Archive for Desember 2013
HADITS HASAN
By : Unknown
BY. ISHAK HARIYANTO
A. Latar Belakang
Hadits dalam pandangan umat
Islam diyakini sebagai sumber pokok ajaran Islam sesudah Al-Qur’an. Dalam
tataran aplikasinya, hadits dapat dijadikan hujjah keagamaan dalam kehidupan
dan menempati posisi yang sangat penting dalam kajian keislaman. Secara
struktural hadits merupakan sumber ajaran islam setelah Al-Qur’an yang bersifat
global. artinya,
jika kita tidak menemukan penjelasan tentang berbagai problematika kehidupan di
dalam Al-Qur’an, maka kita harus dan wajib merujuk pada hadits. Oleh karena
itu, hadits merupakan hal terpenting dan memiliki kewenangan dalam menetapkan
suatu.
Hadis atau
Sunnah juga adalah sumber ajaran Islam dimana keduanya merupakan pedoman dan
pengontrol segala tingkah laku dan
perbuatan manusia. Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya
mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan
hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi
atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki
peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang
bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat.
Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam
dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat
hadis-hadis yang dalam periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu
untuk diterimanya sebagai sebuah hadis atau yang dikenal
kualitasnya, hadits terbagi menjadi
dua yaitu, hadits Maqbul (hadits yang dapat diterima sebagai dalil dan juga hadis Mardud (hadits yang tidak dapat diterima atau ditolak), kualitas
keshahihan suatu hadits merupakan hal yang sangat penting, terutama
hadits-hadits yang bertentangan dengan hadits, atau dalil lain yang lebih kuat.
Dalam hal ini, maka kajian makalah ini diperlukan untuk mengetahui apakah pengertian hadits hasan, konsep-konsep dan
contoh-contohnya.
Dalam hal ini, maka kajian makalah ini diperlukan untuk mengetahui apakah suatu
hadits dapat dijadikan hujjah syar’iyyah atau tidak.[1]
B. Rumusan Masalah
Dari uraian
latar belakang di atas maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apan pengertian hadits hasan?
2. Bagaimanakah macam-macam hadits hasan?
3. Apa perbedaan hadits hasan dengan hadits sohih?
4. Bagaimanakah kehujjahan hadits hasan sebagai landasan
hukum?
C. Pengertian Hadis Hasan
Hasan secara bahasa adalah
sifat yang menyerupai dari kalimat “al-husna” artinya indah, cantik. Akan
tetapi secara istilah yang dimaksud dengan Hadits Hasan menurut Ibnu Hajar
Al-Atsqalani yaitu:
مَا اِتَّصَلَ سَنَدُهُ
بِنَقْلِ الْعَدَلِ الَّذِيْ خَفَّ ضَبْطُهُ عَنْ مِثْلِهِ إِلَى مُنْتَهَاهُ مِنْ
غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ ".
“Apa
yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, hafalannya yang kurang
dari awal sampai akhir sanad dengan tidak syad dan tidak pula cacat”
Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada
perbedaan, kecuali hanya dibidang hafalannya. Pada hadits hasan, hafalan
perawinya ada yang kurang meskipun sedikit. Adapun untuk syarat-syarat lainnya,
antara hadits hasan dengan hadits shahih adalah sama.[2]
Dalam pengertian yang lain Hadits hasan juga berarti al-jamal,
yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu sesuatu yang disenangi dan
dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda
pendapat dalam mendefinisikan hadits hasan karena melihat bahwa ia merupakan pertengahan antara hadits
shahih dan hadits dha’if.
Mengutip pendapatnya Ibn Hajar
hadis hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang
‘adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat
ingatannya) serta terhindar dari Syaz dan illat.
Perbedaan
antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang
sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis
hasan, Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis
mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan
oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat.
Itulah yang disebut shahih li dzatihi.
Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi
syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau
sebagiannya, kurang ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi
hadis shahih.
Berdasarkan pada
pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis
merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, hanya saja pada hadis hasan
terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi
hadis shahih.[3]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan mempunyai
kriteria sebagai berikut:
a. Sanad hadis harus bersambung.
b. Perawinya
adil
c. Perawinya mempunyai sifat dhabit,
namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis
shahih
d. Hadits yang diriwayatkan tersebut
tidak syaz
e. Hadits yang diriwayatkan terhindar
dari illat yang merusak (qadihah).
D. Macam-macam Hadits Hasan
Pembagian hadis hasan dibagi menjadi dua,
yaitu:
a.
Hadis
hasan li dzatihi
Hadis
hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria
hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain
untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
Contohnya:
Hadits Muhammad bin ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallambersabda:”Seandainya tidak memberatkan ummatku, niscaya
akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat.”(HR.
at-Tirmidzi, Kitab ath-Thaharah).
Ibnu
ash-Shalah rahimahullah berkata, maka Muhammad bin Amr bin Alqamah
adalah termasuk orang yang terkenal dengan kejujuran dan kehormatan. Akan
tetapi ia bukan termasuk orang yang matang dalam hafalannya, sehingga sebagian
ulama mengatakan bahwa ia dha’if atau lemah dari sisi buruknya hafalannya. Dan
sebagian ulama yang lainnya mengatakan bahwa ia mampu dikarenakan kejujurannya
dan kehormatannya. Maka haditsnya dari jalur ini adalah hadits Hasan. Maka
ketika digabungkan kepadanya riwayat-riwayat dari jalur lain, hilanglah apa
yang kita kita khawatirkan dari sisi buruknya hafalan, dan tertutupilah dengan
hal itu kekurangan yang sedikit, sehingga sanad hadits ini menjadi shahih, dan
disetarakan dengan tingkatan hadits shahih.”(Muqaddimah Ibnu ash-Shalah).
b.
Hadis
hasan li ghairihi
Yaitu
hadits Dha’if jika memiliki jalur periwayatan yang
banyak, dan sebab dha’ifnya hadits tersebut bukan karena fasiqnya perawi hadits
tersebut atau kedustaannya, bisa diambil faidah dari definisi di atas bahwa
hadits Dha’if bisa meningkat derajatnya menjadi Hasan Lighairihi dengan dua hal:
Pertama diriwayatkan dari jalur lain satu riwayat atau lebih, dengan
catatan jalur lain tersebut sama kedudukannya atau lebih kuat darinya. Kedua sebab dhai’fnya hadits tersebut
dikarenakan buruknya hafalan perwainya, atau karena keterputusan dalam
sanadnya, atau karena ketidakjelasan para perawinya (maksudya bukan karena
dustanya perawi, atau cacat dalam masalah agamanya.
Dan bagaimana kedudukan Hadits Hasan Lighairihi, kedudukannya di bawah hadits Hasan Lidzatihi. Maka dari itu
jika ada kontradiksi antara hadits Hasan
Lidzatihi dengan hadits Hasan Lighairihi maka yang didahulukan dikuatkan adalah
hadits Hasan Lidzatihi.
Contohnya:
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam
at-Tirmidzi rahimahullah dan beliau mengatakannya hasan, dari
jalur Syu’bah bin ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dari ‘Abdullah bin Amir bin Rabi’ah
dari bapaknya, bahwasanya ada seorang perempuan dari Bani Fazarah menikah
dengan mahar dua sendal. Maka Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda
kepadanya:
أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ؟ ». فَقَالَتْ : نَعَمْ فَأَجَازَ
أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ؟ ». فَقَالَتْ : نَعَمْ فَأَجَازَ
Apakah engkau rela sebagai gantimu
dan hartamu dua sandal maksudnya apakah engaku rela maharmu dua sandal.
Perempuan itu menjawab, Iya saya rela maka Nabi shallallahu alaihi wasallam membolehkannya.
Imam
at-Tirmidzi rahimahullah berkata, Dan dalam bab ini ada hadits
dari Umar Abu Hurairah, dan Aisayh radhiyallahu
anhum.
Maka Ashim adalah seorang yang
dha’if disebabkan buruknya hafalan. Namun Imam At-Tirmidzi telah mengatakan
bahwa hadits ini hasan dikarenakan datangnya riwayat ini dari banyak versi.
Pendapat
lain mengatakan bahwa hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan
hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi
dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada
penguat tentu masih berstatus dha’if.
Imam Adz-Zahaby mengatakan, tingkat
hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari bapaknya dari kakeknya,[4]
Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari At-Taimy dan sanad
sejenis yang menurut para ulama dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan
derajat shahih terendah.
Contohnya:
حَدَّثَنَا
عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ،
عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ
الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ
خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ
يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ
فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
Hadis
tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang
terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut Adz-zahaby, Ma’bad termasuk orang yang kurang
ke-‘adilan-nya.
Contoh
hadis hasan li ghairihi:
حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ
بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي
فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ
؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه
الترمذي)
Diriwayatkan
oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah
bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah
menikah dengan mahar sepasang sandal.
Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada
bab ini juga diriwayatkan hadis yang sama dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan
Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk hafalannya, kemudian hadis
ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain.[5]
Karena
hadits hasan sangat tidak jauh sekali perbedaanya dengan hadis
dha’if,
Maka dalam konteks ini hadits dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke
tingkat hasan dengan dua ketentuan,yaitu:
a) hadis tersebut diriwayatkan
oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa perawi (jalan)
yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari padanya.
b) bahwa sebab kedha’ifannya karena
keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta adanya periwayat yang tak
dikenal.
Jadi hadis
dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis
yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti
hadis munkar, hadis matruk betapapun syahid
dan muttabi’ kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah
menjadi hasan.[6]
E. Perbedaan
Hadits Hasan Dengan Hadits Sohih
a. Hadits hasan
Hadits
Hasan adalah hadits yang jalur periwayatannya ma’ruf akan tetapi perawinya
tidak semasyhur hadits shahih.
Ketika
Syaikh Abussatar mendapati syair ini, beliau mengkritiknya dan berkata:
وَالْحَسَنُ الْخَفِيْفُ ضَبْطًا
إِذْ غَدَتْ * اشْتَهَرَتْ هُ لا كَالصَّحِيحِ اشْتَهَ
Hadits hasan adalah hadits yang
ke-dhabith-an perawinya ringan dan perawinya tidak semasyhur hadits
shahih.
Dari
matan diatas, maka dapat disimpulkan definisi hadist hasan adalah hadits yang
bersambung sanadnya yang dibawakan oleh perawi yang adil namun ringan
dhabithnya dengan tanpa syad dan ‘illat.
Definisi
diatas adalah untuk hadist hasan lidzatihi. Sedangkan hadist hasan lighoirihi
adalah hadist yang awalnya adalah hadist dhoif yang tidak parah, kemudian
menjadi hasan lighoirihi karena ada periwayatan dari jalur yang lain,
hadist yang semisal atau yang lebih kuat darinya, jadi perbedaan hadist hasan
dan hadist shohih, hanya terletak pada satu sisi, yaitu rijal perowi hadist
hasan tidaklah sama dengan rijal hadist shahih dalam masalah dhabitnya.
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan,
jika hadist tersebut gharib (perawi hanya menyendiri dalam
meriwayatkan hadits itu), maka makna hadist hasan shohih adalah keraguan ulama
penilai hadits tersebut terhadap perawi yang menyendiri, apakah dia termasuk
orang yang dhabith (bisa menjaga hadits, hafal) sehingga haditsnya dinilai
shahih ataukah dia itu khafifu dhabth (lemah hafalannya) sehingga haditsnya
dinilai hasan. Maka ungkapan tersebut (yakni hasan shahih) bisa ditafsirkan
dengan makna “hasan atau shahih”.
Sedangkan jika hadist tersebut bukan hadist gharib,
maka makna hadist hasan shohih adalah hadist yang salah satu sanadnya
berderajat shahih sedangkan yang sanad yang lain berderajat hasan, sehingga dua
penilaian itu pun diberikan kepadanya berdasarkan pertimbangan kondisi kedua
buah sanadnya.
b. Hadits soheh
Perawi nya ‘adil dan
dhabith yang meriwayatkan dari yang semisalnya (‘adil dan dhabith juga) yang
dapat dipercaya ke dhabithan dan riwayatnya, dari matan Manzhumah Baiquniyyah
diatas, maka dapat disimpulkan definisi hadist shohih adalah hadits yang
bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabith sampai
ke ujung mata rantai sanad tanpa adanya syadz dan ‘illat.
Definisi diatas adalah untuk hadist
shahih lidzatihi. Sedangkan hadist shahih lighoirihi adalah hadist yang awalnya
adalah hadist hasan lidzatihi, kemudian menjadi shohih lighoirihi karena
ada periwayatan dari jalur yang lain, hadist yang semisal atau yang lebih kuat
darinya.
Syarat-syarat hadits sohih yakni Sanadnya bersambung :
artinya setiap perowi telah mengambil
periwayatan secara langsung dari perawi di atasnya (sebelumnya) dari permulaan sanad hingga akhir sanad.
·
Perowinya ‘Adil : artinya setiap perowinya terkenal
memiliki sifat taqwa, menjauhi hal-hal yang tidak baik (dosa dan maksiat) dan
menjauhi hal-hal yang mengurangi muru’ah (kehormatan diri) di mata manusia.
·
Perowinya Dlâbith : artinya setiap perowinya hafalan
nya kuat, memiliki pemahaman yang jeli, sangat baik dalam memahami berbagai
permasalahan, memiliki ketetapan hafalan, dan mampu menjaga apa yang ia tulis
semenjak ia menerima dan mendengar hadits tersebut sampai saat ia menyampaikan
dan membawakan hadits tersebut.Dhabith itu ada 2 macam:
·
Dhabith Shadr (hafal dalam hati) : kemampuan seorang
rawi untuk menghafal apa yang telah didengar dengan sangat baik sehingga
memungkinkan baginya untuk menyebutkan hadis itu kapanpun dikehendaki.
·
Dhabit Kitab (hafal dengan bantuan kitab) : perawi
yang menulis hadits pada suatu kitab sejak ia mendengarnya dan mengecek
kebenaran hadits tersebut dengan gurunya, dan ia memelihara kitab tersebut dari
orang-orang yang ingin merubah atau mengganti kitab tersebut.
·
Terbebas dari Syudzûdz artinya hadits yang diriwayatkan itu tidak masuk
kategori syâdz.Syadz adalah riwayat perawi yang maqbul atau diterima
periwayatannya yang menyelisihi riwayat rawi lain yang lebih utama dari nya,
baik dari segi jumlah atau dari segi ke tsiqahannya.
·
Terbebas dari ‘illat, artinya hadits yang diriwayatkan
tidak ada cacat. Illat
adalah sebab yang merusak ke-shahih-an hadits yang secara lahir nampak shahih
dan tanpa cacat. Cacat ini tidak dapat diketahui kecuali oleh orang yang
mendalami ilmu yang mulia ini dimana mereka mengumpulkan semua jalur
periwayatan dari hadist tersebut kemudian menyimpulkannya dengan ilmunya bilamana salah satu dari lima syarat tersebut tidak
terpenuhi, maka suatu hadits tidak dinamakan sohih.
F. Kehujjahan Hadis Hasan.
Kehujjahan Hadis
hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis
shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum
maupun dalam beramal, karena para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta
para fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadis
hasan ini dapat dipergunakan
sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal.
F. Kesimpulan
Hadits shahih lebih sempurna dari pada hadits hasan, karna hadits shahih
para perawinya adil, sanadnya bersambung sampai Rosulullah sempurna hafalannya,
kuat ingatannya, tidak janggal dan tidak ada cacat, dan derajat suatu hadits
itu memiliki beberapa kemungkinan, bisa saja kita katakan shahih, hasan,
ataupun dhaif itu tergantung kepada dua hal yaitu keadaan sanadnya dan keadaan
perawinya.
Akan tetapi para ulama terdahulu telah memberikan kemudahan bagi para
peneliti hadits untuk mengetahui derajat hadits tersebut dalam kitab-kitab
hadits seperti yang paling terkenal adalah kitab “Tahzibul kamal fi asmaail
rijal” yang menerangkan tentang keadaan perawinya, apakah dia itu pendusta,
bid’ah, fasiq dan yang lainnya, akan tetapi semua ulama telah sepakat tentang
keshahihan hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim sehingga
kita tidak perlu lagi untuk meneliti atas kedaan sanad dan perawinya akan
tetapi yang mesti kita ingat hadits-hadits selain dari imam bukhari dan imam
muslim mesti kita telaah kembali akan keshahihannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ajaj Muhammad. Ushul
al-Hadits; Pokok-pokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Al-Qattan
Syaikh Manna. Pengantar Studi Ilmu Hadits, Terj. Mifdhol
Abdurrahman. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2005.
Mudzakir Muhammad. Ulumul
Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Solahuddin. Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka
Setia, 2011.
Fadlil Sa’id. Ilmu Mustholah Hadits, Surabaya: Al-Hidayah, 1999.
Sohari Sahrani. Ulumul Hadits, Bogor:
Ghalia Indonesia, 2002.