapat Pada Masa Sahabat
Dalam berijtihad para sahabat tidak jarang
berbeda antara satu dengan yang lain. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya:
1.
Lingkungan tempat mereka hidup dan menetap berbeda-beda. Demikian pula
kemaslahatan dan kebutuhan yang menjadi dasar pertimbangan dalam menerapkan
hukum bertingkat-tingkat juga, misalnya Abdullah bin Umar yang tinggal dan
menetap di Madinah tidak mengalami seperti yang dialami oleh Mu’awiyah bin Abi
Sufyan di Syam. Demikian juga tidak mengalami seperti apa yang dialami oleh
Abdullah bin Mas’ud yang hidup dan menetap di Kuffah.
2.
Perbedaan tingkat pemahaman terhadap bahasa. Ada orang yang paham dengan bahasanya
sendiri, istilah-istilah asing yang ada dan cara pemakaiannya, tetapi ada juga
yang tidak bisa.
4.
Perbedaan penerimaan hadits karena setiap sahabat memeroleh jumlah hadits
yang tidak sama dan sunnah Nabi saw, yang telah tersebar di kalangan umat Islam
belum terbukukan dan belum ada consensus untuk menghimpun sunnah dalam satu
koleksi yang dijadikan sebagai pedoman bersama.
Namun demikian perbedaan tersebut tidak
menimbulkan perpecahan di kalangan para sahabat. Perbedaan itu ditanggapi
dengan bijaksana. Perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang sudah biasa (fitrah)
dan rahmat bagi manusia. Hal inilah yang patut kita teladani dalam menyikapi
segala perbedaan. [4]
F. Metode Pengayaan Masalah (Thuruqu’ al-Istinbâth) Pada Periode
Ini
Para sahabat dalam menetapkan suatu hukum
selalu berpedoman pada al-Quran dan Hadits sebagai sumber hukum Islam pertama.
Namun bila tidak dijumpai dalam al-Quran dan hadits, para sahabat menggunakan
ijtihad sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah.
Para sahabat sangat berhati-hati dalam
menggunakan akal (ra’yu). Kebanyakan mereka mencela ra’yu. Yang mereka cela
bukanlah apa yang mereka lakukan, tetapi mereka mencela apabila mengikuti hawa
nafsu dalam berfatwa tanpa bersandar pada pokok agama. Dengan demikian, pada
masa sahabat ada empat sumber hukum, yaitu:
·
Al-Quran sebagai pegangan
(landasan)
·
As-Sunah
·
Qiyas dan ra’yu
(pendapat) sebagai cabang al-Quran dan Sunnah
Adapun alasan para sahabat
melakukan ijtihad, Di ceritakan dalam riwayat yang dikemukan al Baghawi dalam
kitabnya “Masahih as-Sunnah”, ia menuturkan “Abu Bakar, kalau dihadapkan suatu
kasus perselisihan kepadanya, maka beliau mencari ketetapan hukumnya dalam al
Qur’an. Kalau beliau mendapat ketetapan hukumnya dalam al Qur’an, maka beliau
memutuskan perkara meraka dengan ketetapan menurut al Qur’an. Jika tidak
ditemukan dalam al Qur’an beliau menetapkan ketetapan hukumnya menurut
ketetapan Rasulullah SAW dalam sunnah, kemudian jika mendapat kesulitan beliau
berkonsultasi dengan sesame sahabat, kemudian berkata “telah dihadapkan
kepadaku suatu permasalahan, apakah di antara kalian ada yang mengetahui bahwa
nabi telah menetapkan hukumnya perihal masalah seperti ini. Adakalanya sekelompok sahabat berkumpul dan
menyebutkan bahwa nabi SAW pernah menetapkan hukumnya.
Kemudian Abu Bakar berkata: “segala puji bagi Allah yang telah menjadikan di
antara kita orang yang menghafal sunnah nabi kita”. Begitu pula dengan Umar,
namun langkah ke tiga umar, setelah tidak ada di Al-qur'an dan sunnah maka dia
akan melihat pada keputusan Abu Bakar. Dan pemuwasyaratan yang dilakukan Umar
lebih terperinci, dimana ketika terjadi perbedaan pendapat, maka Umar akan
bermusyawarah lagi dengan orang yang berbeda pendapat itu sampai tidak terjadi
perbedaan dan tercapai satu kepahaman.
G. Keimpulan
Untuk menjawab peradaban dan
aspek-aspek pemikiran pada masa nabi dan khulafa al-rasyidin dan masa-masa kejayaan
umat islam ketika zaman itu memang membawa perubahan dan dampak yang progress
dalam berbagai aspek ilmu pengetahuan, dimana aspek pertama yakni pemikiran
pada masa Nabi bersumber dari wahyu pertama “iqra”dan wahyu-wahyu selanjutnya
untuk mengajarkan manusia dalam kebenaran dan kebodohan, dan yang kedua yakni
aspek pemikiran pada masa Khulafa Al-Rasyidin yang lebih berkembang dengan pesat
dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, yaknin dalam bidang ilmu tafsir,
pemerintahan, politik, ekonomi dan dalam bidang kedokteran. Dengan demikian
berahirlah uraian makalah ini, hanya kepada Allah juga kami memohon semoga
usaha ini ada manfaatnya. Amin ya rabbal
alamin.
DAFTAR
PUSTAKA
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010.
Ali Maksum. Pluralisme Dan Multikulturalisme Paradigma
Baru. Yogyakarta: Aditya Media Publishing,
1984.
Musyirifah Sunanto. Sejarah Islam klasik. Jakarta Timur:
Prenada Media 2003.
Ali Sodikin dkk. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Lesfi, 2003.
Martin Lings, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan
Sumber Klasik. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
1998.
Wassalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh.
By.
Ishak Hariyanto
Magister
filsafat UIN Sunan Kalijaga
[1] Martin Lings,
Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2003), hlm. 14.
[2] Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam Klasik Hingga Modern,
(Yogyakarta: Lesfi, 2003), hlm. 43.
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 43.
[5] Ali Maksum, Pluralisme Dan Multikulturalisme Paradigma
Baru (Malang: Aditya Media Publishing, 2011), hlm. 25.