- Back to Home »
- FILSAFAT ETIKA IMMANUEL KANT DALAM KONTEKS NEGARA DEMOKRASI
Posted by : Unknown
Minggu, 08 Februari 2015
FILSAFAT ETIKA IMMANUEL KANT DALAM KONTEKS NEGARA DEMOKRASI
Oleh. Ishak Hariyanto[1]
Email. ishakharianto@yahoo.co.id
Abstrak
Etika adalah aturan yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, karena bayangkan saja dunia tanpa adanya etika atau moralitas maka
konsekuensinya akan menjadi dunia dimana tidak ada seorangpun yang memiliki
hati nurani, di mana tak seorang pun yang akan pernah merasa bersalah atau
menyesal atas apa yang mereka lakukan atau tidak mereka lakukan. Makalah ini berbicara
tentang Etika Kant dalam konteks negara demokrasi, kant mengatakan bahwa etika adalah sebuah sistem aturan yang harus diikuti karena
wajib tanpa peduli pada apa yang diinginkan atau dimaui seseorang.
Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih jauh etika
filsafat Immanuel Kant untuk memberikan suntikan etika serta moralitas kebaikan
dalam fenomena demokrasi saat ini. Demokrasi dalam konteks ini adalah kedaulatan
milik rakyat, rakyat bebas memilih dan dipilih, rakyat diatas segala-galanya. Akan tetapi demokrasi tersebut salah dimaknai serta
salah diaplikasikan oleh kebanyakan orang, sehingga demokrasi hanya dimaknai sebagai
jalan untuk mencapai kepentingan pribadi semata. Bagi Kant sesungguhnya ini menandakan
betapa keringnya moralitas yang ada pada diri kita, maka dari itu Kant
mengajarkan etika kewajiban untuk melakukan kebaikan tanpa ada suatu tujuan
tertentu dan tidak menggunakan orang lain jadi sarana demi kepentingan pribadi,
etika ini disebut oleh Kant sebagai konsep deontologi yakni nilai-nilai etika kebaikan yang berdasarkan
konsep kewajiban agar hidup lebih berkualitas.
Kata kunci. Filsafat Etika Immanuel Kant,
Negara Demokrasi
A. Pendahuluan
Moral sangat penting dalam kehidupan kita
bayangkan andaikan dunia tanpa moralitas itu akan menjadi sebuah dunia di mana
tidak ada seorang pun memiliki keyakinan tentang moral entah itu apa yang disebut dengan benar dan yang salah, baik atukah buruk. Maka
Konsekuensinya akan menjadi dunia dimana tidak ada seorangpun memiliki hati
nurani, di mana tak seorang pun yang akan pernah merasa bersalah atau menyesal
atas apa yang mereka lakukan atau tidak mereka lakukan. Meninjam bahasa
Sokrates “kita sedang membicarakan masalah yang tidak kecil, yakni mengenai
bagaimana kita harus hidup”.[2]
Karena
kita mebicarakan masalah besar yakni tentang moral maka banyak juga kontroversi
tentang makna moral. Filsafat moral sesungguhnya upaya untuk
mensistematisasikan pengetahuan tentang hakikat moralitas dan apa yang di
tuntut dari kita seperti kata Sokrates, tentang “bagaimana seharusnya hidup”
dan mengapa demikian. Maka akan sangat berguna jika kita memulainya dengan
sebuah definisi yang sederhana dan tidak kontroversial mengenai moralitas.
Mengutip pendapat Emmet Barcalow mengenai moral yakni:
There would be no moral restrains or constraints on
peoples behavior.It would be also be a world in which there was no conception
of vice and virtue, kindness, honesty and compassion would not be considered
morally better than cruetly, dishonesty and malevolence. No distinction would
be made between justice and injustice. No one would be believe that anyone has
any moral rights or duties. No one would ever claim or believe that people have
a moral right to life or right to freedom of expression or that we have a moral
duty to refrain from harming others.[3]
Terjemahan
bebasnya: bayangkan saja andaikan dunia tidak ada moralitas, maka tidak akan
ada yang mampu menahan kendala serta perilaku yang ada pada manusia. Hal ini
juga akan menjadi sebuah dunia di mana tidak akan ada konsepsi mengenai
kebajikan, kebaikan, kejujuran dan kasih sayang. Semuanya tidak akan bisa
dianggap secara moral lebih baik daripada ketidak jujuran dan kedengkian. Dan
tidak akan ada perbedaan antara keadilan
dan ketidakadilan. Tidak ada yang akan percaya bahwa seseorang memiliki hak
moral atau kewajiban. Tidak ada yang akan pernah mengklaim atau percaya bahwa
orang-orang memiliki hak moral untuk
hidup atau hak untuk kebebasan berekspresi dan bahkan kita memiliki kewajiban
moral untuk menahan diri dari menyakiti orang lain.
Selain
itu juga dunia tanpa moralitas tidak akan ada secara moral dengan benar atau
salah, baik atau buruk. Dunia tanpa moral maka manusia tidak akan bermoral
serta kebaikan dunia akan diganti menjadi kekejaman, perbudakan. Tidak akan ada
rasa keadilan karena tidak adanya moralitas. Orang yang tidak bermoral tidak
akan bisa dituduh melakukan kejahatan, tidak ada yang memiliki tugas amoral
untuk mengurangi bahaya serius yang diberlakukan kepada orang terhadap resiko
keinginan mereka. Dalam konteks negara demokrasi saat ini banyaknya
demoralisasi yang terjadi, pemerkosaan, pembunuhan, korupsi merajalela, lalu
dimankah letak moralitas yang menjadi dasar aturan hidup. Kehidupan ini akan
rusak apabila tidak ada hal yang baik yang tertanam dalam diri kita, maka dalam
hal ini kant mengajarkan kita untuk melakukan hal yang baik dan memang itu
nalar kita sudah menganggap baik tanpa terkecuali dan itulah yang disebut
dengan deontologi (etika kewajiban).
Dalam
konsep moralitas memang berbeda-beda
dalam setiap masyarakat dan merupakan kesepahaman yang pas untuk
kebiasaan-kebiasaan yang di setujui bersama.[4] Akan tetapi dalam hal ini
penulis sangat tertarik untuk mengkaji konsep etika yang dibangun oleh Immanuel
Kant dan menghubungkan dengan
negara demokrasi.
B. Biografi Singkat Kehidupan Immanuel Kant
Immanuel Kant adalah seorang filsuf yang sangat luas
pengaruhnya dalam sejarah Filsafat modern hingga sekarang. Ia lahir di
Konisberg PrusiaTimur, pada tanggal 22 April 1724. Kant merupakan anak keempat
dari empat bersaudara dan ia lahir dalam keluarga yang miskin.[5]
Orientasi etis pietisme[6] yang
sangat kental dan tiadanya penekanan terhadap dogma teologis menjadi sebuah
ciri khas kant dan faktor determinan dalam filsafatnya. Setelah menyelesaikan
kuliah di universitas Konigsberg dan ia menjadi tutor di beberapa keluarga
aristokrat. Kant mengajar di almamaternya sebagai dosen selama lima belas
tahun. Ia banyak menulis buku-buku sebagian dari karya-karyanya adalah tentang
metafisika, logika, etika, dan sains dan
juga tentang alam.[7]
Pada tahun 1770 dia diangkat menjadi guru besar logika
dan metafisika di Konigsberg, dan pada tahun 1781 dia menerbitkan karyanya yang
sangat luar biasa termasyhur yakni Critique Of Pure Reason. Karya ini
membuka bidang-bidang studi masalah-masalah baru pada zaman ketika dia hidup.
Kant juga adalah sosok filsuf yang sangat teratur rendah hari dan tidak suka
menonjolkan keilmuannya.
C. Latar Belakang Pemikiran Immanuel Kant
Dalam konteks pemikiran, seseorang tidaklah
lepas dari sejarah serta setting sosial yang mempengaruhi kehidupannya dimana
dia hidup. Dalam hal
ini penulis mencoba
memberikan hal-hal yang melatarbelakangi
pemikiran filosofis Immanuel Kant yakni zaman yang disebut
dengan
Aufklarung (zaman pencerahan). Pada abad ke-18, kita semua pernah membaca bahwa di Eropa Barat mengalami suatu zaman
baru yakni zaman pencerahan.[8] Atau
senada dengan zaman yang disebut dengan enlightenment.[9]
Pada
zaman ini orang-orang mendapatkan cahaya baru dalam segi rasionya.
Menurut Immanuel Kant pencerahan yang dimaksudkan adalah orang
keluar dari keadaan akil-balig atau terlahir kembali
seperti orang yang sedang berulang tahun. Orang-orang sebelum terjadinya
pencerahan belum memiliki sikap kritis dan rasionya belum digunakan. Sehingga
ketika terjadinya pencerahan ketika itu mereka baru sadar bahwa banyaknya kesalahan yang terjadi terhadap rasionya.
Kesalah itu terletak pada keengganan
memanfaatkan rasionya, karena lebih berpusat pada otoritas di
luar dirinya-seperti wahyu ilahi, nasihat orang yang terkenal,
ajaran-ajaran Gereja atau negara. Begitu besarnya otoritas gereja pada saat itu
sehingga memicu adanya gerakan-gerakan. Maka di saat itu pula terjadilah perkembangan ilmu pengetahuan dengan sangat
pesatnya. Ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu disebut dalam bahasa Jerman
dengan aufklarung dan sangat mempengaruhi pola pemikiran Immanuel Kant.
Sehingga wajar Kant adalah filsuf yang sangat berpengaruh serta termasyhur di
abad pertengahan.
Perkembangan pola pemikiran pada zaman pencerahan ini
tidak hanya berkembang di Jerman saja akan tetapi pencerahan ini berkembang juga di
Inggris lalu di daratan Eropa, kemudian di Prancis
berjalan dengan amat radikal, sehingga memberi
jalan bagi revolusi Prancis pada tanggal 14 juli 1789. Pada masa pencerahan di Jerman, muncul
gerakan keagamaan Lutheranisme abad ke-18. Gerakan yang dimaksudkan adalah
Pietisme yang dipelopori Spener (1635-1705) dan France (1663-1727), muncul
reaksi atas teologicial akademik yang sangat rasional
dan Gereja Institusional yang kaku. Pietisme amat menekankan kesalehan hidup,
sikap batin yang baik dan moralitas keras. Ajaran gereja
yang sejati berada dalam organisasi manapun atau dalam teologi melainkan dalam
hati orang percaya dan saleh. Dari sinilah Kant tidak suka beribadah di gereja,
dan menganggap doa-doa tidak perlu sebab Tuhan sudah
mengetahui setiap kebutuhan dan isi hati
manusia, baginya doa bisa mendatangkan penghinaan
terhadap diri sendiri. Selanjutnya dengan adanya Allah free will
dan kebakaan jiwa tidak bisa dibuktikan secara teoritis melainkan sebagai
postulat/dalil-dalil dari akal budi
praktis: ide yang menyangkut kewajiban mentaati hukum moral. Pemikiran Kant juga sangat dipengaruhi oleh Leibniz dan Hume. Keduanya mewakili pemikiran
filosofis kuat di masa pencerahan. Leibniz sebagai
tokoh rasionalisme, dan Hume sebagai tokoh empirisme.[10]
D. EtikaImmanuel Kant
dan Kaitannya Dengan Negara Demokrasi
Etika kant dalam negara demokrasi disini terkait
apabila dalam suatu masyarakat sudah tidak menghiraukan lagi aturan, hukum
serta norma-norma sosila dalam hidup bermasyarakat. Maka etika kant disini
masuk untuk mengkritisi negara yang mengusung demokrasi yang hanya
mengatasnamkan rakyat, demi rakyat dan aspirasi rakyat, akan tetapi itu semua
hanya omong kosong, maka ajaran
etika Kant disini masuk untuk mengkritisi semua yang mengatasnamakan rakayat,
karena ajaran Kant tentang Etika terdiri dari prinsip akal budi praktis yang murni. Prinsip-prinsip praktis dalam arti
proposisi-proposisi yang berisi ketentuan umum kehendak, yang memiliki beberapa
aturan praktis. Prinsip-prinsip itu bersifat subjektif, atau merupakan
maksim-maksim, ketika kondisi ini oleh subjek dianggap baik hanya bagi kehendaknya
sendiri. Prinsip-prinsip itu bersifat objektif, atau merupakan hukum praktis,
ketika kondisi tersebut oleh subjek diketahui objektif, yakni baik untuk
kehendak setiap makhluk yang rasional, karena akal dalam konteks ini berfungsi sebagai verifikator.[11]
Etika dalam pandangan Kant yakni sebuah sistem aturan
yang harus diikuti karena wajib tanpa peduli pada apa yang diinginkan atau
dimaui seseorang. Betapa murni sekali etika yang diajarkan oleh kant kepada kita semua. Menarik etika yang
diajarkan oleh kant di atas dengan konteks kekinian, yakni demokrasi masih sangat relevan sekali karena bagaimana kita
harus berbuat buat kepada seseorang tanpa ada tujuan tertentu akan tetapi
memang itu baik untuk dilakukan. Seperti contoh seorang pejabat negara secara tidak
sadar dan secara spontan menolong anak jalanan yang sedang kelaparan karena
seharian belum makan. Etika yang seperti ini yang telah diajarkan oleh Kant yakni etika kewajiban
menolong orang tanpa ada tujuan tertentu yang penting orang itu selamat/bertindaklah secara maksim. Ajaran etika Kant yang harus kita
resapi juga yakni tidak ada konsep bahwa
manusia menjadi sarana bagi kepentingan orang lain.
Akan tetapi pada konteks negara demokrasi[12] saat ini keuniversalan etika
serta keabsolutan etika itu jarang kita menjumpainya karena penulis beranggapan
di negara demokrasi Indonesia ini kita masih menganut kebenaran yang relatif
seperti yang diusung oleh kaum relativis, sehingga mengakibatkan konflik kepentingan pribadi dan orang saling sikut satu sama lain dan
melakukan tindakan-tindakan amoral dan bahkan membuat orang lain menjadi sarana
serta budak demi kepentingan pribadi. Karena para kaum relativis beranggapan berikut ini:
There is no permanent
or universal standard by which right and truth in regard to these metters can
be established and different folkways compared and criticized.[13]
Apabila kita tidak mengakui kebenaran itu secara umum dan
mengatakan bahwa kebaikan itu relatif, maka yang akan terjadi di
negara kita ini akan banyaknya kasus-kasus kekerasan yang terekam
di media-media, pemerkosaan, pembunuhan, dan bahkan korupsi. Kenapa itu semua
bisa terjadi, karena tidak adanya kontrol efektif dari para pengambil kebijakan
sehingga mengakibatkan fenomena tersebut bisa terjadi. Untuk menjawab
fenomena-fenomena tersebut maka kita hendaknya meresapi apa yang telah
diajarkan oleh etikus tersohor yakni Immnuel Kant. Kant beranggapan kekerasan, pemerkosaan, korupsi dan penyakit yang ada di
masyarakat itu bisa terjadi karena
jauh dari nilai-nilai etika kewajiban serta jauh dari moralitas yang menjadi
aturan dalam hidup.[14]
Demokrasi yang menjadi
kebanggaan negara pada saat ini sesungguhnya belumlah siap,
dikarenakan hilangnya aplikasi moralitas yang mengakibatkannya belum siap. Kita lihat saja bagaimana maraknya para
pejabat yang gila kehormatan saling adu satu sama lain untuk mendapatkan sebuah
kekuasaan, alih-alih mengatasnamakan rakyat dan demokrasi. Secara tidak lansung
masyarakat hanya di buat menjadi kambing hitam oleh para pejabat dan masyarakat
hanya dijadikan sebagai sarana untuk mengamankan posisi mereka. Bagi Kant hal
yang seperti ini sesungguhnya tidak bermoral karena kita selalu menggunakan
orang lain untuk menjadi sarana kepentingan pribadi kita, karena konsep etika yang
dibangun oleh kant membutuhkan law and
order, yakni suatu kebaikan itu harus berdasarkan aturan-aturan serta
norma-norma sosial, karena dalam kancah kehidupan bermasyarakat secara beradab
hanya akan terjadi apabila manusia itumemnuhi aturan: aturan allah, alam,
negara serta aturan-aturan yang lain.[15]
Pada saat ini Indonesia telah dihadapkan pada pesta terbesar
yakni pemilihan presiden, bagaimanakah nasib
masyarakat kedepannya apakah para pejabat setelah mendapatkan suara serta
aspirasi dari rakyat akan tetap loyal untuk rakyat ataukah berpaling setelah
mereka mendapatkan posisi yang tertinggi. Apakah sesungguhnya
masyarakat hanya menjadi korban serta batu loncatan semata, ataukah masyarakat hanya
sekedar menjadi sarana kepentingan mereka, tanpa memikirkan visi-misi yang telah
mereka usung atas nama rakyat. Dalam pandangan Kant hal seperti ini
sesungguhnya sebuah perbuatan yang tidak bermoral karena kita selalu
mengatasnamakan rakyat dan menggunakan rakyat menjadi sarana kepentingan
pribadi.
Untuk menjawab
itu semua hendaknya kita harus kembali
kepada nilai-nilai etika yang diajarkan oleh Kant, yakni sebuah etika kewajiban
untuk melakukan hal-hal yang baik, tanpa ada sebuah tujuan
tertentu, karena sebuah perbuatan baik yang dilakukan seseorang tanpa tujuan
tertentu dan memang kebaikan itu dilakukan secara spontanitas itulah yang
disebut oleh Kant sebagai konsep“deontologi”Namun pada saat yang sama
hanya sedikit dari kita yang sadar bahwa sesungguhnya etika ini sangat penting
sekali sebagai senjata kita untuk menghadapi tantangan global agar dunia ini
penuh dengan kedamaian dan ketentraman, dan tidak ada lagi orang yang saling sikut
sesama saudara, membunuh satu sama lain atas nama agama, ras, suku dan bahkan
kepercayaan.[16]
Kewajiban untuk melakukan sesuatu yang baik akan menjadi dasar bagi tindakan moral dantindakan
yang baik juga harus dilakukan tanpa terkecuali
sebagai pijakan moral. Kadang-kadang kita beranggapan bahwa kesehatan,
prestasi, kekayaan, maupun keberhasilan merupakan tindakan
baik, akan tetapi bagi Kant
hal ini hanya
bersifat sementara saja, hanya
baik secara terbatas, sehingga kemungkinan untuk berbuat jahat masih ada.
Dalam penilaiannya Kant sesuatu yang dikatakan
baik apabila
perbuatan itu memang baik tanpa
ada sebuah pencapaian tujuan tertentu. Perbuatan yang baik dan
bermoral yakni apabila seseorang melakukan sesuatu yang baik memang
sebuah keharusandan itu dilakukan
berdasarkan spontanitas (imperatif kategoris).
Dalam
The Metaphysics of Moral (Metafisika Moralitas),
Kant menghubungkan pendapat antara legalitas dan moralitas. Legalitas dalam pandangannya adalah sebagai kesesuaian atau
ketidaksesuaian. Kesesuaian atau ketidaksesuaian ini yang ada dalam diri
manusia belum bernilai moral, dikarenakan dorongan batin tidak menjadi objek
atau tidak diperhatikan. Nilai moral itu ada apabila diperoleh dalam moralitas.
Moralitas merupakan kesesuaian antara sifat dan perbuatan manusia dengan
norma hukum batiniah manusia. Kant melihat
moralitas sebagai kebaikan yang tertinggi, dan kebaikan yang tertinggi itu
menjadi kebaikan yang sempurna. Kebaikan yang dimaksud Kant berbeda dengan
kebaikan dalam arti empiris, atau kebaikan yang bersifat sementara. Akan tetapi kebaikan yang tertinggi itu akan
menciptkan kebahagiaan.[17]
Untuk mencapai
kebahagiaan yang sejati tidaklah mudah seperti apa yang kita bayangkan, akan
tetapi memerlukan pembiasaan untuk melakukan hal yang baik. dalam hal mencapai
kebahagiaan yang sejati filsuf tersohor di dunia Aristoteles pernah mengatakan tentang
kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati baginya adalah sesuatu yang
dicari oleh setiap manusia dalam hidupnya tidak akan ada lagi yang akan dicari
lagi oleh manusia selain kebahagiaan, akan tetapi selama itu belum
dicapai oleh manusia maka manusia
tidak akan pernah merasa puas dan tetap masih mencari, yang dicari oleh manusia itu sebenarnya
adalah kebahagiaan, kalau orang sudah bahagia maka tidak akan ada lagi yang dicari
selebihnya. Dan sebaliknya selama ia
belum bahagia apapun yang diperoleh tidak akan membuatnya merasa
puas. Kebahagiaan menurut Aristoteles apa-apa yang dicari oleh seseorang. Etika kebahagian ini
disebut oleh Aristoteles dengan etika “eudaimonia”[18] yang
berarti “bahagia”. Jadi bagaimana manusia harus
hidup, Aristoteles menjawab bahwa manusia harus meletakkan kehidupannya
sedemikian rupa sehingga ia menjadi
semakin bahagia.
Kebahagiaan merupakan tujuan akhir manusia, jadi aturan-aturan
moralitas bukan sesuatu yang tidak dapat dimengerti. Jadi betapa pentingnya untuk menanamkan nilai-nilai
moral dalam aspek kehidupan guna mencapai kebahagiaan yang sebenarnya. Dan kita hendaknya hidup secara bermoral karena itulah
jalan kebahagiaan, tujuan moralitas adalah mengantarkan manusia ke tujuan
akhirnya yakni kebahagiaan.[19] Oleh
karena itu hendaknya kita selalu mempertimbangkan apa-apa yang hendak kita lakukan dan pentingnya pertimbangan secara
rasioanal sebagai dasar moralitas, karena moralitas adalah keseluruhan
peraturan tentang bagaimana manusia harus mengatur kehidupannya supaya menjadi
orang baik.[20]
Dalam konteks etika, penulis mencoba menarik pendapat
Paul Recoeur dalam Kaplan, dimana Recoeur memberikan tiga tesis dalam kaitannya
dengan etika dan moralitas. Dimana etika merujuk pada tujuan teologis menjalani
kehidupan yang baik, yang merupakan karakteristik dari tradisi Aristotelian,
sementara moralitas merujuk pada kewajiban untuk menghormati norma-norma
universal yang merupakan karakteristik dari tradisi deontological ethics[21] yang
dianut oleh kantian: (1) keutamaan etika di atas moralitas, (2) keniscayaan
bahwa tujuan etika harus di mediasi oleh norma moral, (3) moralitas jalan lain
harus memasukkan etika untuk menyelesaikan pelbagai konflik dan apriori. Etika
mencakup moralitas-tetapi sementara ia merupakan subordinat etika, moralitas
merupakan sebuah momen yang penting dan deontologis berkaitan dengan
aktualisasai etika.[22]
Diantara tradisi
Kantian dan Aristoteles. Recoeur
mengusulkan untuk menegakkan “suatu hubungan yang meliputi subordinasi dan
komplementaritas sekaligus”, yang pada ahirnya akan diperkuat oleh jalan lain
terahir moralitas menuju etika. Jalan lain terahir menuju etika yang diperkaya
oleh moralitas adalah bentuk kearifan praktis yang diarahkan menuju aplikasi
yang tepat atas norma-norma universal dalam pelbagai situasi partikular.
Kearifan praktis merupakan seni mediasi syarat partikular dari tujuan etis dan
syarat universal dari norma moral yang diarahkan untuk bertindak secara tepat
dan adil dengan tujuan mencapai kebahagiaan bersama orang lain dalam sebuah
masyarakat yang baik dan adil.
Keterkaitan antara moral dan
etika menjadi dasar suatu tindakan yang bersifat mutlak
namun tetap memiliki patokan tertentu. Etika mencari tahu hukum tindakan atau
prinsip moral dalam setiap perbuatan manusia dan moralitas menjadi suatu
kesesuaian tindakan manusia dengan norma batiniah. Etika dan moral
mengarahkan manusia agar dapat bertindak demi kewajibannya semata-mata.[23]
Teori Kant tentang moralitas ini menyatakan potensi
kemanusiaan untuk membatasi keterbatasan kita. Bagi Kant, ada perbedaan jelas
yang bisa di tarik antara penalaran teoretis murni dan penalaran praktis murni.
Penalaran teoretis kita terbatas dan terkondisi: kita tidak bisa tahu hal-hal
dalam cara mediasi dalam cara yang mungkin seperti caranya malaikat. Secara
moral, kita juga terbatas: kita sering di dorong oleh nafsu dan
keinginan hewani dari pada di dorong oleh pertimbangan moral. Namun demikian,
dalam kasus moralitas menurut Kant, kita masih mampu mengetahui apa
yang benar. Ada cara-cara dimana kita dapat mengerjakan apa yang
menjadi tugas kita, melalui prinsip-prinsip penguniversalan dimana kita
merencanakan untuk bertindak dan mempertimbangkan implikasi dari
prinsip-prinsip tersebut untuk menjadi hukum universal yang disebut “categorical
imperative” atau berlaku mendesak secara kategoris.[24]
Namun demikian, untuk bertindak secara moral bukan
sekedar melakukan hal yang benar, tetapi untuk melakukan hal yang benar demi
melakukan hal yang benar itu sendiri bukan melakukan itu demi hal itu cocok
dengan kita atau tidak. Bagi Kant, memberi uang pada pengemis karena kasihan
padanya adalah bukan tindakan moral, yang bisa di sebut tindakan
moral adalah memberi uang pada pengemis dikarenakan amal baik dan bisa di
universalkan sebagai hal yang baik. Jadi, kapasitas moral yang sama-sama
dimiliki manusia ini, menurut Kant, adalah yang membedakan kita dengan binatang
dan membuat kita secara khusus layak di hormati.[25]
Mungkin, implikasi
paling terkenal yang bisa di tarik Kant dari analisisnya tentang kapasitas
moral kita untuk mengetahui dan menjalankan hukum moral adalah argumennya bahwa
manusia tidak boleh di perlakukan sebagai sarana tujuan-tujuan tertentu.
Prinsip ini menjadi salah satu inspirasi bagi ide Hak Asasi Manusia secara universal
yang sangat berpengaruh pada abad ke-20. Teori moral Kant juga terus menjadi
acuan yang sangat penting bagi teori selanjutnya dan bagi etika internasional
kontemporer. Bagi beberapa pihak, pandangannya tentang moralitas menangkap inti
rasional dan universal tentang penalaran moral, yang kemudian dapat memberi
tolak ukur bagi kritik moral yang beroperasi melintasi batas-batas budaya dan
kekuasaan. Bagi pihak lain, teori moral Kant tidak mampu mempertahankan
klaimnya terhadap universalitas, terlalu abstrak dan rasionalistik, dan karena
itu tidak peka terhadap kekhasan pengalaman dan tradisi etis yang berbeda. Dalam hal hukum moralitas yang universal yang
diperdebatkan seperti dikutip berikut ini:
According to Kant deontology, the ultimate principle of morality must
be a moral law conceived so abstractly that it is capable of guiding us to the
right action in application to every possible set of circumstances. So the only
relevant feature of the moral law is its generality, the fact that it has the
formal property of universalizability, by virtue of which it can
be applied at all times to every moral agent. From this chain of reasoning
about our ordinary moral concepts, Kant derived as a preliminary statement of
moral obligation the notion that right actions are those that practical reason
would will as universal law.[26]
Berdasarkan
deontoliginya Kant, dia mengatakan bahwa moralitas harus dijadikan sebagaikewajiban,
prinsip dan jugasebagai hukum.Dalam konsepsi moralitas yang abstrak itu
sesungguhnya mampu membimbing kita kepada tindakan yang tepat dalamkeadaan
apapun. Jadi satu-satunya bagian yang sesuai dari hukummoral itu adalah keumumannya,
faktanyamoral memiliki sifat formal dari keuniversalannya yang dapat diterapkan
pada setiap saat bagi pelaku moral. Dari keseluruhan nalar kita tentang
konsep moral, Kant memberikan pernyataan tentang kewajiban moral itu sendiri,
kewajiban moral itu dalam gagasannya adalah setiap tindakan yang
tepat adalah mereka yang melakukan tindakan bermoral secara praktis atas
kemauannya tanpa tujuan tertentu itulah yang disebut dengan
hukum universal.
Meskipun hukum keuniversalan tentang moralitas dipermasalahkan akan tetapi paling tidak berfungsi secara
praktis seperti dikutip berikut ini:
Reason is transcendent for theoretical philosophy,
that is, it is a concept such that no instance corresponding to it can be given
in any possible experience, and of an object of which we cannot obtain any
theoretical knowledge: The concept of freedom cannot hold as a constitutive but
solely as a regulative and, indeed, merely negative principle of speculative
reason. But in reason's practical use the concept of freedom proves its reality
by practical principles, which are laws of a causality of pure reason for
determining choice independently of any empirical conditions (of sensibility
generally) and prove a pure will in us, in which moral concepts and laws have
their source. On this concept of freedom, which is positive (from a practical
point of view), are based unconditional practical laws, which are called moral.
For us, whose choice is sensibly affected and so does not of itself.[27]
Alasan transenden dalam filsafat teoritis adalah tentang sebuah
konsep pengalaman dan mungkin tidak ada contoh yang sesuai dengan itu. Dimana
konsep pengalaman dari obyek yang kita tidak dapat memperolehnya dalam
pengetahuan secara teoritis: Konsep kebebasan tidak hanya semata-mata sebagai
konstitutif akan tetapi sebagai alasan yang regulatif dan memang itu
hanya alasan prinsip yang negatif bukan alasan spekulatif. Akan
tetapi alasan penggunaan konsep kebebasan secara praktis ini membuktikan
realitasnya pada prinsip-prinsip yang praktis, dimana itu semua merupakan hukum
kausalitas atau alasan secara alami dalam menentukan pilihan
secara independen dari kondisi-kondisi empiris atau kepekaan umum yang
membuktikan kemauan secara alami dalam diri kita, dimana konsep moral dan hukum
itu sesungguhnya memiliki sumber tersendiri. Pada konsep kebebasan yang positif
ini sebenarnya harus dilihat dari sudut pandang dan harus didasarkan
pada hukum yang praktis tanpa syarat apapun dan itulah yang disebut dengan moral.
Jadi pada dasarnya sebuah pilihan yang bijaksana itu tidak terkontaminasi oleh
keinginan atau tujuan apapun, akan tetapi berjalan dengan alasan yang
murni atau berjalan dengan sendirinya.
E. Perbedaan Antara Imperatif Hipotetis dan Imperatif
Kategoris
Dalam konteks ini penulis ingin mencoba menjabarkan
apa yang menjadi permasalahan dalam moralitas kita, dan apa yang harus kita
lakukan. Kant dalam menjabarkan mengenai moralitas yakni skadang-kadang kita agak
sulit membedakan antara imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Oleh
karena penulis mencoba menjabarkan perbedaan diantara keduanya sebagai landasan
kita dalam hidup berdemokrasi.
1. Imperatif Hipotetis
Imperatif
Hipotetis adalah perintah bersyarat yang mengatakan suatu tindakan diperlukan
sebagai sarana atau syarat untuk mencapai sesuatu yang yang diinginkan. Prinsip-prinsip
dari imperatif-hipotetis hanya menyaratkan adanya tujuan-tujuan tertentu yang
mau dicapai saja sehingga melakukan hal yang baik. Contohnya: jika para pejabat
ingin menduduki posisi tertinggi, maka harus berani blusukan dan menyuarakan
kepentingan-kepentingan rakyat. Perintah dalam imperatif hipotetis memang
memberikan suatu perbuatan yang baik dalam arti tertentu seperti “menduduki
posisi tertinggi” sebab ada syarat untuk meraih suatu tujuan.[28]
Sebuah imperatif memberitahu kita tindakan-tindakan
mana yang baik, dan di lain pihak imperatif yang sama juga merumuskan suatu
kaidah praktis bagi kehendak kita. Dengan adanya imperatif, kita bisa tahu
tindakan yang diambil adalah baik tetapi dalam arti tertentu, yang perlu
diperhatikan adalah kita tidak harus mengambil tindakan tersebut atau bahkan
kita dapat menolak kaidah budi praktis tersebut. Imperatif hipotetis hanya menyatakan
bahwa suatu tindakan itu baik bagi suatu tujuan yang mungkin diinginkan atau
tujuan yang nyatanya diinginkan. Dalam artian kita melakukan hal yang baik
karena ada tujuan tertentu saja untuk kepentingan kita.
a). Imperatif hipotetis
problematis
kadang-kadang imperatif hipotetis bersifat problematik
jika tujuan yang hendak dicapai adalah apa yang mungkin diinginkan. Sedangkan
imperatif hipotetis bersifat pragmatis bila tujuan yang hendak dicapai adalah
jelas atau nyata diinginkan. Segala sesuatu yang dapat dicapai oleh usaha
manusia berbudi adalah sebuah tujuan yang bisa saja dikehendaki oleh dirinya
sendiri. Sebagai akibat dari
semuanya itu adalah adanya banyak prinsip tindakan yang jumlahnya tidak
terhingga tetapi sejauh tindakan tersebut dimengerti sebagai suatu yang mutlak
perlu untuk meraih tujuan tertentu. Semuanya itu terdapat pada ilmu pengetahuan
alam dan sering disebut imperatif–imperatif kecakapan. Didalamnya tidak ada
permasalahan mengenai rasionalitas atau kebaikan dari tujuan tersebut.
Realitas ini menunjukkan bahwa
banyaknya tujuan yang diinginkan oleh kebanyakan orang dan banyaknya
sarana-sarana yang dipakai dan diperlukan seringkali bertentangan satu sama
lain. Kant berpendapat bahwa apabila tujuan yang ingin dicapai adalah apa yang
mungkin diinginkan orang, maka imperatif hipotetisnya bersifat problematik.
Sebagai gambaran secara umum,mungkin kita
semua masih ingat ketika masih anak-anak dulu, kita tidak tahu apa yang
menjadi tujuan hidup kita kedepannya. Akan tetapi orangtualah yang membantu
membekali kita dengan kemampuan menggunakan sarana-sarana yang ada demi meraih
sesuatu yang mungkin kita inginkan. Tetapi sebenarnya mereka juga tidak tahu
dengan pasti apa yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dalam hidup anaknya
kelak. Orangtua mendidik anak-anaknya
dengan berpikir bahwa selama apa yang ingin dicapai adalah apa yang mungkin
anak mereka inginkan. Maka orangtua perlu memberikan kecakapan-kecakapan dalam
memakai berbagai hal yang mungkin akan mereka capai sebagai tujuanya. Akibatnya
masing-masing orang tua bisa memiliki sesuatu dan tujuan untuk mencapai apa
yang mereka inginkan yang pastinya berbeda-beda atau bahkan dapat saling
bertentangan satu sama lain.
Ada
satu tujuan yang berbeda yang mungkin dinginkan dan pada kenyataannya
sudah tentu dinginkan oleh setiap orang. Tujuan yang diinginkan
tersebut adalah kebahagiaan. Maksud dari kebahagiaan ini menurut Kant adalah
terpuaskannya semua keinginan dan kecenderungan manusia yang tetap dibidang
empiris seperti: kekayaan, kehormatan, kekuasaan, kesejahteraan, kesehatan,
dll. Kebahagiaan sebagai tujuan,
menurut Kant tidak hanyasesuatu yang bisa dimiliki manusia, melainkan juga
dapat dipastikan sebagai suatu yang diidamkan manusia berdasarkan keharusan
kodratnya.[29]
b). Imperatif hipotetis
asertoris
Imperatif hipotetis asertoris
merupakan sebuah tindakan yang menegaskan keharusan praktis suatu tindakan
sebagai sarana untuk menggapai suatu tujuan. Imperatif hipotetis asertoris memerintahkan
orang untuk mencapai tujuan yang hendak dicapainya, misalnya: “kebahagiaan” imperatif
tersebut akan mengatakan misalnya; setiap orang memang menghendaki kebahagiaan
karena keharusan kodrat, sehingga kita wajib dan perlu melakukan banyak cara untuk
dapat mencapainya. Sudah barang tentu kita memerlukan tindakan-tindakan tertentu sebagai sarana untuk dapat mewujudkannya,
contohnya: Apabila kita ingin sukses dalam hidup maka berusahalah dengan
sungguh-sunguh dan jangan mudah menyerah apabila menghadapi
permasalahan.
Jadi kebahagiaan bukanlah suatu
tujuan yang dapat diletakkan di hadapan kita atau dikesampingkan dengan sesuka
hati, seperti seseorang memilih atau tidak memilih suatu barang kesukaannya. Karena
dalam imperatif hipotetis asertoris keharusan tindakan yang diperintahkan
secara spontan, mungkin kitabisa kenyataanya setiap orang menghendaki
kebahagiaan. Imperatif hipotetis asertoris menekankan bahwa semua orang memang benar-benar
menghendaki yang namanya kebahagiaan dan pastinya kita wajib melakukan tindakan
tertentu guna mencapai semuanya itu.
Imperatif
hipotetis asertoris tidak hanya menunjukkan sarana-sarana yang perlu untuk
mencapai apa yang diinginkan, melainkan juga sarana-sarana untuk mencapai
tujuan yang dapat kita andaikan a priori yang mutlak perlu dan dapat
dipastikan ada pada diri setiap orang berdasarkan keharusan kodratnya, kemampuan
orang untuk memilih sarana-sarana yang tepat demi mencapai kebahagiaan ini
dinamai oleh Kant sebagai wisdom (kebijaksanaan).[30]
Jadi sebuah perintah yang berhubungan dengan pemilihan
sarana-sarana untuk mencapai kebahagiaan tersebut menurut Kant disebut sebagai
petunjuk-petunjuk kebijaksanaan yang tetap bersifat hipotetis. Dalam imperatif
hipotetis asertoris, suatu perbuatan atau tindakan diperintahkan tidak secara
mutlak, melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih lanjut.
Hingga pada akhirnya menurut Kant ada imperatif yang memerintahkan suatu
tindakan dilakukan begitu saja dan terlepas dari tujuan yang hendak dicapai dan
imperatif ini bersifat kategoris.
2. imperatif
kategoris
Manusia
dalam dinamika hidupnya sebenarnya senantiasa dipengaruhi oleh berbagai bentuk
pemikiran dan pemahamannya masing-masing. Dapat juga dikatakan bahwa citra diri
dan eksistensinya merupakan wujud dari perkembangan budi dan rasionalnya. Dalam
konteks ini kant beranggapan imperatif kategoris mengikat para pelaku rasional,
semata-mata karena mereka makhluk rasional dengan kata lain seseorang yang tidak
menerima prinsip ini dinyatakan bersalah bukan hanya tidak bermoral melainkan
karena irrasioanal. Hal ini mencengangkan kita bahwa ada dorongan baik rasional
maupun moral atas apa yang boleh dipercayai dan dilakukan oleh orang yang baik.
Tetapi apakah sesungguhnya ini, dalam hal apa kita harus menolak imperatif
kategoris akan berarti rsional
Gagasan pokok adalah seperti ini, suatu keputusan moral
harus didukung oleh alasan-alasan yang baik jikalau benar bahwa anda harus atau
tidak boleh melakukan sesuatu tindakan, maka harus ada alasan mengapa anda
harus melakukan atau tidak bolehmelakukan itu. Misalnya kita berpikir bahwa
kita tidak boleh membakar hutan karena hal itu akanmerusak harta orang dan
orang-oang akan terbunuh.[31]
Jebakan Kant terletakpada kenyataan, “jikalau kita bisa
mengartikan hal-hal itu sebagai alasan untuk satu kasus, kita juga harus
menerimanya sebagai alasan-alasan dalam kasus lain”. Jikalau ada kasus lain
dimana harta rusak orang-orang tebunuh apakah kita harus menerima hal itu
sebagai alsan untuk tindakan dalamkasus itu juga. Tidak baik mengatakan bahwa
kita menerima alsan-alasan itu pada suatu saat, tetapi tidak untuk seterusnya;
atau orang lain harus menghormatinya serta menerimanya tetapi kita tidak harus.
Alasan moralnya jika benar karena mengikat semua orang pada setiap waktu. Inilah tuntutan untuk konsistensi, dan Kant benar
ketika beranggapan bahwa tak ada seorangpun yang rasional dapat menyangkalnya.[32]
Dalam imperatif kategoris ini ada kewajiban yang
menentukan sikap dan perilaku setiap manusia. Kewajiban itu sendiri menurut
Kant adalah paham a priori akal budi praktis murni, maka kewajiban itu
tidak bersandar dari suatu realitas empiris. Maka Kant menyajikan dua kriteria
untuk mengetahui kewajiban itu. Kriteria itu tidak hanya sekedar perintah,
lebih jauh lagi Kant menyebutnya dalam Imperatif. Inti dari imperatif kategoris ini adalah bertindaklah
secara moral/maksim. Ada dua segi yang
perlu dalam imperatif kategoris ini. Pertama, bahwa dia berupa perintah, dan
kedua, bahwa perintah itu kategoris.[33]
Dalam konteks negara
demokrasi sesungguhnya para pejabat harus memperhatikan apa yang disebut dengan
Imperatif kategoris oleh Kant agar kita lebih bermoral. Bukan hanya sekedar mengusung nama rakyat, aspirasi rakyat
untuk kepentingan pribadi semata, sehingga rakyat
hanya sebagai sarana serta kambing hitam dalam mencapai tujuan saja. Akan
tetapi kita harus memperhatikan imperatif kategoris ini sebuah landasan dalam
bertindak karena imperatif kategorisini adalah keharusan yang tidak bersyarat,
melainkan mutlak. Imperatif ini memerintahkan sesuatu bukan untuk mencapai
tujuan tertentu, melainkan karena perintah itu baik pada dirinya. Jelas bahwa
bertindak secara moral tidak tergantung pada berbagai maksud baik atau tujuan
atau kondisi, melainkan berlaku kapan dan di mana saja dalam situasi apapun.
Bertindak secara moral dirumuskan oleh Immanuel Kant sebagai berikut, “Bertindaklah semata-mata menurut prinsip
(maksim)[34]
yang dapat sekaligus dan dikehendaki menjadi hukum umum”. Maksim itu menjadi dasar
penilaian moral terhadap orang lain. Etika yang mendasarkan pada maksim lebih
tepat dibandingkan etika peraturan atau norma.[35]
F. Kesimpulan
Dari ulasan mengenai etika di atas penulis mencoba
menarik kesimpulan dari intisari ajaran etika Immanuel Kant. Ajaran Kant tentang etika
sungguh-sungguh terdiri dari etika yang sangat murni. Dalam prinsip akal budi praktis yang murni terdiri
dari prinsip-prinsip praktis dalam arti proposisi-proposisi yang berisi
ketentuan umum kehendak, yang memiliki beberapa aturan secara praktis.
Prinsip-prinsip itu bersifat subjektif, atau merupakan maksim-maksim, jika
kondisi ini dianggap oleh subjek sebagai suatu yang benar hanya bagi
kehendaknya sendiri akan tetapi prinsip-prinsip
itu bersifat objektif, atau merupakan hukum praktis, ketika kondisi tersebut
oleh subjek diketahui objektif, yakni sahih untuk kehendak setiap makhluk yang
rasional.
Dari ajaran Kant tentang etika juga terdapat pembagian
yakni. Pertama, bagi Kant etika menjadi kewajiban mendasar dalam
tindakan moral dan moralitas. Dan terlebih lagi dalam konteks negara demokrasi harus
selalu mempertimbangkan nilai-nilai moralitas, karena etika merupakan kesesuaian antara sifat dan
perbuatan manusia dengan norma hukum batiniah manusia. Kedua, kewajiban
yang menjadi dasar tindakan moral memiliki dua Kriteria yang disebut dengan
imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Imperatif hipotetis merupakan
perintah bersyarat, artinya suatu tindakan diperlukan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan. Sedangkan imperatif kategoris adalah keharusan yang tidak
bersyarat kita melakukan hal baik karena secara spontanitas.
Untuk kita semua, mungkin selama ini kita sering
menonton fenomena serta aplikasi demokrasi di negara ini, dimana demokrasi itu lebih cenderung kepada imperatif hipotetis, yakni
bertindak untuk mendapatkan sesuatu yang hendak dicapai tanpa memperhatikan
nilai moral yang terkandung didalamnya. Dan cenderung bertindak
hanya mementingkan urusan pribadi semata dan bahkan kita selalu membuat orang
lain menjadi sarana demi kepentingan kita, dan dalam konteks negara demokrasi
disini bahwa masyarakat sebagai korban dan sarana semata, bukan bertindak hanya
demi kepentingan pribadi dan memanfaatkan orang lain menjadi sarana kepentingan
kita. Oleh karena itu mulai
saat ini hendaknya kita selalu memperhatikan nilai-nilai moral serta etika
kewajiban deontologi sebelum bertindak, dan untuk menjawab itu semua
Immanuel Kant telah merekomendasikan kepada kita mengenai kewajiban-kewajiban
dan menyeru kita untuk bertindak berdasarkan kewajiban mutlak dalam diri kita masing-masing dan tentunya demi bangsa yang kita
cintai.
DAFTAR PUSTAKA
Awaludinblogspot.com
diakses 23 Maret 2013.
Barcalow, Emmet, Moral
Philosophy Theories And Issues, United States Of America: Wadsworth Publishing Company, 1998.
Blacburn, Simon, Kamus
Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Kant, Immanuel, The
Metaphysics Of Moral, United States Of America: Cambridge University Press, 1991.
----------------------,
Critique Of Pure Reason, The Liberal Arts Press New York, 1956.
Kaplan, M., David, Recoeur’s
Critical Theory, terj. Ruslani Yogyakarta: Pustaka Utama Yogyakarta 2010.
Rachels James,The
Elements Of Moral Phylosophy, terj. A. Sudiarja, Yogyakarta: Kanisius,
2004.
Suharyo, I.,Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Suseno, Magnis,
Franz, Menjadi Manusia Belajar Dari Aristoteles, Yogyakarta: Kanisius, 2009.
--------------------, 13 Tokoh Etika: Sejak Jaman
Yunani Sampai Abad ke-19, Yogyakarta:
Kanisius, 1997.
Tjahjadi, Lili,S.P., Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang
Etika dan Imperatif Kategoris, Yogyakarta:
Kanisius, 1991.
--------------------, Petualangan Intelektual, Yogyakarta,
Kanisius 2004.
[2]James Rachels, The Elements Of Moral Phylosophy, Terj. A.
Sudiarja, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 17.
[3]Emmet Barcalow, Moral Philosophy Theories And Issues, (United
States Of America: Wadsworth Publishing Company, 1998), hlm. 1.
[4]James Rachels, The Elements Of Moral..., hlm. 42.
[5]S.P. Lili
Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif
Kategoris, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 25.
[6]Pietism(pietisme) adalah gerakan devosi di
gereja lutheran; secara luas pietisme adalah sikap apapun terhadap agama yang
menekankan kesalehan dan iman lebih tinggi daripada pembuktian dan rasio. Baca
Simon Blacburn, Kamus Filsafat. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013),
hlm. 663. Pietisme adalah gerakan kebangkitan dalam Protestantisme yang
dirintis oleh Philipp Jakob Spener (1635-1705) yang menekankan doa, pembacaan
Kitab Suci, pengalaman religius, dan kehidupan Kristiani yang yang
sungguh-sungguh dalam komunitas-komunitas kecil. Gerakan ini muncul sebagi
reaksi untuk melawan ortodoksi formal Gerejawi resmi yang amat kuat. Pietisme
juga mendorong munculnya metodisme dan mempunyai pengaruh pada ahli-ahli
teologi. I. Suharyo,Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm.
256.
[7]Immanuel Kant, Critique Of Pure Reason, (The Liberal Arts Press
New York, 1956), hlm. xxxi-xxxii.
[8]S.P. Lili
Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika...,hlm.
25.
[9]Enlightenmentmerupakan periode pemikirna Eropa
yang dicirikan oleh penekanan terhadap pengalaman dan rasio, tidak mempercayai
agama dan otoritas tradisional, dan terjadi kemunculan bertahap ideal-ideal
tentang masyarakat yang liberal, sekuler dan demokratis. Di Inggris, gerakan
ini dimulai pada abad ke-17 lewat tulisan tulisan Francis Bacon dan Hobbes.
Sedangkan di perancis lebih pada penekanan baru terhadap rasio dan di tandai
oleh Descrates. Sedangkan di Jerman ditandai dengan filsafat kritis Kant. Simon
Blackburn, Kamus ..., hlm. 280.
[11]Immanuel Kant, Critique Of Pure...,hlm. 29.
[12] Demokrasi yang dimaksud
disini adalah pemerintahan dipegang oleh rakyat secara lansung, demokrasi
dalampemikiran Yunani kuno yang lahir di Athena merupakan pemerintahan oleh
warga langsung. Dalam masyarakat modern kedaulatan di tangan rakyat secara umum
baik laki-laki maupun perempuan yang di ekspresikan secara lansung lewat pemilu
dengan syarat-syarat tertentu. Silahkan
lihat Simon Blacburn, Kamus..., hlm.226.
[16]James Rachels, The Elements Of Moral..., hlm. 230.
[18]Eudaimoniaberasal dari
bahasa yunani yang berarti kebahagiaan, rasa kesejahteraan, keberhasilan, etika
eudaimonia ini adalah tujuan sentral semua sistem etika kuno. Menurut
Aristoteles ini adalah hal yang paling baik termulia danpaling menyenangkan di
dunia.Eudaimonia ini diartikan sebagai etika atau konsep kebahagian atau rasa kesejahteraan namun kata
ini memiliki konotasi yang sama dengankeberhasilan karena sebagai tambahan
untuk menjalani hidup dengan baik ia juga harus mengandung tindakan yang baik.
Simon Blackburn, Kamus ..., hlm. 295.
[21]Deontological Ethics (Etika Deontologis)
merupakan etika yang berdasarkan konsep tentang kewajiban, atau apa yang benar,
hak-hak, lawan dari sistem etika yang berdasarkan ide dasar meraih sejumlah kondisi
hubungan baikatau kualitas-kualitas karakter yang dibutuhkan untuk hidup dengan
baik. Sistem deontologis ini disuarkaan oleh Kant. Lihat Simon Blackburn, Kamus
..., hlm. 230.
[22]David M. Kaplan, Recoeur’s Critical Theory, terj. Ruslani,
(Yogyakarta: Pustaka Utama Yogyakarta 2010), hlm. 154.
[23]S.P. Lili.
Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta, Kanisius 2004),
hlm. 287.
[24]David M. Kaplan, Recoeur’s Critical...,hlm 155.
[25]Awaludinblogspot.com diakses 23 Maret 2013.
[27]Immanuel Kant, The Metaphysics Of Moral, (United States Of
America: Cambridge University Press, 1991), hlm. 48.
[28]S.P. Lili. Tjhajadi, Petualangan
…, hlm. 289.
[29]Ibid.
[30]Ibid.
[31]James Rachels, The Elements Of Moral..., hlm. 231.
[33]Franz Magnis Suseno, 13
Tokoh Etika: Sejak Jaman Yunani Sampai Abad ke-19(Yogyakarta:
Kanisius, 1997), hlm. 145
[34]Maxim adalah perintah subjektif
dalam bertindak, sikap dasar hati orang dalam mengambil sikap-sikap dan
tindakan-tindakan yang konkret. Maksim bukan segala macam pertimbangan. Maksim
adalah sikap-sikap dasar yang memberikan arah bersama kepada sejumlah maksud
dan tindakan konkret. Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika..., hlm.
147.
Maxim umumnya aturan atau panduan sederhana
dan mudah diingat untuk menjalani hidup: seperti contoh: mustahil pengutang
bisa memberi pinjaman. Sedangkan Tennyson membicarakan tentang maksim yakni
sekumpulan maksim yang dikhotbahkan langsung ke hati anak perempuan
sehingga maksim diasosiakan dengan pendekatan pepatah bagi moralitas. Dalam
penggunaan Kant setiap tindakan muncul sesuai dengan maksim atau prinsip
subjektif yang bersesuaian sehingga tindakan itu-pun dilakukan. Bentuk pertamanya
adalah imperatif kategoris yang menegaskan bahwa kita hanya bisa memberi
tahu apakah sebuah tindakan sudah benar dengan melihat apakah maksimnya
dapat diniatkan secara konsisten untuk menjadi hukum universal. Sedangkan dalam
Maximin Principle (prinsip maksim) yang kemukakan oleh John Rawls
mengatakan prinsip maksim adalah teori keputusan yang menyatakan bahwa
minimal dalam sejumlah situasi keputusan yang benar adalah yang sanggup
memaksimalkan hasil minimum dari situlah istilah ini berasal, maksimalisasi
yang minimum yaitumebuat hasil yang terburuk menjadi sebaik mungkin, pendapat
ini sering di deskripsikan sebagai pembalikan resiko. Prinsip ini merupakan
komponen kunci dalam karya John Rawls yang sangat berpengaruh yakni A Thery
Of Justice. Simon Blacburn, Kamus..., hlm. 541-532.