- Back to Home »
- TURKISH MUSLIMS AND ISLAMIC TURKEY: on perspectives Fethullah Gulen’s movement for finding a European Islamic identity
TURKISH MUSLIMS AND ISLAMIC TURKEY: on perspectives Fethullah Gulen’s movement for finding a European Islamic identity
Posted by : Unknown
Minggu, 08 Februari 2015
MUSLIM
TURKI DAN ISLAM TURKI: dalam perspektif gerakan Fethullah Gulen untuk menemukan
identitas Islam di Eropa
TURKISH
MUSLIMS AND ISLAMIC TURKEY: on perspectives Fethullah Gulen’s movement for finding a European Islamic identity
Oleh: Ishak Hariyanto[1]
Email. ishakharianto@yahoo.co.id
Abstract
This paper talk about Turkish Muslims and Islamic
Turkey: perspectives for a new European Islamic identity. There are significant
refrences for the development of society when humans first found fire, then the
wheel and most recently the silicon or microchip with wich humanity has
revolutionized its thought and behaviour, progress and creativity. However the
societies has a negative historical data bring back the horros of just the last
century. Fethullah Gulen’s concept to redeem all the problem Turkish muslim and
Islam Turkey, he was mentioned social formation of community and society based
on dialogue and tolerance, self-scrifice and altruism, avoidance of political
and ideological conflict, taking action in a positive and harmonious way and
taking responsibility has had a formidable influence on individuals and groups. Gulen also has evoked a thought
changing movement both within Turkey and several other part of the world and
has potential to redefine what it means rationally to be Islamic and European
at the same time.
Keywords: Turkish Muslim, European
Islamic Identity, Gulen’s Social Formula.
A. Pendahuluan
Negara
Turki sekarang merupakan negara yang berbeda di dua benua; Eropa dan Asia,
dengan luas 780.580 km2 dan 95%-nya berada di Asia, sejak tahun 1932 M,
batas-batas negara Turki sebelah utara sampai Laut Hitam, sebelah selatan
sampai Syiria dan Laut Tengah, sebelah Barat Laut Aegea dan Iran serta Rusia di
sebelah Timur. Ibukota pemerintahan bernama Ankara. Sebelum runtuhnya sistem
kesultanan Utsmaniyah, geopolitik Turki mencakup dan meliputi area wilayah yang
sangat luas. Sejak munculnya imperealisme Eropa seluruh wilayah Turki yang
meliputi kawasan-kawasan Afrika Utara, Asia Barat termasuk sebagian Eropa Timur
sedikit demi sedikit mulai dilepaskan. Kekuatan Eropa terutama Inggris dan
Prancis, memaksa bagian-bagian kawasan Arab untuk dilepaskan oleh Turki. Ketika
kemudian menjadi negara republik Turki, batas-batas wilayahnya hanya bagian
kecil dari Eropa dan Asia, seperti disebutkan diatas. (Tohir, 2011: 231)
Pada
saat ini Eropa secara area geografiknya adalah bagian dari samudara Atlantik di
Barat, pegunungna Ural di Timur, kemudian laut Hitam. Lautan Hellespont dan
Aegean di bagian tenggara dari samudra Arctic
di utara dan lautan Mediterranean
di selatan, perbatasan Eropa dan timur ini terus berlanjut dan memicu
terjadinya perbedaan antara Barat dan Timur. Melihat sejarah lampau selama
beberapa abad dimana sungai Don telah mengingatkan pada konsepsi pembatasan
antara apa yang disebut dengan Barat—Timur itu terjadi sejak abad ke-18 ketika
itu telah ada desakan-desakan untuk balik ke pegunungan Ural. (Yilmaz, 2012: 36).
Akan tetapi, bagaimanapun tidak ada
alasan secara spesifik mengapa terjadinya pembatasan antara Timur dan Barat
ini, dan seolah-olah pembedaan ini semakin memperkuat tesis Samuel Huntington
“The Clash Of Civilization”. Lalu apakah pembatasan antara Timur-Barat ini
hanya terletak pada geopolitik semata, ataukah sosio-kultural. Akan tetapi
terjadinya perdebatan antara Timur dan Barat ini berlanjut pada perdebatan yang
berorientasi pada permasalahan politik, idiologi negara dan bahkan mereka saling mencari identitas masing-masing
baik yang bersifat sosio-politik, agama dan budaya yang begitu dinamis dan
kompleks. Dalam tulisan yang singkat ini penulis akan membahas penelitian yang
dilakukan oleh Shanthikumar Hettiarachchi[2]
dalam buku European Muslims,
Civility and Public Life Perspectives On and From the Gulen Movement. (Yilmaz, 2012:
37), dan kaitannya
dengan konteks keberagamaan kontemporer.
B. Muslim Turki dan Modernitas
Perjalanan Muslim di Turki memiliki sejarah yang
sangat panjang, Istanbul Turkey telah berkembang menjadi sebuah kota di Eropa,
dimana konsep sekuler telah
mempengaruhi kota metropolitan ini dengan sangat jelas. Istanbul sebagai negara
Islam terdapat ratusan menara sebagai pemandangan yang sangat indah, dan
pemandangan yang sangat indah ini tentunya sebagai negara yang bercampur dengan
kehidupan negara-negara Eropa lainnya, (Yilmaz, 2012: 38).
Pergumulan Turki dengan modernitas ini
tentunya cukup menarik untuk dikaji, akan tetapi tidak hanya Istanbul saja yang
bergumul dengan modernitas, tapi kota-kota kecil seperti Konya, Izmir, Kayseri
dan Ephesus di Cappadocia juga turut ambil tempat dalam pergumulan modernitas.
Turki saat ini sebagai simbol negara yang mayoritasnya Muslim dan Turki juga
sebagai fakta bahwa adanya pergumulan dan kontak sosial masyarakat dari
Istanbul ke Ephesus, dan tidak hanya itu, pergumulan dengan umat kristiani
disana juga sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat Turki, dimana dalam
sejarahnya bahwa masyarakat Konya melakukan pemujaan-pemujaan terhadap makam
Mevlana Rumi, dimana hal ini juga sangat mirip sekali seperti apa yang terjadi
pada monumen atau patung Rumi di jantung kota Izmir, akan tetapi Konya dan
Izmir sekarang telah berubah menjadi tempat bertemunya negara sekuler yang
modern. Konya dan Izmir adalah tempat pertemuan negara sekuler modern, seperti
perjalanan demokrasi, kepemerintahan serta institusi kemiliteran, dan
pergumulan ini adalah bagian dari tanda kemunculan arsitektur politik di Turki.
Pergumulan secara internal ini jelas
bahwa masyarakat Turki menempatkan norma-norma politik dan norma agama.
Pergumulan ini sesunggguhnya murni sebagai faktor sosial, seperti halnya
masyarakat secara natural dalam bertindak dan bereaksi setelah beberapa tahun
mendapatkan kekangan dari otoritas-otoritas tertentu, dan hegemoni sehingga
termanifestasi terhadap lemahnya hubungan diantara komunitas-komunitas
masyarakat. Dalam pandangan Gulen meskipun Turki adalah negara yang mayoritas
Muslim, akan tetapi kelihatannya sangat homogen sekali, dimana hal ini tampak
dari sikap, watak serta tingkahlakunya dan ini semua mengindikasikan bahwa
mereka tidak menghiraukan adanya bentuk perubahan dan tantangan hidup, dimana
hal ini terlihat bahwa masyarakat Turki mengadopsi salah satu pemikiran apologetics,[3]
yang menegaskan semua pergumulan itu terjadi diluar kontrol mereka, (Blackburn,
2003: 47).
Meskipun mereka telah bergumul dengan
kemoderenan akan tetapi tidak mampu menunjukkan identitas yang jelas dalam
sebuah peradaban mereka di tengah dunia Eropa saat ini. Dalam menunjukkan
identitas Muslim di Eropa bagi Gulen harus mengembangkan sikap yang lebih
progress, individu dan masyarakat harus konsisten dan mampu menunjukkan jati
dirinya dalam sebuah peradaban. Lebih jauh lagi Gulen mengatakan bahwa masa
depan Eropa—Muslim Turki dan muslim yang lainnya harus mampu menciptakan sebuah
perbedaan serta peradaban yang aktual dan jauh memberikan kontribusi yang lebih
bermanfaat kepada umat Islam.
Dimana konsep teologi umat Islam yang
fundamental itu harus lebih bernuansa mengedepankan etika religius, harus lebih fleksibel dan terbuka pada ilmu pengetahuan,
teknologi, filsafat, sosial, politik, budaya, kesenian, kesejahtraan keluarga
dan masyarakat dan juga keilmuan-keilmuan yang lain. Bagi Gulen, Islam di Eropa
pada saat ini harus brilian dan harus memukau mata dunia, agar mampu mengajak
dan menetralkan Islam yang berwajah ekstrim, seperti Islam yang kekurangan
figur pemikiran, serta memiliki interpretasi yang tidak jelas terhadap
Islam—sehingga dapat merusak citra Islam, seperti aksi teror, sehingga membuat
orang lupa bahwa sesungguhnya Islam bukan agama kekerasan, akan tetapi Islam
adalah agama perdamain dan memiliki nilai universal.
Islam saat ini harus lebih dewasa dalam
menyikapi aksi-aksi yang ekstrim dalam tubuh Islam sendiri—seperti konsep mati
syahid, bunuh diri sebagai taktik teror untuk meresahkan masyarakat, hal-hal
semacam inilah yang harus mampu di netralkan bagi semua pemikir Muslim saat
ini, agar mampu menjawab permasalahan Islam yang memiliki wajah ekstrim
yang terekam di media-media dunia,
(Yilmaz, 2012: 39).
C. Karakteristik dan Identitas Islam
di Turki
Identitas Islam di Turki memiliki
karakter dan keunikan tersendiri, karena Turki ini adalah bagian dari Eropa dan
sekaligus perbatasan yang menghubungkan antara Asia dan Eropa. Mayoritas
penduduk Turki 98% adalah beragama Islam dimana telah memiliki faktor sejarah
yang cukup panjang sejak 717 CE, ketika angkatan senjata Arab dibawah pimpinan
Tariq Bin Ziad melintasi Mediterranean dan menyerbu Eropa, (Yilmaz, 2012: 41).
Lebih daripada itu penelitian yang dilakukanoleh Ihsan Yilmaz mengatakan bahwa:
Turkey is one of the the very first
muslim countries that encountered the modern west and attempted to respond to
the challenges posed by the western power and civilisation. (Yilmaz, 2012: 44).
Turki sebenarnya bagian dari peradaban Islam
Iran, akan tetapi Turki juga merupakan bagian dari wilayah peradaban Islam yang
memiliki corak serta keragaman yang berbeda, karena dilihat dari sejarahnya
ketika perang dunia I Turki terlibat dalam beberapa peperangan negara yang
mengakibatkan banyaknya energi negara yang terkuras, seperti ekonomi,
wilayah-wilayah kekuasaannya juga banyak yang merdeka, (Tohir, 2011: 230).
Apalagi banyak sultan-sultan Usmaniyah belakangan banyak memilkiki kelemahan.
Maka sejak tahun 1950 M Turki resmi diubah menjadi negara sekuler.[4]
(Tohir, 2011: 230-231).
Permasalahan yang dialami oleh Turki
saat ini adalah permasalahan ideologi politik yang tidak jelas dan sekaligus
keberadaan komunitas Muslim yang ada di Eropa ini bagaikan orang asing yang
hidup dalam komunitas yang tidak jelas juga dikarenakan komunitas Muslim di Turki ini sangat terdesak
dalam menjalankan ritual-ritual keagamaanya dan bahkan mereka hidup seperti
orang asing. Para umat Muslim yang ada di Turki serta pendatang ataupun para
imigran yang sudah menetap di Eropa ini datang dari berbagai macam suku dan
aliran. Dan mereka semua ingin mengembalikan serta meningkatkan nuansa sufistik
dalam diri mereka yang telah lama hilang karena tidak memiliki lingkungan yang
kondusif, dan disatu sisi juga mereka
kehilangan harapan serta ide-ide bagaimana cara mereka untuk mengembalikan
dunia sufistik mereka selama tinggal di Eropa, hal ini diakibatkan oleh konsep
sekuler yang melanda dunia Turki.
Dalam Pandangan Shanthikumar
Hettiarachchi permasalahannya adalah antara muslim Asia selatan dan muslim
Turki yang tinggal dalam budaya politik tidak jelas. Muslim Asia selatan
memiliki kekacauan yang begitu kompleks mengenai proses integrasi untuk
mengadopsi budaya-budaya Eropa tanpa dikompromikan dengan nilai-nilai
kepercayaan mereka, meskipun Muslim secara individu tidak memiliki kritikan
secara jelas mengenai nilai-nilai, konsep serta aspek-aspek kehidupan di dunia
Eropa. Sedangkan muslim Turki, mereka
tidak mampu melihat kesejarahan Islam
ditubuh mereka yang sudah kacau dan disatu sisi juga mereka di tuntutan oleh
keadaan politik negara sekuler yang mereka anut, dalam keadaan yang lain juga
mereka mempromosikan kemajuan atas dampak dari nilai-nilai sekulerisme.
Dua isu inilah yang menjadi jantung
muslim di Eropa dan sekaligus menjadi jantung perjuangan dalam mengungkapkan
diri mereka sebagai seorang Eropa dan sebagai seorang muslim. Maka dari itu
perlunya untuk menyelamatkan muslim yang ada di dunia Eropa, dalam hal ini yang
dibutuhkan oleh umat muslim yang ada di Eropa ini adalah harus mampu melihat aspek kesejarahan,
dan aspek kesejarahan ini harus dilihat sebagai aspek kepercayaan umat muslim
dan aspek kepercayaan dan keberagamaaan yang termanifestasi dalam sebuah sistim
hukum, nilai-nilai sosial dan pemerintahan, karena umat Muslim di Eropa
membutuhkan kenyamanan dalam mencari jati diri mereka dalam tubuh Islam. (Yilmaz,
2012: 41-42).
Dalam hal ini Gulen telah menawarkan
beberapa aspek pemikirannya untuk menyelamatkan Islam yang ada di dunia Eropa,
yakni—wajah Islam jangan digambarkan sebagai implementasi atau agenda politik
semata yang hanya menggambarkan kekerasan di wajah masyarakat, akan tetapi
Islam itu harus mampu menanggapi dan mewadahi wacana-wacana mengenai
spiritualitas, membangun nilai-nilai etika, kekuatan pribadi yang dibarengai
dengan kesadaran akan hukum dan rasa kasih sayang, seperti apa yang telah di
rekomendasikan oleh Gulen untuk menyelamatkan Islam dan komunitas Muslim di
Eropa ini harus menanamkan nilai-nilai kasih sayang, etika kehidupan, hukum
yang mengatur, tidak adanya kekerasan dan tidak adanya permusuhan, inilah yang
ingin dibanguan oleh Gulen dalam menyelamatkan Islam di Eropa dan juga
mengembalikan identitas Muslim Eropa. Islam saat ini harus hidup dengan
penuh kedamaian, dan tidak ada lagi
permusuhan mengenai sejarah masa lampau yang melibatkan generasi-generasi
selanjutnya, dan anggap saja sejarah yang kelam ataupun masa lalu itu adalah
bagian dari kecelakaan sejarah. (Yilmaz, 2012: 42-43).
Pendekatan Gulen dalam
menyelamatkan Islam maupun komunitas muslim dari idiologi politik yang ada di
Eropa ini disebut “faith-based on movement” yang sangat vital sekali yakni
berkaitan dengan parameter etika-sosial yang dapat membangkitkan wacana Islam
dalam menghadapi globalisasi di tengah-tengah masyarakat. Maka dari itu
dibutuhkan penguasaan ilmu pengetahuan, tekhnologi untuk melengkapi kehidupan
agar lebih bermakna dan umat Muslim mampu bertahan dimanapun mereka berada.
Tidak hanya itu Gulen juga menawarkan bahwa sikap toleransi, dialog harus
dibangun secara positif diantara semua pemeluk kepercayaan di Turki.
Jadi bagi Gulen kalau sudah bersikap
toleransi maka posisi Islam tidak hanya menawarkan slogan-slogan
multikulturalisme semata—akan tetapi multikulturalisme adalah bagian yang harus
dikampanyekan kepada masyarakat, agar masyarakat lebih bersifat inklusif secara
lansung, dan bagi Gulen tidak ada lagi alasan mengenai permusuhan yang
berakibat pada konflik yang tidak stabil, kehancuran institusional sehingga
mengakibatkan Negara dalam membangun perdamain dan kasih sayang diantara semua
pemeluk keyakinan menjadi terhambat. Pemikiran-pemikiran fundamental dan
ekstrim yang merusak wajah Islam sebagai agama damai itu harus diperbaiki, maka
untuk memperbaiki itu semua Gulen menawarkan jalan keluar, bahwa Islam saat ini
harus mengacu pada etika yang berbasiskan kepatuhan terhadap hukum dan
pemerintahan, ekonomi, hubungan internasional dan kedewasaan politik (political maturity).
Pendekatan “faith-based on movement”
Gulen inilah yang memberikan kedewasaan serta menyelamatkan Islam di Eropa baik
kedewasaan politik Turki dalam
membanngun identitas Islam di Eropa, dan juga Islam itu sendiri harus progressive, saling memahami diantara
semua pemuluk kepercayaan, dan tidak adanya anggapan truth claim diantara semua anggota masyarakat yang menganggap
dirinya paling berkuasa dan gengsi menerima segala perbedaan. Sikap yang merasa
unggul secara pribadi dan merasa memiliki kekuatan yang absolut inilah yang
mengakibatkan adanya anggapan kebenaran (truth
claim), dan bahkan berujung pada sikap yang ekslusif, sikap inilah yang membuat gesekan-gesekan idiologi
yang tidak sehat.
D. Pendekatan Movement Fethullah Gulen
Melihat permasalahan
Turki yang begitu kompleks maka dalam konteks ini penulis ingin mendeskripsikan
pendekatan “Movement” Gulen dalam mengatasi permasalahan-permasalahan di dunia Eropa.
Permasalahan Turki memang begitu kompleks dalam sejarahnya, akan tetapi Gulen menyelamatkan
Turki dari keterpurukan ia tidak terjebak dalam keindahan sejarah masa lampau.
Tujuan Gulen sebenarnya untuk mendidik para generasi muda dengan memiliki bekal
spiritual, kecerdasan dalam ilmu pengetahuan dan berkomitmen demi kepentingan
bersama agar mampu memberikan kontribusi bagi umat Islam, seperti dikutip
statement Gulen berikut:
It is an education of heart and souls as
well as of the mind. Aimed at invigorating the whole being to achieve personal
competence and the ability to be useful citizen for the benefit of others,
(Esposito, 2003: xiii).
Dan permasalahan umat Islam bagi Gulen tidak
hanya itu saja, akan tetapi adanya
pandangan-pandangan keberadaan Islam secara praksis fundamentalis dalam
memahami Qur’an secara teks fundamental itu memang ada, akan tetapi bagi Gulen
hal-hal semacam ini harus dihargai keberadaannya dan bahkan harus dirubah
pandangannya tentang Islam agar lebih fresh, seperti yang dikutip berikut ini:
Fethulleh Gulen innovatively introduces
views, idea and praxis. Gulen speaks intensely of Islamic praxis being
fundamentally Qur’anic but freshly compatible beyond the medieval
interpretation of certain fundamentals of Islam. Gulen unequivocally and
devoutly respects and honours the primordial religiosity expressed in the
Qur’an and Allah-experience’ unique to the prophet of Islam. Gulen’s practical
proposition is that the roots his discourse within the historical tradition of Islam
but introduces a fresh way to understand Islam and to adapt in to contemporary
issues of political, scientific, cultural and social paradigm which he thinks
are part of the praxis of Islam, (Yilmaz, 2012: 47).
Dalam konsep gerakan (movement) Gulen
menyebut konsepnya dengan “bridge-building approach” yang ditawarkan oleh Gulen
untuk menjawab permasalah-permasalahan yang rumit dalam dunia Islam—karena bagi
Gulen Islam tanpa terjun dalam dunia praksis sama artinya kosong. maka dari itu
umat Islam saat ini harus menjunjung tinggi sikap toleransi terhadap umat-umat
yang lain, karena ketika umat Islam saling toleransi dengan yang lain maka akan tercipta rasa
saling menerima, saling percaya, saling menghargai hak-hak dan kewajiban antara
satu dengan yang lain. Wanda Krause mengatakan dalam Gulen bahwa pentingnya
toleransi:
No matter how charming and enchanting
the atmosphere that catches the eye or fills the heart is there is no
permission for us to forget the truth to which we are commited. We cannot stay
alien toward each other while we are in the same camp. We do not have a
monopoly of the good and beautifu; therefore we cannot be allowed to wage a war
with the passengers who are heading to the same destination but on a different
path. (Krause, 2012: 61).
Bagi
penulis pemikiran-pemikiran semacam ini yang harus menjadi contoh dalam
meningkatkan nuansa toleransi, menerima perbedaan keyakinan, menciptakan dialog
serta membangun tempat pendidikan yang kondusif, karena bagi Gulen lewat
pendidikan yang multikulturallah Islam bisa menciptakan jati diri di
tengah-tengah Eropa. Muslim saat ini harus mampu memukau mata dunia, agar umat Islam
bisa selamat dari keterpurukan dan inilah letak perbedaan Gulen menurut penulis
dengan ilmuan-ilmuan serta pemikir yang lain, karena konsep Gullen harus
dibarengi dengan action. Aksi bagi
Gulen yang dimaksud membangun sekolah-sekolah profesional, universitas,
institusi pendidikan yang berbasiskan multikulturalisme, dialog, keterbukaan
terhadap ilmu-ilmu sosial, etika, politik, antropologi, sosiologi dan lainnya.
Menurut Gulen bagaimana mungkin Islam akan mampu menjawab tantangan zaman pada
arena modern tanpa adanya pendekatan yang lebih fresh. Islam agar mampu
menghadapi arus dunia modern tentunya Islam harus mampu menginspirasi Islam di
Eropa, dan konsep inilah yang disebut oleh Gulen sebagai “bridge building
aproach”.
Gulen’s movement ini tentu telah
menginspirasi banyak orang, dan bahkan hampir di seratus negara di dunia
tersebar para Gulenian. Sekolah-sekolah Gulen berdiri di negara-negara besar.
Sekolah gulen selalu menanamkan nilai-nilai pelayanan yang profesional yang
disebut dalam bahasa turki “hizmet” yang berarti pelayanan. Pemikiran tentang
pelayanan ini tentu Gulen terinspirasi oleh ajaran Islam yakni kesalehan dalam
berbuat dan bertindak, karena konsep Gulen harus adanya aplikasi bukan sekedar
teori inilah yang disebut dengan Gulen’s movement, (Esposito, 2003: xiii).
Dalam konteks pendidikan tentu Gulen tentu
menekankan pada penguasaan akan sains modern, jadi tidak ada pemisahan antara
spiritualitas, nilai-nilai sufistik dengan ilmu kemanusiaan seperti, biologi,
antropologi, sosiologi, etika dan politik. Kesadaran Gulen ini tentu
menginspirasi para pengikut Gulen untuk mengembangkan pendidikan ala-konsep
gerakan Gulen ini. Nilai-nilai etika spiritualitas bagi Gulen harus terus
dikembangkan sebagai jati diri Muslim apalagi dalam pencarian identitas di
Eropa, hal semacam ini bagi Gulen harus dikembangkan seperti dikutip berikut:
Judge your worth in the creator’s sight,
by how much space he occupies in your heart, and your worth in people eyes by
how you treat them. Do not neglect the truth even for a moment. And yet, be
human being among other human beings, (Krause, 2012: 59).
Gulen “movement concept” ini mungkin
saja bisa menjadi contoh dan bisa diterpakan dalam konteks indonesia, karena
gerakan-gerakan Gulen ini mengedepanakan
sikap toleransi dan cinta sesama. Toleransi ini suatu niat yang baik untuk mengenal
dan bahkan untuk menghargai semua pemeluk kepercayaan. Sikap toleransi ini
harus dibangun dalam diri umat Islam seperti dijelaskan berikut:
Islam is word derived from the root word
silm and salamah. It means surrending, guiding, to peace and contentment,
and establishing security and accord…. How unfortunate it is that Islam, which
is based on this understanding and spirit, is shown by some circles to be
synonymous with terorism. This is great historical mistake; wrapping a system
based on safety and trust in a veil of terrorism just shows that spirit of
Islam remains unknown, (Krause, 2012:
61-62).
Konsep Gullen ini sangat unik karena tidak
membuang nilai-nilai yang bersifat tradisional dalam tubuh Islam yang bersifat
primordial—akan tetapi nilai-nilai tradisional ini dia balut kedalam dunia
meodern, tentunya ini adalah hal yang sangat luar biasa, sehingga kita bisa
lihat negara Turki yang telah memiliki program-program yang begitu modern, dan
dari konsep Gulen ini juga mampu mengharmonisasikan serta mengintegrasikan
kesejarahan Turki yang bermacam-macam dan mereka juga mampu mengaplikasikannya
kedalam kehidupan sosial—politik yang memiliki daya tarik bagi dunia
Islam.
Konsep Gulen ini juga mampu mendamaikan
tradisi-tradisi Islam yang seratus tahun lalu, kemudian tradisi Islam ini
dikontekstualisasikan dengan kondisi saat ini, dan hal ini bukanlah tugas yang
mudah bagi Gulen, akan tetapi dia percaya bahwa semua itu bisa terjadi, apabila
konsep “bridge-building aproach” ini dikembangkan. Pendekatan Gulen ini masih
terbilang sangat fresh karena mampu menyelamatkan Muslim di negara Turki dari
keterpurukan idiologi, kebudayaan, sosial dan prekonomian, maka pendekatan
Gulen inilah yang menginspirasi masyarakat Turki kepada diskursus “Islam
modernity” seperti yang dikutip berikut:
Gulen’s Islam modernity and community
based on praxis is a challenge both to the traditional understanding of Islam
and to a blind following of the project of modernity, (Yilmaz,
2012: 48).
Memang Gulen sadar, bahwa ia akan
mendapatkan rintangan serta tantangan yang sangat besar dalam konsep
gerakannya, akan tetapi bagi dia semua ini membutuhkan ketekunan, kemampuan
strategi yang luas dan bahkan harus kerja keras untuk menciptakan hubungan
kepemimpinan militer Turki dengan para
elit-elit negara sekular, (Yilmaz, 2012: 49)
Gerakan Gulen dalam mengembangkan konsep
“bridge-building” ini juga berfungsi sebagai perluasan kekuatan di dunia Eropa,
dan memang harus memiliki sikap yang
terbuka terhadap nilai-nilai kebudayaan dan pluralitas, konsep pergerakan Gulen
ini juga harus dibarengi dengan adanya kesadaran akan hukum, sosial, politik
ekonomi, etika keislaman, institusi kenegaraan, kesejahtraan keluarga yang
meamadai dan tentunya hal yang sangat krusial yakni mengenai pendidikan
perempuan dan lainya, agar mampu
membangun konsep hidup yang taat terhadap pemerintahan sebagai warga negara.
Tidak hanya itu, Gulen dalam bukunya Mastering Knowledge In Modern Times juga
menawarkan konsep “theology of social responsibility” konsep ini di tawarkan
oleh Gullen agar umat Islam mampu menghadapi musuh-musuhnya, diantara musuh
Islam itu adalah; permasalahan kemiskinan, ketertinggalan, perpecahan dan
kebodohan. Permasalahan ini menurut Gulen harus diselesaikan agar Islam mampu
memiliki gaung dalam tantangan zaman, serta fenomena kemanusiaan—maka dari
itu untuk menghadapi musuh Islam
tersebut bagi Gulen harus memulai membangun sekolah-sekolah, universitas,
institusi pendidikan serta lingkungan pendidikan yang kondusif dan juga
menyediakan tempat-tempat tinggal (dormitory). Membangun tempat-tempat
pendidikan ini tidak hanya ditujukan kepada orang-orang Muslim saja, akan
tetapi bagi non muslim juga agar tercipta dialog multikulturalisme serta
menghargai perbedaan. “Theology of social responsibility” bagi Gulen harus di
praktikkan dalam institusi-institusi manapun agar mapu memberikan kontribusi
dalam membangun konsep baru permasalahn teologi dalam dunia Islam agar mampu
menghadapi tantangan zaman.
Bagi Gulen ia percaya bahwa umat islam
saat ini bias menciptakan sejarah, akan tetapi umat islam harus mampu tanggung
jawab atas permasalahan sosial, mereka harus aktif dalam institusi pendidikan,
tidak hanya itu Gulen mengatakan ketika umat Islam memiliki konsep “Theology of
social responsibility”. Umat muslim tidak hanya akan berkutat didalam
kepercayaan sebagai insider semata, akan tetapi juga sebagai outsider dan
bahkan mampu menjadi kedua-duanya sehingga akan tercipta hokum serta perdamain
di dunia.
Dalam konteks zaman modern saat ini
Gulen merekomendasikan kepada umat Islam agar bertanggung jawab atas
permasalahan sosial agar pesan-pesan didalam al-Qur’an termanifestasi dalam
kehidupan nyata yang tidak hanya sebatas teks. Maka dari itu Islam harus mampu
memaknai pesan-pesan al-Quran sebagai esensi yang universal dan dapat diterima
dalam segala zaman—maka untuk membuat ajaran al-Qur’an menjadi universal harus
dianalisis dalam permasalahan sosial kemanusiaan atau yang disebut dengan
“theology of social responsibility”.
Menurut Gulen tidak hanya itu saja, akan
tetapi untuk menjadi umat muslim saat ini menjadi sebuah keharusan untuk
menguasai ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, ekonomi, kebudayaan, antroplogi
dan juga etika, dan inilah yang disebut oleh Gullen sebagai konsep “faith based
on ovement” dan dalam “faith based on movement” ini harus ada theology of social responsibility,
(Albayrak, 2011: 91-92).
Theology
of social responsibility ini bagi Gulen menuntut para pemikir untuk
bertanggung jawab atas fenomena sosial akan tetapi juga menuntut pada kesalehan
pribadi, seperti hadits mengatakan “the one who knows oneself will know God”
dan tidak hanya itu siapapun yang memiliki tingkat kesalehan yang tinggi
dan juga memiliki pengetahuan maka akan
berpotensi untuk bertanggung jawab pada
diri sendiri dan juga tuhan, dalam konteks kesalehan spiritual dan
tanggungjawab Gulen mengatakan berikut:
A believer is someone who truts a
candidate of trust with a worthy future, who promises safety to his
surroundings, and who has integrated colorful differences in harmony. Such a
believer is a decent human being. With such a kind disposition, one is gentle
and sensitive, both before people and before God to the extent that if the
believer is threatened with death or faces various pressures and false accusations
will never attempt to act crudely… the believer is an exemplary person, who
opens one’s heart to everyone, (Gulen, 2011: 93).
Gulen
juga berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mengembangkan konsep “theology of
social responsibility” karena dia ingin membawa pesan kepedulian dengan penuh
cinta kepada sesama baik muslim maupun non muslim, dengan membawa pesan cinta, nir-kekerasan
serta kepedulian ini Gulen mengatakan:
One loves
everyone and everything for God sake, breathers love, and always creates an aura
of love around oneself. The believer hastens to stop cries and responds to
grievances, treats pains with antidotes, and transforms the cries of people to
laughter … the believer transforms the storm of the fire into breezes of divine
pleasure. One mourns to prevent people’s mourning and sheds tears as much as
the river of Oxus to prevent the tears of others. The believer evaluates
oneself based on contributions to the well being of others. The focus of the
believer is always on “we” rather than “I.” Therefore, the believer is not
selfish, but someone who thiks of others.
Maka bagi Gulen sudah saatnya umat
muslim saat ini untuk saling toleran, saling peduli terhadap sesama atas nama
kemanusiaan bukan atas nama kepercayaan masing-masing. Umat muslim harus menciptakan
kesalehan pribadi menciptakan keharmonisan dan perdamaian bagi umat mansuia,
saling menolong melayani, karena manusia adalah hamba tuhan maka saatnya hidup
dipenuhi dengan cinta dan toleransi.
E. Kesimpulan
Turki adalah negara
Muslim yang paling pertama menghirup udara Barat modern, dan juga memiliki
penduduk yang mayoritasnya Muslim. Meskipun begitu Muslim di Eropa hidup dalam
himpitan teologi yang tidak jelas karena Turki sekarang adalah bagian dari
dunia Eropa yang telah menganut paham
sekuler yang berimplikasi pada kehidupan masyarakat, sehingga Turki tidak mampu
memahami kesejarahn Islam yang kuat dalam menunjukkan jati diri mereka di
tengah-tengah paham modernisme, sehingga mengakibatkan para Muslim di Turki
kehilangan identitas serta jati diri mereka, dan tidak bisa menghirup udara
nilai spiritualitas secara bebas, dan umat Islam Turki sebagai seorang Muslim yang
hidup di tengah-tengah peradaban Eropa baru mereka bagaikan hidup di negara
asing.
Permasalahan umat Muslim di Turki memang
begitu rumit, akan tetapi ada beberap konsep yang telah dibangun Gulen dalam
mengatasi permasalahan umat Islam serta muslim Turki—dalam hal ini Gulen merekomendasikan—bahwa
Islam sebagai sebuah agama seharusnya memiliki tingkat kesadaran yang tinggi akan
ilmu pengetahuan, sosial, ekonomi, budaya antropologi, etika dan sebagainya,
sebagai seorang Muslim tidak boleh ragu apabila dalam sebuah tantangan dunia
modern ini mendapatkan ujian yang berat. Gullen menekankan bahwa pentingnya
dialog antara semua pemeluk kepercayaan, karena dengan dialog semua akan
terbuka dan hal ini harus dilakukan oleh semua manusia baik itu Muslim maupun
non Muslim agar tercipta dunia yang penuh dengan keamanan dan kedamaian.
Islam juga harus dijauhkan dari wajah
Islam yang fundamental ekstrim seperti islamophobia
atau westphobia, dan inilah tantangan
umat Muslim di era modern ini. Konsep “movement” Gullen dalam konteks ini akan
mampu untuk menstransformasi budaya dialog diantara semua komunitas, agar tidak
ada lagi kepercayaan yamg menganggap diri paling berkuasa, truth claim, yang akan mendorong terjadinya perpecahan di muka
bumi. Tidak hanya itu warga Eropa saat ini harus memabngun kesadaran
kewarganegaraan mereka, bertanggungjawab dan peduli pada semua, bukan hanya
golongan semata akan tetapi semua golongan. Rasa persaudaraan, kepedulian,
cinta kasih, nir-kekerasan dan menghormati semua perbedaan, menjalankan hukum,
nilai-nilai sosial Islam, budaya, etika, kesemuanya inilah yang akan mampu
menjawab tantangan zaman dan lebih memberikan kontribusi yang positif bagi
ketahanan umat Islam di tengah-tengah pergulatan kemanusian yang serba modern.
DAFTAR PUSTAKA
Blackburn, Simon, The Oxford Dictionary of Philosophy,
terj. Yudi Santoso, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Gullen, Fethulleh, Mastering Knowledge In Modern Times, (ed.), Ismail Albayrak, New
York: Blue Doom Press, 2011.
Shanthikumar Hettiarachchi dalam http://www.dialoguesociety.org/tag.
Akses Tanggal 30 Desember 2013.
Thohir, Ajid, Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Polotik,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.
Weller Paul dan Yilmaz Ihsan, European Muslims, Civility and Public Life
Perspectives On and From the Gulen Movement, India: Continuum International
Publishing Group, 2012.
Yavuz and Esposito, Turkish Islam Secular State The Gulen
Movement, Syracuse University Press, 2003.
Krause, Wanda, Civility In Islamic Activism: Toward A Better Understanding of Shared
Values For Civil Society Development, Continuum International, 2012 (ed.) Paul
Weller dan Ihsan Yilmaz.
[1]Mahasiswa Program Pascasarjana,
Jurusan Filsafat Islam (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta).
[2]Shanthikumar
Hettiarachchi PhD menerima gelarnya pada bidang mayoritas dan minoritas konflik
etnis dan agama, Melbourne College of Divinity, University of Melbourne. Dia adalah seorang ahli dalam bidang Agama, konflik dan kohesi sosial.
Hettiarachchi bekerja secara ekstensif dengan kelompok-kelompok masyarakat dan
gerakan sosial di Sri Lanka. Dia
juga sering mengembangkan dan memfasilitasi berbagai program Pusat yang
menyangkut umat beragama, budaya dan etnis yang berbeda. Selain itu juga
Hettiarachchi adalah pendiri Co-ordinator dari Luton Dewan Faiths,
Bedfordshire, Inggris. Kepentingan penelitian utamanya dalam komunitas diaspora
- afiliasi keagamaan di Inggris, Eropa dan Australia. Informasi ini bisa di
lacak di http://www.dialoguesociety.org/tag/Dr-Shanthikumar-Hettiarachchi.html.
Akses 30 Desember 2013.
[3]Sikap pembelaan terhadap suatu
doktrin, akan tetapi dalam pengertian yang berbeda apologetics ini dalam teologi, yakni suatu upaya untuk
memperlihatkan kalau iman bisa dibuktikan lewat akal, atau minimal konsisten
dengan akal. Penggunaan lebih umum istilah ini adalah semua upaya apapun
bentuknya yang dimaksud untuk membela atau sikap pembelaan terhadap suatu
doktrin.
[4]Sekuler yang dimaksud yakni
menghilangkan sistem kekhalifahan dan kesultanan dibawah pimpinan mustofa Kemal
Attaruk, dimana pada tahun 1950 untuk pertama kalinya Turki mengadakan
pemilu partai republik bentukan Mustofa
Kemal Attaruk kemudian dikalahkan oleh partai demokrat. Tahun 1961 partai
republik berkuasa kembali namun didominasi oleh partai motherland.