Popular Post

Archive for Februari 2015

TURKISH MUSLIMS AND ISLAMIC TURKEY: on perspectives Fethullah Gulen’s movement for finding a European Islamic identity

By : Unknown
MUSLIM TURKI DAN ISLAM TURKI: dalam perspektif gerakan Fethullah Gulen untuk menemukan identitas Islam di Eropa
TURKISH MUSLIMS AND ISLAMIC TURKEY: on perspectives Fethullah Gulen’s movement for  finding a European Islamic identity
Oleh: Ishak Hariyanto[1]
Email. ishakharianto@yahoo.co.id

Abstract

This paper talk about Turkish Muslims and Islamic Turkey: perspectives for a new European Islamic identity. There are significant refrences for the development of society when humans first found fire, then the wheel and most recently the silicon or microchip with wich humanity has revolutionized its thought and behaviour, progress and creativity. However the societies has a negative historical data bring back the horros of just the last century. Fethullah Gulen’s concept to redeem all the problem Turkish muslim and Islam Turkey, he was mentioned social formation of community and society based on dialogue and tolerance, self-scrifice and altruism, avoidance of political and ideological conflict, taking action in a positive and harmonious way and taking responsibility has had a formidable influence on individuals  and groups. Gulen also has evoked a thought changing movement both within Turkey and several other part of the world and has potential to redefine what it means rationally to be Islamic and European at the same time.
Keywords: Turkish Muslim, European Islamic Identity, Gulen’s Social Formula.

A. Pendahuluan
            Negara Turki sekarang merupakan negara yang berbeda di dua benua; Eropa dan Asia, dengan luas 780.580 km2 dan 95%-nya berada di Asia, sejak tahun 1932 M, batas-batas negara Turki sebelah utara sampai Laut Hitam, sebelah selatan sampai Syiria dan Laut Tengah, sebelah Barat Laut Aegea dan Iran serta Rusia di sebelah Timur. Ibukota pemerintahan bernama Ankara. Sebelum runtuhnya sistem kesultanan Utsmaniyah, geopolitik Turki mencakup dan meliputi area wilayah yang sangat luas. Sejak munculnya imperealisme Eropa seluruh wilayah Turki yang meliputi kawasan-kawasan Afrika Utara, Asia Barat termasuk sebagian Eropa Timur sedikit demi sedikit mulai dilepaskan. Kekuatan Eropa terutama Inggris dan Prancis, memaksa bagian-bagian kawasan Arab untuk dilepaskan oleh Turki. Ketika kemudian menjadi negara republik Turki, batas-batas wilayahnya hanya bagian kecil dari Eropa dan Asia, seperti disebutkan diatas. (Tohir, 2011: 231)
            Pada saat ini Eropa secara area geografiknya adalah bagian dari samudara Atlantik di Barat, pegunungna Ural di Timur, kemudian laut Hitam. Lautan Hellespont dan Aegean di bagian tenggara dari samudra Arctic  di utara dan  lautan Mediterranean di selatan, perbatasan Eropa dan timur ini terus berlanjut dan memicu terjadinya perbedaan antara Barat dan Timur. Melihat sejarah lampau selama beberapa abad dimana sungai Don telah mengingatkan pada konsepsi pembatasan antara apa yang disebut dengan Barat—Timur itu terjadi sejak abad ke-18 ketika itu telah ada desakan-desakan untuk balik ke pegunungan Ural. (Yilmaz, 2012: 36).
            Akan tetapi, bagaimanapun tidak ada alasan secara spesifik mengapa terjadinya pembatasan antara Timur dan Barat ini, dan seolah-olah pembedaan ini semakin memperkuat tesis Samuel Huntington “The Clash Of Civilization”. Lalu apakah pembatasan antara Timur-Barat ini hanya terletak pada geopolitik semata, ataukah sosio-kultural. Akan tetapi terjadinya perdebatan antara Timur dan Barat ini berlanjut pada perdebatan yang berorientasi pada permasalahan politik, idiologi negara dan bahkan  mereka saling mencari identitas masing-masing baik yang bersifat sosio-politik, agama dan budaya yang begitu dinamis dan kompleks. Dalam tulisan yang singkat ini penulis akan membahas penelitian yang dilakukan oleh Shanthikumar Hettiarachchi[2] dalam buku  European Muslims, Civility and Public Life Perspectives On and From the Gulen Movement. (Yilmaz, 2012: 37), dan kaitannya dengan konteks keberagamaan kontemporer.

B.  Muslim Turki dan Modernitas
            Perjalanan Muslim di Turki memiliki sejarah yang sangat panjang, Istanbul Turkey telah berkembang menjadi sebuah kota di Eropa, dimana konsep sekuler telah mempengaruhi kota metropolitan ini dengan sangat jelas. Istanbul sebagai negara Islam terdapat ratusan menara sebagai pemandangan yang sangat indah, dan pemandangan yang sangat indah ini tentunya sebagai negara yang bercampur dengan kehidupan negara-negara Eropa lainnya, (Yilmaz, 2012: 38).
        Pergumulan Turki dengan modernitas ini tentunya cukup menarik untuk dikaji, akan tetapi tidak hanya Istanbul saja yang bergumul dengan modernitas, tapi kota-kota kecil seperti Konya, Izmir, Kayseri dan Ephesus di Cappadocia juga turut ambil tempat dalam pergumulan modernitas. Turki saat ini sebagai simbol negara yang mayoritasnya Muslim dan Turki juga sebagai fakta bahwa adanya pergumulan dan kontak sosial masyarakat dari Istanbul ke Ephesus, dan tidak hanya itu, pergumulan dengan umat kristiani disana juga sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat Turki, dimana dalam sejarahnya bahwa masyarakat Konya melakukan pemujaan-pemujaan terhadap makam Mevlana Rumi, dimana hal ini juga sangat mirip sekali seperti apa yang terjadi pada monumen atau patung Rumi di jantung kota Izmir, akan tetapi Konya dan Izmir sekarang telah berubah menjadi tempat bertemunya negara sekuler yang modern. Konya dan Izmir adalah tempat pertemuan negara sekuler modern, seperti perjalanan demokrasi, kepemerintahan serta institusi kemiliteran, dan pergumulan ini adalah bagian dari tanda kemunculan arsitektur politik di Turki.
        Pergumulan secara internal ini jelas bahwa masyarakat Turki menempatkan norma-norma politik dan norma agama. Pergumulan ini sesunggguhnya murni sebagai faktor sosial, seperti halnya masyarakat secara natural dalam bertindak dan bereaksi setelah beberapa tahun mendapatkan kekangan dari otoritas-otoritas tertentu, dan hegemoni sehingga termanifestasi terhadap lemahnya hubungan diantara komunitas-komunitas masyarakat. Dalam pandangan Gulen meskipun Turki adalah negara yang mayoritas Muslim, akan tetapi kelihatannya sangat homogen sekali, dimana hal ini tampak dari sikap, watak serta tingkahlakunya dan ini semua mengindikasikan bahwa mereka tidak menghiraukan adanya bentuk perubahan dan tantangan hidup, dimana hal ini terlihat bahwa masyarakat Turki mengadopsi salah satu pemikiran apologetics,[3] yang menegaskan semua pergumulan itu terjadi diluar kontrol mereka, (Blackburn, 2003: 47).
        Meskipun mereka telah bergumul dengan kemoderenan akan tetapi tidak mampu menunjukkan identitas yang jelas dalam sebuah peradaban mereka di tengah dunia Eropa saat ini. Dalam menunjukkan identitas Muslim di Eropa bagi Gulen harus mengembangkan sikap yang lebih progress, individu dan masyarakat harus konsisten dan mampu menunjukkan jati dirinya dalam sebuah peradaban. Lebih jauh lagi Gulen mengatakan bahwa masa depan Eropa—Muslim Turki dan muslim yang lainnya harus mampu menciptakan sebuah perbedaan serta peradaban yang aktual dan jauh memberikan kontribusi yang lebih bermanfaat kepada umat Islam.
        Dimana konsep teologi umat Islam yang fundamental itu harus lebih bernuansa mengedepankan etika religius, harus  lebih fleksibel dan terbuka pada ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, sosial, politik, budaya, kesenian, kesejahtraan keluarga dan masyarakat dan juga keilmuan-keilmuan yang lain. Bagi Gulen, Islam di Eropa pada saat ini harus brilian dan harus memukau mata dunia, agar mampu mengajak dan menetralkan Islam yang berwajah ekstrim, seperti Islam yang kekurangan figur pemikiran, serta memiliki interpretasi yang tidak jelas terhadap Islam—sehingga dapat merusak citra Islam, seperti aksi teror, sehingga membuat orang lupa bahwa sesungguhnya Islam bukan agama kekerasan, akan tetapi Islam adalah agama perdamain dan memiliki nilai universal.
        Islam saat ini harus lebih dewasa dalam menyikapi aksi-aksi yang ekstrim dalam tubuh Islam sendiri—seperti konsep mati syahid, bunuh diri sebagai taktik teror untuk meresahkan masyarakat, hal-hal semacam inilah yang harus mampu di netralkan bagi semua pemikir Muslim saat ini, agar mampu menjawab permasalahan Islam yang memiliki wajah ekstrim yang  terekam di media-media dunia, (Yilmaz, 2012: 39).

C. Karakteristik dan Identitas Islam di Turki
        Identitas Islam di Turki memiliki karakter dan keunikan tersendiri, karena Turki ini adalah bagian dari Eropa dan sekaligus perbatasan yang menghubungkan antara Asia dan Eropa. Mayoritas penduduk Turki 98% adalah beragama Islam dimana telah memiliki faktor sejarah yang cukup panjang sejak 717 CE, ketika angkatan senjata Arab dibawah pimpinan Tariq Bin Ziad melintasi Mediterranean dan menyerbu Eropa, (Yilmaz, 2012: 41). Lebih daripada itu penelitian yang dilakukanoleh Ihsan Yilmaz mengatakan bahwa:
         Turkey is one of the the very first muslim countries that encountered the modern west and attempted to respond to the challenges posed by the western power and civilisation. (Yilmaz, 2012: 44).

        Turki sebenarnya bagian dari peradaban Islam Iran, akan tetapi Turki juga merupakan bagian dari wilayah peradaban Islam yang memiliki corak serta keragaman yang berbeda, karena dilihat dari sejarahnya ketika perang dunia I Turki terlibat dalam beberapa peperangan negara yang mengakibatkan banyaknya energi negara yang terkuras, seperti ekonomi, wilayah-wilayah kekuasaannya juga banyak yang merdeka, (Tohir, 2011: 230). Apalagi banyak sultan-sultan Usmaniyah belakangan banyak memilkiki kelemahan. Maka sejak tahun 1950 M Turki resmi diubah menjadi negara sekuler.[4] (Tohir, 2011: 230-231).
        Permasalahan yang dialami oleh Turki saat ini adalah permasalahan ideologi politik yang tidak jelas dan sekaligus keberadaan komunitas Muslim yang ada di Eropa ini bagaikan orang asing yang hidup dalam komunitas yang tidak jelas juga dikarenakan  komunitas Muslim di Turki ini sangat terdesak dalam menjalankan ritual-ritual keagamaanya dan bahkan mereka hidup seperti orang asing. Para umat Muslim yang ada di Turki serta pendatang ataupun para imigran yang sudah menetap di Eropa ini datang dari berbagai macam suku dan aliran. Dan mereka semua ingin mengembalikan serta meningkatkan nuansa sufistik dalam diri mereka yang telah lama hilang karena tidak memiliki lingkungan yang kondusif, dan disatu sisi juga  mereka kehilangan harapan serta ide-ide bagaimana cara mereka untuk mengembalikan dunia sufistik mereka selama tinggal di Eropa, hal ini diakibatkan oleh konsep sekuler yang melanda dunia Turki.
        Dalam Pandangan Shanthikumar Hettiarachchi permasalahannya adalah antara muslim Asia selatan dan muslim Turki yang tinggal dalam budaya politik tidak jelas. Muslim Asia selatan memiliki kekacauan yang begitu kompleks mengenai proses integrasi untuk mengadopsi budaya-budaya Eropa tanpa dikompromikan dengan nilai-nilai kepercayaan mereka, meskipun Muslim secara individu tidak memiliki kritikan secara jelas mengenai nilai-nilai, konsep serta aspek-aspek kehidupan di dunia Eropa. Sedangkan muslim Turki,  mereka tidak  mampu melihat kesejarahan Islam ditubuh mereka yang sudah kacau dan disatu sisi juga mereka di tuntutan oleh keadaan politik negara sekuler yang mereka anut, dalam keadaan yang lain juga mereka mempromosikan kemajuan atas dampak dari nilai-nilai sekulerisme.
        Dua isu inilah yang menjadi jantung muslim di Eropa dan sekaligus menjadi jantung perjuangan dalam mengungkapkan diri mereka sebagai seorang Eropa dan sebagai seorang muslim. Maka dari itu perlunya untuk menyelamatkan muslim yang ada di dunia Eropa, dalam hal ini yang dibutuhkan oleh umat muslim yang ada di Eropa ini  adalah harus mampu melihat aspek kesejarahan, dan aspek kesejarahan ini harus dilihat sebagai aspek kepercayaan umat muslim dan aspek kepercayaan dan keberagamaaan yang termanifestasi dalam sebuah sistim hukum, nilai-nilai sosial dan pemerintahan, karena umat Muslim di Eropa membutuhkan kenyamanan dalam mencari jati diri mereka dalam tubuh Islam. (Yilmaz, 2012: 41-42).
        Dalam hal ini Gulen telah menawarkan beberapa aspek pemikirannya untuk menyelamatkan Islam yang ada di dunia Eropa, yakni—wajah Islam jangan digambarkan sebagai implementasi atau agenda politik semata yang hanya menggambarkan kekerasan di wajah masyarakat, akan tetapi Islam itu harus mampu menanggapi dan mewadahi wacana-wacana mengenai spiritualitas, membangun nilai-nilai etika, kekuatan pribadi yang dibarengai dengan kesadaran akan hukum dan rasa kasih sayang, seperti apa yang telah di rekomendasikan oleh Gulen untuk menyelamatkan Islam dan komunitas Muslim di Eropa ini harus menanamkan nilai-nilai kasih sayang, etika kehidupan, hukum yang mengatur, tidak adanya kekerasan dan tidak adanya permusuhan, inilah yang ingin dibanguan oleh Gulen dalam menyelamatkan Islam di Eropa dan juga mengembalikan identitas Muslim Eropa. Islam saat ini harus hidup dengan penuh  kedamaian, dan tidak ada lagi permusuhan mengenai sejarah masa lampau yang melibatkan generasi-generasi selanjutnya, dan anggap saja sejarah yang kelam ataupun masa lalu itu adalah bagian dari kecelakaan sejarah. (Yilmaz, 2012: 42-43).
        Pendekatan Gulen dalam menyelamatkan Islam maupun komunitas muslim dari idiologi politik yang ada di Eropa ini disebut “faith-based on movement” yang sangat vital sekali yakni berkaitan dengan parameter etika-sosial yang dapat membangkitkan wacana Islam dalam menghadapi globalisasi di tengah-tengah masyarakat. Maka dari itu dibutuhkan penguasaan ilmu pengetahuan, tekhnologi untuk melengkapi kehidupan agar lebih bermakna dan umat Muslim mampu bertahan dimanapun mereka berada. Tidak hanya itu Gulen juga menawarkan bahwa sikap toleransi, dialog harus dibangun secara positif diantara semua pemeluk kepercayaan di Turki.
        Jadi bagi Gulen kalau sudah bersikap toleransi maka posisi Islam tidak hanya menawarkan slogan-slogan multikulturalisme semata—akan tetapi multikulturalisme adalah bagian yang harus dikampanyekan kepada masyarakat, agar masyarakat lebih bersifat inklusif secara lansung, dan bagi Gulen tidak ada lagi alasan mengenai permusuhan yang berakibat pada konflik yang tidak stabil, kehancuran institusional sehingga mengakibatkan Negara dalam membangun perdamain dan kasih sayang diantara semua pemeluk keyakinan menjadi terhambat. Pemikiran-pemikiran fundamental dan ekstrim yang merusak wajah Islam sebagai agama damai itu harus diperbaiki, maka untuk memperbaiki itu semua Gulen menawarkan jalan keluar, bahwa Islam saat ini harus mengacu pada etika yang berbasiskan kepatuhan terhadap hukum dan pemerintahan, ekonomi, hubungan internasional dan kedewasaan politik (political maturity).
        Pendekatan “faith-based on movement” Gulen inilah yang memberikan kedewasaan serta menyelamatkan Islam di Eropa baik kedewasaan  politik Turki dalam membanngun identitas Islam di Eropa, dan juga Islam itu sendiri harus progressive, saling memahami diantara semua pemuluk kepercayaan, dan tidak adanya anggapan truth claim diantara semua anggota masyarakat yang menganggap dirinya paling berkuasa dan gengsi menerima segala perbedaan. Sikap yang merasa unggul secara pribadi dan merasa memiliki kekuatan yang absolut inilah yang mengakibatkan adanya anggapan kebenaran (truth claim), dan bahkan berujung pada sikap yang ekslusif, sikap  inilah yang membuat gesekan-gesekan idiologi yang tidak sehat.

D. Pendekatan Movement Fethullah Gulen
        Melihat permasalahan Turki yang begitu kompleks maka dalam konteks ini penulis ingin mendeskripsikan pendekatan “Movement” Gulen dalam mengatasi permasalahan-permasalahan di dunia Eropa. Permasalahan Turki memang begitu kompleks dalam sejarahnya, akan tetapi Gulen menyelamatkan Turki dari keterpurukan ia tidak terjebak dalam keindahan sejarah masa lampau. Tujuan Gulen sebenarnya untuk mendidik para generasi muda dengan memiliki bekal spiritual, kecerdasan dalam ilmu pengetahuan dan berkomitmen demi kepentingan bersama agar mampu memberikan kontribusi bagi umat Islam, seperti dikutip statement Gulen berikut:
        It is an education of heart and souls as well as of the mind. Aimed at invigorating the whole being to achieve personal competence and the ability to be useful citizen for the benefit of others, (Esposito, 2003: xiii).

 Dan permasalahan umat Islam bagi Gulen tidak hanya itu saja, akan tetapi adanya  pandangan-pandangan keberadaan Islam secara praksis fundamentalis dalam memahami Qur’an secara teks fundamental itu memang ada, akan tetapi bagi Gulen hal-hal semacam ini harus dihargai keberadaannya dan bahkan harus dirubah pandangannya tentang Islam agar lebih fresh, seperti yang dikutip berikut ini:
         Fethulleh Gulen innovatively introduces views, idea and praxis. Gulen speaks intensely of Islamic praxis being fundamentally Qur’anic but freshly compatible beyond the medieval interpretation of certain fundamentals of Islam. Gulen unequivocally and devoutly respects and honours the primordial religiosity expressed in the Qur’an and Allah-experience’ unique to the prophet of Islam. Gulen’s practical proposition is that the roots his discourse within the historical tradition of Islam but introduces a fresh way to understand Islam and to adapt in to contemporary issues of political, scientific, cultural and social paradigm which he thinks are part of the praxis of Islam, (Yilmaz, 2012: 47).

        Dalam konsep gerakan (movement) Gulen menyebut konsepnya dengan “bridge-building approach” yang ditawarkan oleh Gulen untuk menjawab permasalah-permasalahan yang rumit dalam dunia Islam—karena bagi Gulen Islam tanpa terjun dalam dunia praksis sama artinya kosong. maka dari itu umat Islam saat ini harus menjunjung tinggi sikap toleransi terhadap umat-umat yang lain, karena ketika umat Islam saling toleransi  dengan yang lain maka akan tercipta rasa saling menerima, saling percaya, saling menghargai hak-hak dan kewajiban antara satu dengan yang lain. Wanda Krause mengatakan dalam Gulen bahwa pentingnya toleransi:
        No matter how charming and enchanting the atmosphere that catches the eye or fills the heart is there is no permission for us to forget the truth to which we are commited. We cannot stay alien toward each other while we are in the same camp. We do not have a monopoly of the good and beautifu; therefore we cannot be allowed to wage a war with the passengers who are heading to the same destination but on a different path. (Krause, 2012: 61).

        Bagi penulis pemikiran-pemikiran semacam ini yang harus menjadi contoh dalam meningkatkan nuansa toleransi, menerima perbedaan keyakinan, menciptakan dialog serta membangun tempat pendidikan yang kondusif, karena bagi Gulen lewat pendidikan yang multikulturallah Islam bisa menciptakan jati diri di tengah-tengah Eropa. Muslim saat ini harus mampu memukau mata dunia, agar umat Islam bisa selamat dari keterpurukan dan inilah letak perbedaan Gulen menurut penulis dengan ilmuan-ilmuan serta pemikir yang lain, karena konsep Gullen harus dibarengi dengan action. Aksi bagi Gulen yang dimaksud membangun sekolah-sekolah profesional, universitas, institusi pendidikan yang berbasiskan multikulturalisme, dialog, keterbukaan terhadap ilmu-ilmu sosial, etika, politik, antropologi, sosiologi dan lainnya. Menurut Gulen bagaimana mungkin Islam akan mampu menjawab tantangan zaman pada arena modern tanpa adanya pendekatan yang lebih fresh. Islam agar mampu menghadapi arus dunia modern tentunya Islam harus mampu menginspirasi Islam di Eropa, dan konsep inilah yang disebut oleh Gulen sebagai “bridge building aproach”.
        Gulen’s movement ini tentu telah menginspirasi banyak orang, dan bahkan hampir di seratus negara di dunia tersebar para Gulenian. Sekolah-sekolah Gulen berdiri di negara-negara besar. Sekolah gulen selalu menanamkan nilai-nilai pelayanan yang profesional yang disebut dalam bahasa turki “hizmet” yang berarti pelayanan. Pemikiran tentang pelayanan ini tentu Gulen terinspirasi oleh ajaran Islam yakni kesalehan dalam berbuat dan bertindak, karena konsep Gulen harus adanya aplikasi bukan sekedar teori inilah yang disebut dengan Gulen’s movement, (Esposito, 2003: xiii).
        Dalam konteks pendidikan tentu Gulen tentu menekankan pada penguasaan akan sains modern, jadi tidak ada pemisahan antara spiritualitas, nilai-nilai sufistik dengan ilmu kemanusiaan seperti, biologi, antropologi, sosiologi, etika dan politik. Kesadaran Gulen ini tentu menginspirasi para pengikut Gulen untuk mengembangkan pendidikan ala-konsep gerakan Gulen ini. Nilai-nilai etika spiritualitas bagi Gulen harus terus dikembangkan sebagai jati diri Muslim apalagi dalam pencarian identitas di Eropa, hal semacam ini bagi Gulen harus dikembangkan seperti dikutip berikut:
        Judge your worth in the creator’s sight, by how much space he occupies in your heart, and your worth in people eyes by how you treat them. Do not neglect the truth even for a moment. And yet, be human being among other human beings, (Krause, 2012: 59).

        Gulen “movement concept” ini mungkin saja bisa menjadi contoh dan bisa diterpakan dalam konteks indonesia, karena gerakan-gerakan Gulen ini  mengedepanakan sikap toleransi dan cinta sesama. Toleransi ini suatu niat yang baik untuk mengenal dan bahkan untuk menghargai semua pemeluk kepercayaan. Sikap toleransi ini harus dibangun dalam diri umat Islam seperti dijelaskan berikut:
        Islam is word derived from the root word silm and salamah. It means surrending, guiding, to peace and contentment, and establishing security and accord…. How unfortunate it is that Islam, which is based on this understanding and spirit, is shown by some circles to be synonymous with terorism. This is great historical mistake; wrapping a system based on safety and trust in a veil of terrorism just shows that spirit of Islam remains unknown, (Krause, 2012: 61-62).

         Konsep Gullen ini sangat unik karena tidak membuang nilai-nilai yang bersifat tradisional dalam tubuh Islam yang bersifat primordial—akan tetapi nilai-nilai tradisional ini dia balut kedalam dunia meodern, tentunya ini adalah hal yang sangat luar biasa, sehingga kita bisa lihat negara Turki yang telah memiliki program-program yang begitu modern, dan dari konsep Gulen ini juga mampu mengharmonisasikan serta mengintegrasikan kesejarahan Turki yang bermacam-macam dan mereka juga mampu mengaplikasikannya kedalam kehidupan sosial—politik yang memiliki daya tarik bagi dunia Islam.  
        Konsep Gulen ini juga mampu mendamaikan tradisi-tradisi Islam yang seratus tahun lalu, kemudian tradisi Islam ini dikontekstualisasikan dengan kondisi saat ini, dan hal ini bukanlah tugas yang mudah bagi Gulen, akan tetapi dia percaya bahwa semua itu bisa terjadi, apabila konsep “bridge-building aproach” ini dikembangkan. Pendekatan Gulen ini masih terbilang sangat fresh karena mampu menyelamatkan Muslim di negara Turki dari keterpurukan idiologi, kebudayaan, sosial dan prekonomian, maka pendekatan Gulen inilah yang menginspirasi masyarakat Turki kepada diskursus “Islam modernity” seperti yang dikutip berikut:
          Gulen’s Islam modernity and community based on praxis is a challenge both to the traditional understanding of Islam and to a blind following of the project of modernity, (Yilmaz, 2012: 48).

           Memang Gulen sadar, bahwa ia akan mendapatkan rintangan serta tantangan yang sangat besar dalam konsep gerakannya, akan tetapi bagi dia semua ini membutuhkan ketekunan, kemampuan strategi yang luas dan bahkan harus kerja keras untuk menciptakan hubungan kepemimpinan militer Turki  dengan para elit-elit negara sekular, (Yilmaz, 2012: 49)
        Gerakan Gulen dalam mengembangkan konsep “bridge-building” ini juga berfungsi sebagai perluasan kekuatan di dunia Eropa, dan memang  harus memiliki sikap yang terbuka terhadap nilai-nilai kebudayaan dan pluralitas, konsep pergerakan Gulen ini juga harus dibarengi dengan adanya kesadaran akan hukum, sosial, politik ekonomi, etika keislaman, institusi kenegaraan, kesejahtraan keluarga yang meamadai dan tentunya hal yang sangat krusial yakni mengenai pendidikan perempuan dan lainya,  agar mampu membangun konsep hidup yang taat terhadap pemerintahan sebagai warga negara.
        Tidak hanya itu, Gulen dalam bukunya Mastering Knowledge In Modern Times juga menawarkan konsep “theology of social responsibility” konsep ini di tawarkan oleh Gullen agar umat Islam mampu menghadapi musuh-musuhnya, diantara musuh Islam itu adalah; permasalahan kemiskinan, ketertinggalan, perpecahan dan kebodohan. Permasalahan ini menurut Gulen harus diselesaikan agar Islam mampu memiliki gaung dalam tantangan zaman, serta fenomena kemanusiaan—maka dari itu  untuk menghadapi musuh Islam tersebut bagi Gulen harus memulai membangun sekolah-sekolah, universitas, institusi pendidikan serta lingkungan pendidikan yang kondusif dan juga menyediakan tempat-tempat tinggal (dormitory). Membangun tempat-tempat pendidikan ini tidak hanya ditujukan kepada orang-orang Muslim saja, akan tetapi bagi non muslim juga agar tercipta dialog multikulturalisme serta menghargai perbedaan. “Theology of social responsibility” bagi Gulen harus di praktikkan dalam institusi-institusi manapun agar mapu memberikan kontribusi dalam membangun konsep baru permasalahn teologi dalam dunia Islam agar mampu menghadapi tantangan zaman.
        Bagi Gulen ia percaya bahwa umat islam saat ini bias menciptakan sejarah, akan tetapi umat islam harus mampu tanggung jawab atas permasalahan sosial, mereka harus aktif dalam institusi pendidikan, tidak hanya itu Gulen mengatakan ketika umat Islam memiliki konsep “Theology of social responsibility”. Umat muslim tidak hanya akan berkutat didalam kepercayaan sebagai insider semata, akan tetapi juga sebagai outsider dan bahkan mampu menjadi kedua-duanya sehingga akan tercipta hokum serta perdamain di dunia.
        Dalam konteks zaman modern saat ini Gulen merekomendasikan kepada umat Islam agar bertanggung jawab atas permasalahan sosial agar pesan-pesan didalam al-Qur’an termanifestasi dalam kehidupan nyata yang tidak hanya sebatas teks. Maka dari itu Islam harus mampu memaknai pesan-pesan al-Quran sebagai esensi yang universal dan dapat diterima dalam segala zaman—maka untuk membuat ajaran al-Qur’an menjadi universal harus dianalisis dalam permasalahan sosial kemanusiaan atau yang disebut dengan “theology of social responsibility”.
        Menurut Gulen tidak hanya itu saja, akan tetapi untuk menjadi umat muslim saat ini menjadi sebuah keharusan untuk menguasai ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, ekonomi, kebudayaan, antroplogi dan juga etika, dan inilah yang disebut oleh Gullen sebagai konsep “faith based on ovement” dan dalam “faith based on movement” ini harus ada theology of social responsibility, (Albayrak, 2011: 91-92).
        Theology of social responsibility ini bagi Gulen menuntut para pemikir untuk bertanggung jawab atas fenomena sosial akan tetapi juga menuntut pada kesalehan pribadi, seperti hadits mengatakan “the one who knows oneself will know God” dan tidak hanya itu siapapun yang memiliki tingkat kesalehan yang tinggi dan  juga memiliki pengetahuan maka akan berpotensi  untuk bertanggung jawab pada diri sendiri dan juga tuhan, dalam konteks kesalehan spiritual dan tanggungjawab Gulen mengatakan berikut:
        A believer is someone who truts a candidate of trust with a worthy future, who promises safety to his surroundings, and who has integrated colorful differences in harmony. Such a believer is a decent human being. With such a kind disposition, one is gentle and sensitive, both before people and before God to the extent that if the believer is threatened with death or faces various pressures and false accusations will never attempt to act crudely… the believer is an exemplary person, who opens one’s heart to everyone, (Gulen, 2011: 93).

Gulen juga berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mengembangkan konsep “theology of social responsibility” karena dia ingin membawa pesan kepedulian dengan penuh cinta kepada sesama baik muslim maupun non muslim, dengan membawa pesan cinta, nir-kekerasan serta kepedulian ini Gulen mengatakan:
One loves everyone and everything for God sake, breathers love, and always creates an aura of love around oneself. The believer hastens to stop cries and responds to grievances, treats pains with antidotes, and transforms the cries of people to laughter … the believer transforms the storm of the fire into breezes of divine pleasure. One mourns to prevent people’s mourning and sheds tears as much as the river of Oxus to prevent the tears of others. The believer evaluates oneself based on contributions to the well being of others. The focus of the believer is always on “we” rather than “I.” Therefore, the believer is not selfish, but someone who thiks of others.

        Maka bagi Gulen sudah saatnya umat muslim saat ini untuk saling toleran, saling peduli terhadap sesama atas nama kemanusiaan bukan atas nama kepercayaan masing-masing. Umat muslim harus menciptakan kesalehan pribadi menciptakan keharmonisan dan perdamaian bagi umat mansuia, saling menolong melayani, karena manusia adalah hamba tuhan maka saatnya hidup dipenuhi dengan cinta dan toleransi.

E.  Kesimpulan
        Turki adalah negara Muslim yang paling pertama menghirup udara Barat modern, dan juga memiliki penduduk yang mayoritasnya Muslim. Meskipun begitu Muslim di Eropa hidup dalam himpitan teologi yang tidak jelas karena Turki sekarang adalah bagian dari dunia  Eropa yang telah menganut paham sekuler yang berimplikasi pada kehidupan masyarakat, sehingga Turki tidak mampu memahami kesejarahn Islam yang kuat dalam menunjukkan jati diri mereka di tengah-tengah paham modernisme, sehingga mengakibatkan para Muslim di Turki kehilangan identitas serta jati diri mereka, dan tidak bisa menghirup udara nilai spiritualitas secara bebas, dan umat Islam Turki sebagai seorang Muslim yang hidup di tengah-tengah peradaban Eropa baru mereka bagaikan hidup di negara asing.
        Permasalahan umat Muslim di Turki memang begitu rumit, akan tetapi ada beberap konsep yang telah dibangun Gulen dalam mengatasi permasalahan umat Islam serta muslim Turki—dalam hal ini Gulen merekomendasikan—bahwa Islam sebagai sebuah agama seharusnya memiliki tingkat kesadaran yang tinggi akan ilmu pengetahuan, sosial, ekonomi, budaya antropologi, etika dan sebagainya, sebagai seorang Muslim tidak boleh ragu apabila dalam sebuah tantangan dunia modern ini mendapatkan ujian yang berat. Gullen menekankan bahwa pentingnya dialog antara semua pemeluk kepercayaan, karena dengan dialog semua akan terbuka dan hal ini harus dilakukan oleh semua manusia baik itu Muslim maupun non Muslim agar tercipta dunia yang penuh dengan keamanan dan  kedamaian.
        Islam juga harus dijauhkan dari wajah Islam yang fundamental ekstrim seperti islamophobia atau westphobia, dan inilah tantangan umat Muslim di era modern ini. Konsep “movement” Gullen dalam konteks ini akan mampu untuk menstransformasi budaya dialog diantara semua komunitas, agar tidak ada lagi kepercayaan yamg menganggap diri paling berkuasa, truth claim, yang akan mendorong terjadinya perpecahan di muka bumi. Tidak hanya itu warga Eropa saat ini harus memabngun kesadaran kewarganegaraan mereka, bertanggungjawab dan peduli pada semua, bukan hanya golongan semata akan tetapi semua golongan. Rasa persaudaraan, kepedulian, cinta kasih, nir-kekerasan dan menghormati semua perbedaan, menjalankan hukum, nilai-nilai sosial Islam, budaya, etika, kesemuanya inilah yang akan mampu menjawab tantangan zaman dan lebih memberikan kontribusi yang positif bagi ketahanan umat Islam di tengah-tengah pergulatan kemanusian yang serba modern.


DAFTAR PUSTAKA
Blackburn, Simon, The Oxford Dictionary of Philosophy, terj. Yudi Santoso, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Gullen, Fethulleh, Mastering Knowledge In Modern Times, (ed.), Ismail Albayrak, New York: Blue Doom Press, 2011.
Shanthikumar Hettiarachchi dalam http://www.dialoguesociety.org/tag. Akses Tanggal 30 Desember 2013.
Thohir, Ajid, Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Polotik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.
Weller Paul dan Yilmaz Ihsan, European Muslims, Civility and Public Life Perspectives On and From the Gulen Movement, India: Continuum International Publishing Group, 2012.
Yavuz and Esposito, Turkish Islam Secular State The Gulen Movement, Syracuse University Press, 2003.
Krause, Wanda, Civility In Islamic Activism: Toward A Better Understanding of Shared Values For Civil Society Development, Continuum International, 2012 (ed.) Paul Weller dan Ihsan Yilmaz.




[1]Mahasiswa Program Pascasarjana, Jurusan Filsafat Islam (Universitas Islam Negeri  Sunan Kalijaga Yogyakarta).
[2]Shanthikumar Hettiarachchi PhD menerima gelarnya pada bidang mayoritas dan minoritas konflik etnis dan agama, Melbourne College of Divinity, University of Melbourne. Dia adalah seorang ahli dalam  bidang Agama, konflik dan kohesi sosial. Hettiarachchi bekerja secara ekstensif dengan kelompok-kelompok masyarakat dan gerakan sosial di Sri Lanka.  Dia juga sering mengembangkan dan memfasilitasi berbagai program Pusat yang menyangkut umat beragama, budaya dan etnis yang berbeda. Selain itu juga Hettiarachchi adalah pendiri Co-ordinator dari Luton Dewan Faiths, Bedfordshire, Inggris. Kepentingan penelitian utamanya dalam komunitas diaspora - afiliasi keagamaan di Inggris, Eropa dan Australia. Informasi ini bisa di lacak di http://www.dialoguesociety.org/tag/Dr-Shanthikumar-Hettiarachchi.html. Akses 30 Desember 2013.
[3]Sikap pembelaan terhadap suatu doktrin, akan tetapi dalam pengertian yang berbeda apologetics ini dalam teologi, yakni suatu upaya untuk memperlihatkan kalau iman bisa dibuktikan lewat akal, atau minimal konsisten dengan akal. Penggunaan lebih umum istilah ini adalah semua upaya apapun bentuknya yang dimaksud untuk membela atau sikap pembelaan terhadap suatu doktrin.
[4]Sekuler yang dimaksud yakni menghilangkan sistem kekhalifahan dan kesultanan dibawah pimpinan mustofa Kemal Attaruk, dimana pada tahun 1950 untuk pertama kalinya Turki mengadakan pemilu  partai republik bentukan Mustofa Kemal Attaruk kemudian dikalahkan oleh partai demokrat. Tahun 1961 partai republik berkuasa kembali namun didominasi oleh partai motherland.

FILSAFAT ETIKA IMMANUEL KANT DALAM KONTEKS NEGARA DEMOKRASI

By : Unknown
FILSAFAT ETIKA IMMANUEL KANT DALAM KONTEKS NEGARA DEMOKRASI
Oleh. Ishak Hariyanto[1]
Email. ishakharianto@yahoo.co.id

Abstrak
            Etika adalah aturan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena bayangkan saja dunia tanpa adanya etika atau moralitas maka  konsekuensinya akan menjadi dunia dimana tidak ada seorangpun yang memiliki hati nurani, di mana tak seorang pun yang akan pernah merasa bersalah atau menyesal atas apa yang mereka lakukan atau tidak mereka lakukan. Makalah ini berbicara tentang Etika Kant dalam konteks negara demokrasi, kant mengatakan bahwa etika adalah sebuah sistem aturan yang harus diikuti karena wajib tanpa peduli pada apa yang diinginkan atau dimaui seseorang.
Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih jauh etika filsafat Immanuel Kant untuk memberikan suntikan etika serta moralitas kebaikan dalam fenomena demokrasi saat ini. Demokrasi dalam konteks ini adalah kedaulatan milik rakyat, rakyat bebas memilih dan dipilih, rakyat diatas segala-galanya. Akan tetapi demokrasi tersebut salah dimaknai serta salah diaplikasikan oleh kebanyakan orang, sehingga demokrasi hanya dimaknai sebagai jalan untuk mencapai kepentingan pribadi semata. Bagi Kant sesungguhnya ini menandakan betapa keringnya moralitas yang ada pada diri kita, maka dari itu Kant mengajarkan etika kewajiban untuk melakukan kebaikan tanpa ada suatu tujuan tertentu dan tidak menggunakan orang lain jadi sarana demi kepentingan pribadi, etika ini disebut oleh Kant sebagai konsep deontologi yakni nilai-nilai etika kebaikan yang berdasarkan konsep kewajiban agar hidup lebih berkualitas.

Kata kunci. Filsafat Etika Immanuel Kant, Negara Demokrasi

A.  Pendahuluan
Moral sangat penting dalam kehidupan kita bayangkan andaikan dunia tanpa moralitas itu akan menjadi sebuah dunia di mana tidak ada seorang pun memiliki keyakinan tentang moral entah itu  apa yang disebut dengan  benar dan yang salah, baik atukah buruk. Maka Konsekuensinya akan menjadi dunia dimana tidak ada seorangpun memiliki hati nurani, di mana tak seorang pun yang akan pernah merasa bersalah atau menyesal atas apa yang mereka lakukan atau tidak mereka lakukan. Meninjam bahasa Sokrates “kita sedang membicarakan masalah yang tidak kecil, yakni mengenai bagaimana kita harus hidup”.[2]
Karena kita mebicarakan masalah besar yakni tentang moral maka banyak juga kontroversi tentang makna moral. Filsafat moral sesungguhnya upaya untuk mensistematisasikan pengetahuan tentang hakikat moralitas dan apa yang di tuntut dari kita seperti kata Sokrates, tentang “bagaimana seharusnya hidup” dan mengapa demikian. Maka akan sangat berguna jika kita memulainya dengan sebuah definisi yang sederhana dan tidak kontroversial mengenai moralitas. Mengutip pendapat Emmet Barcalow mengenai moral yakni:
There would be no moral restrains or constraints on peoples behavior.It would be also be a world in which there was no conception of vice and virtue, kindness, honesty and compassion would not be considered morally better than cruetly, dishonesty and malevolence. No distinction would be made between justice and injustice. No one would be believe that anyone has any moral rights or duties. No one would ever claim or believe that people have a moral right to life or right to freedom of expression or that we have a moral duty to refrain from harming others.[3]

Terjemahan bebasnya: bayangkan saja andaikan dunia tidak ada moralitas, maka tidak akan ada yang mampu menahan kendala serta perilaku yang ada pada manusia. Hal ini juga akan menjadi sebuah dunia di mana tidak akan ada konsepsi mengenai kebajikan, kebaikan, kejujuran dan kasih sayang. Semuanya tidak akan bisa dianggap secara moral lebih baik daripada ketidak jujuran dan kedengkian. Dan tidak akan ada perbedaan  antara keadilan dan ketidakadilan. Tidak ada yang akan percaya bahwa seseorang memiliki hak moral atau kewajiban. Tidak ada yang akan pernah mengklaim atau percaya bahwa orang-orang  memiliki hak moral untuk hidup atau hak untuk kebebasan berekspresi dan bahkan kita memiliki kewajiban moral untuk menahan diri dari menyakiti orang lain.
            Selain itu juga dunia tanpa moralitas tidak akan ada secara moral dengan benar atau salah, baik atau buruk. Dunia tanpa moral maka manusia tidak akan bermoral serta kebaikan dunia akan diganti menjadi kekejaman, perbudakan. Tidak akan ada rasa keadilan karena tidak adanya moralitas. Orang yang tidak bermoral tidak akan bisa dituduh melakukan kejahatan, tidak ada yang memiliki tugas amoral untuk mengurangi bahaya serius yang diberlakukan kepada orang terhadap resiko keinginan mereka. Dalam konteks negara demokrasi saat ini banyaknya demoralisasi yang terjadi,  pemerkosaan, pembunuhan, korupsi merajalela, lalu dimankah letak moralitas yang menjadi dasar aturan hidup. Kehidupan ini akan rusak apabila tidak ada hal yang baik yang tertanam dalam diri kita, maka dalam hal ini kant mengajarkan kita untuk melakukan hal yang baik dan memang itu nalar kita sudah menganggap baik tanpa terkecuali dan itulah yang disebut dengan deontologi (etika kewajiban).
            Dalam konsep moralitas memang berbeda-beda dalam setiap masyarakat dan merupakan kesepahaman yang pas untuk kebiasaan-kebiasaan yang di setujui bersama.[4] Akan tetapi dalam hal ini penulis sangat tertarik untuk mengkaji konsep etika yang dibangun oleh Immanuel Kant dan menghubungkan dengan negara demokrasi.

B. Biografi Singkat Kehidupan Immanuel Kant
Immanuel Kant adalah seorang filsuf yang sangat luas pengaruhnya dalam sejarah Filsafat modern hingga sekarang. Ia lahir di Konisberg PrusiaTimur, pada tanggal 22 April 1724. Kant merupakan anak keempat dari empat bersaudara dan ia lahir dalam keluarga yang miskin.[5]
Orientasi etis pietisme[6] yang sangat kental dan tiadanya penekanan terhadap dogma teologis menjadi sebuah ciri khas kant dan faktor determinan dalam filsafatnya. Setelah menyelesaikan kuliah di universitas Konigsberg dan ia menjadi tutor di beberapa keluarga aristokrat. Kant mengajar di almamaternya sebagai dosen selama lima belas tahun. Ia banyak menulis buku-buku sebagian dari karya-karyanya adalah tentang metafisika, logika, etika, dan sains  dan juga tentang alam.[7]
Pada tahun 1770 dia diangkat menjadi guru besar logika dan metafisika di Konigsberg, dan pada tahun 1781 dia menerbitkan karyanya yang sangat luar biasa termasyhur yakni Critique Of Pure Reason. Karya ini membuka bidang-bidang studi masalah-masalah baru pada zaman ketika dia hidup. Kant juga adalah sosok filsuf yang sangat teratur rendah hari dan tidak suka menonjolkan keilmuannya.

C. Latar Belakang Pemikiran Immanuel Kant
      Dalam konteks pemikiran, seseorang tidaklah lepas dari sejarah serta setting sosial yang mempengaruhi kehidupannya dimana dia hidup. Dalam hal ini penulis mencoba memberikan hal-hal yang melatarbelakangi pemikiran filosofis Immanuel Kant yakni zaman yang disebut dengan Aufklarung (zaman pencerahan). Pada abad ke-18, kita semua pernah membaca bahwa di Eropa Barat mengalami suatu zaman baru yakni zaman pencerahan.[8] Atau senada dengan zaman yang disebut dengan enlightenment.[9]
Pada zaman ini orang-orang mendapatkan cahaya baru dalam segi rasionya. Menurut Immanuel Kant pencerahan yang dimaksudkan adalah orang keluar dari keadaan akil-balig atau terlahir kembali seperti orang yang sedang berulang tahun. Orang-orang sebelum terjadinya pencerahan belum memiliki sikap kritis dan rasionya belum digunakan. Sehingga ketika terjadinya pencerahan ketika itu mereka baru sadar bahwa banyaknya kesalahan yang terjadi terhadap rasionya.
Kesalah itu terletak pada keengganan memanfaatkan rasionya, karena lebih berpusat pada otoritas di luar dirinya-seperti wahyu ilahi, nasihat orang yang terkenal, ajaran-ajaran Gereja atau negara. Begitu besarnya otoritas gereja pada saat itu sehingga memicu adanya gerakan-gerakan. Maka di saat itu pula terjadilah  perkembangan ilmu pengetahuan dengan sangat pesatnya. Ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu disebut dalam bahasa Jerman dengan aufklarung dan sangat mempengaruhi pola pemikiran Immanuel Kant. Sehingga wajar Kant adalah filsuf yang sangat berpengaruh serta termasyhur di abad pertengahan.
Perkembangan pola pemikiran pada zaman pencerahan ini tidak hanya berkembang di Jerman saja akan tetapi pencerahan ini berkembang juga di Inggris lalu di daratan Eropa, kemudian di Prancis berjalan dengan amat radikal, sehingga memberi jalan bagi revolusi Prancis pada tanggal 14 juli 1789.  Pada masa pencerahan di Jerman, muncul gerakan keagamaan Lutheranisme abad ke-18.          Gerakan yang dimaksudkan adalah Pietisme yang dipelopori Spener (1635-1705) dan France (1663-1727), muncul reaksi atas teologicial akademik yang sangat rasional dan Gereja Institusional yang kaku. Pietisme amat menekankan kesalehan hidup, sikap batin yang baik dan moralitas keras. Ajaran gereja yang sejati berada dalam organisasi manapun atau dalam teologi melainkan dalam hati orang percaya dan saleh. Dari sinilah Kant tidak suka beribadah di gereja, dan menganggap doa-doa tidak perlu sebab Tuhan sudah mengetahui setiap kebutuhan  dan isi hati manusia, baginya doa bisa mendatangkan penghinaan terhadap diri sendiri. Selanjutnya dengan adanya Allah free will dan kebakaan jiwa tidak bisa dibuktikan secara teoritis melainkan sebagai postulat/dalil-dalil dari akal budi praktis: ide yang menyangkut kewajiban mentaati hukum moral. Pemikiran Kant juga sangat dipengaruhi oleh  Leibniz dan HumeKeduanya mewakili pemikiran filosofis kuat di masa pencerahan. Leibniz sebagai tokoh rasionalisme, dan Hume sebagai tokoh empirisme.[10]

D. EtikaImmanuel Kant dan Kaitannya Dengan Negara Demokrasi
Etika kant dalam negara demokrasi disini terkait apabila dalam suatu masyarakat sudah tidak menghiraukan lagi aturan, hukum serta norma-norma sosila dalam hidup bermasyarakat. Maka etika kant disini masuk untuk mengkritisi negara yang mengusung demokrasi yang hanya mengatasnamkan rakyat, demi rakyat dan aspirasi rakyat, akan tetapi itu semua hanya omong kosong, maka ajaran etika Kant disini masuk untuk mengkritisi semua yang mengatasnamakan rakayat, karena ajaran Kant tentang Etika terdiri dari prinsip akal budi praktis yang murni. Prinsip-prinsip praktis dalam arti proposisi-proposisi yang berisi ketentuan umum kehendak, yang memiliki beberapa aturan praktis. Prinsip-prinsip itu bersifat subjektif, atau merupakan maksim-maksim, ketika kondisi ini oleh subjek dianggap baik hanya bagi kehendaknya sendiri. Prinsip-prinsip itu bersifat objektif, atau merupakan hukum praktis, ketika kondisi tersebut oleh subjek diketahui objektif, yakni baik untuk kehendak setiap makhluk yang rasional, karena akal dalam konteks ini berfungsi sebagai verifikator.[11]
Etika dalam pandangan Kant yakni sebuah sistem aturan yang harus diikuti karena wajib tanpa peduli pada apa yang diinginkan atau dimaui seseorang. Betapa murni sekali etika yang diajarkan oleh kant kepada kita semua. Menarik etika yang diajarkan oleh kant di atas dengan konteks kekinian, yakni demokrasi masih sangat relevan sekali karena bagaimana kita harus berbuat buat kepada seseorang tanpa ada tujuan tertentu akan tetapi memang itu baik untuk dilakukan. Seperti contoh seorang pejabat negara secara tidak sadar dan secara spontan menolong anak jalanan yang sedang kelaparan karena seharian belum makan. Etika yang seperti ini yang telah diajarkan oleh Kant yakni etika kewajiban menolong orang tanpa ada tujuan tertentu yang penting orang itu selamat/bertindaklah secara maksim. Ajaran etika Kant yang harus kita resapi juga yakni tidak ada konsep bahwa manusia menjadi sarana bagi kepentingan orang lain.
Akan tetapi pada konteks negara demokrasi[12] saat ini keuniversalan etika serta keabsolutan etika itu jarang kita menjumpainya karena penulis beranggapan di negara demokrasi Indonesia ini kita masih menganut kebenaran yang relatif seperti yang diusung oleh kaum relativis, sehingga mengakibatkan konflik kepentingan pribadi dan  orang saling sikut satu sama lain dan melakukan tindakan-tindakan amoral dan bahkan membuat orang lain menjadi sarana serta budak demi kepentingan pribadi. Karena para kaum relativis beranggapan berikut ini:
     There is no permanent or universal standard by which right and truth in regard to these metters can be established and different folkways compared and criticized.[13]

 Apabila kita tidak  mengakui kebenaran itu secara umum dan mengatakan bahwa kebaikan itu relatif, maka yang akan  terjadi di negara kita ini akan  banyaknya kasus-kasus kekerasan yang terekam di media-media, pemerkosaan, pembunuhan, dan bahkan korupsi. Kenapa itu semua bisa terjadi, karena tidak adanya kontrol efektif dari para pengambil kebijakan sehingga mengakibatkan fenomena tersebut bisa terjadi. Untuk menjawab fenomena-fenomena tersebut maka kita hendaknya meresapi apa yang telah diajarkan oleh etikus tersohor yakni Immnuel Kant. Kant beranggapan kekerasan, pemerkosaan, korupsi dan penyakit yang ada di masyarakat itu bisa terjadi karena jauh dari nilai-nilai etika kewajiban serta jauh dari moralitas yang menjadi aturan dalam hidup.[14]
Demokrasi yang menjadi kebanggaan negara pada saat ini sesungguhnya belumlah siap, dikarenakan hilangnya aplikasi moralitas yang mengakibatkannya belum siap. Kita lihat saja bagaimana maraknya para pejabat yang gila kehormatan saling adu satu sama lain untuk mendapatkan sebuah kekuasaan, alih-alih mengatasnamakan rakyat dan demokrasi. Secara tidak lansung masyarakat hanya di buat menjadi kambing hitam oleh para pejabat dan masyarakat hanya dijadikan sebagai sarana untuk mengamankan posisi mereka. Bagi Kant hal yang seperti ini sesungguhnya tidak bermoral karena kita selalu menggunakan orang lain untuk menjadi sarana kepentingan pribadi kita, karena konsep etika yang dibangun oleh kant membutuhkan law and order, yakni suatu kebaikan itu harus berdasarkan aturan-aturan serta norma-norma sosial, karena dalam kancah kehidupan bermasyarakat secara beradab hanya akan terjadi apabila manusia itumemnuhi aturan: aturan allah, alam, negara serta aturan-aturan yang lain.[15]
Pada saat ini Indonesia telah dihadapkan pada pesta terbesar yakni pemilihan presiden, bagaimanakah nasib masyarakat kedepannya apakah para pejabat setelah mendapatkan suara serta aspirasi dari rakyat akan tetap loyal untuk rakyat ataukah berpaling setelah mereka mendapatkan posisi yang tertinggi. Apakah sesungguhnya masyarakat hanya menjadi korban serta batu loncatan semata, ataukah masyarakat hanya sekedar menjadi sarana kepentingan mereka, tanpa memikirkan visi-misi yang telah mereka usung atas nama rakyat. Dalam pandangan Kant hal seperti ini sesungguhnya sebuah perbuatan yang tidak bermoral karena kita selalu mengatasnamakan rakyat dan menggunakan rakyat menjadi sarana kepentingan pribadi.
      Untuk menjawab itu semua hendaknya kita harus kembali kepada nilai-nilai etika yang diajarkan oleh Kant, yakni sebuah etika kewajiban untuk melakukan hal-hal yang baik, tanpa ada sebuah tujuan tertentu, karena sebuah perbuatan baik yang dilakukan seseorang tanpa tujuan tertentu dan memang kebaikan itu dilakukan secara spontanitas itulah yang disebut oleh Kant sebagai konsep“deontologi”Namun pada saat yang sama hanya sedikit dari kita yang sadar bahwa sesungguhnya etika ini sangat penting sekali sebagai senjata kita untuk menghadapi tantangan global agar dunia ini penuh dengan kedamaian dan ketentraman, dan tidak ada lagi orang yang saling sikut sesama saudara, membunuh satu sama lain atas nama agama, ras, suku dan bahkan kepercayaan.[16]
Kewajiban untuk melakukan sesuatu yang baik akan menjadi dasar bagi tindakan moral dantindakan yang baik juga harus dilakukan tanpa terkecuali sebagai pijakan moral. Kadang-kadang kita beranggapan bahwa kesehatan, prestasi, kekayaan, maupun keberhasilan merupakan tindakan baik, akan tetapi bagi Kant hal ini hanya bersifat sementara saja, hanya baik secara terbatas, sehingga kemungkinan untuk berbuat jahat masih ada.
Dalam penilaiannya Kant sesuatu yang dikatakan baik apabila perbuatan itu memang baik tanpa ada sebuah pencapaian tujuan tertentu. Perbuatan yang baik dan bermoral yakni apabila seseorang melakukan sesuatu yang baik memang sebuah keharusandan itu dilakukan berdasarkan spontanitas (imperatif kategoris).
Dalam The Metaphysics of Moral (Metafisika Moralitas), Kant menghubungkan pendapat antara legalitas dan moralitas. Legalitas dalam pandangannya adalah sebagai kesesuaian atau ketidaksesuaian. Kesesuaian atau ketidaksesuaian ini yang ada dalam diri manusia belum bernilai moral, dikarenakan dorongan batin tidak menjadi objek atau tidak diperhatikan. Nilai moral itu ada apabila diperoleh dalam moralitas. Moralitas merupakan kesesuaian antara sifat dan perbuatan manusia dengan norma hukum batiniah manusia. Kant melihat moralitas sebagai kebaikan yang tertinggi, dan kebaikan yang tertinggi itu menjadi kebaikan yang sempurna. Kebaikan yang dimaksud Kant berbeda dengan kebaikan dalam  arti empiris, atau kebaikan yang bersifat sementara. Akan tetapi kebaikan yang tertinggi itu akan menciptkan kebahagiaan.[17]
Untuk mencapai kebahagiaan yang sejati tidaklah mudah seperti apa yang kita bayangkan, akan tetapi memerlukan pembiasaan untuk melakukan hal yang baik. dalam hal mencapai kebahagiaan yang sejati filsuf tersohor di dunia Aristoteles pernah mengatakan tentang kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati baginya adalah sesuatu yang dicari oleh setiap manusia dalam hidupnya tidak akan ada lagi yang akan dicari lagi oleh manusia selain kebahagiaan, akan tetapi selama itu belum dicapai oleh manusia maka manusia tidak akan pernah merasa puas dan tetap masih mencari, yang dicari oleh manusia itu sebenarnya adalah kebahagiaan, kalau orang sudah bahagia maka tidak akan ada lagi yang dicari selebihnya. Dan sebaliknya selama ia belum bahagia apapun yang diperoleh tidak akan membuatnya merasa puas. Kebahagiaan menurut Aristoteles apa-apa yang dicari oleh seseorang. Etika kebahagian ini disebut oleh Aristoteles dengan etika “eudaimonia”[18] yang berarti “bahagia”. Jadi bagaimana manusia harus hidup, Aristoteles menjawab bahwa manusia harus meletakkan kehidupannya sedemikian rupa sehingga ia menjadi semakin bahagia.          
Kebahagiaan merupakan tujuan akhir manusia, jadi aturan-aturan moralitas bukan sesuatu yang tidak dapat dimengerti. Jadi betapa pentingnya untuk menanamkan nilai-nilai moral dalam aspek kehidupan guna mencapai kebahagiaan yang sebenarnya. Dan kita hendaknya hidup secara bermoral karena itulah jalan kebahagiaan, tujuan moralitas adalah mengantarkan manusia ke tujuan akhirnya yakni kebahagiaan.[19] Oleh karena itu hendaknya kita selalu mempertimbangkan apa-apa yang hendak kita lakukan dan pentingnya pertimbangan secara rasioanal sebagai dasar moralitas, karena moralitas adalah keseluruhan peraturan tentang bagaimana manusia harus mengatur kehidupannya supaya menjadi orang baik.[20]
Dalam konteks etika, penulis mencoba menarik pendapat Paul Recoeur dalam Kaplan, dimana Recoeur memberikan tiga tesis dalam kaitannya dengan etika dan moralitas. Dimana etika merujuk pada tujuan teologis menjalani kehidupan yang baik, yang merupakan karakteristik dari tradisi Aristotelian, sementara moralitas merujuk pada kewajiban untuk menghormati norma-norma universal yang merupakan karakteristik dari tradisi deontological ethics[21] yang dianut oleh kantian: (1) keutamaan etika di atas moralitas, (2) keniscayaan bahwa tujuan etika harus di mediasi oleh norma moral, (3) moralitas jalan lain harus memasukkan etika untuk menyelesaikan pelbagai konflik dan apriori. Etika mencakup moralitas-tetapi sementara ia merupakan subordinat etika, moralitas merupakan sebuah momen yang penting dan deontologis berkaitan dengan aktualisasai etika.[22]
Diantara tradisi Kantian  dan Aristoteles. Recoeur mengusulkan untuk menegakkan “suatu hubungan yang meliputi subordinasi dan komplementaritas sekaligus”, yang pada ahirnya akan diperkuat oleh jalan lain terahir moralitas menuju etika. Jalan lain terahir menuju etika yang diperkaya oleh moralitas adalah bentuk kearifan praktis yang diarahkan menuju aplikasi yang tepat atas norma-norma universal dalam pelbagai situasi partikular. Kearifan praktis merupakan seni mediasi syarat partikular dari tujuan etis dan syarat universal dari norma moral yang diarahkan untuk bertindak secara tepat dan adil dengan tujuan mencapai kebahagiaan bersama orang lain dalam sebuah masyarakat yang baik dan adil.
Keterkaitan antara moral dan etika menjadi dasar suatu tindakan yang bersifat mutlak namun tetap memiliki patokan tertentu. Etika mencari tahu hukum tindakan atau prinsip moral dalam setiap perbuatan manusia dan moralitas menjadi suatu kesesuaian tindakan manusia  dengan norma batiniah. Etika dan moral mengarahkan manusia agar dapat bertindak demi kewajibannya semata-mata.[23]
Teori Kant tentang moralitas ini menyatakan potensi kemanusiaan untuk membatasi keterbatasan kita. Bagi Kant, ada perbedaan jelas yang bisa di tarik antara penalaran teoretis murni dan penalaran praktis murni. Penalaran teoretis kita terbatas dan terkondisi: kita tidak bisa tahu hal-hal dalam cara mediasi dalam cara yang mungkin seperti caranya malaikat. Secara moral, kita  juga terbatas: kita sering di dorong oleh nafsu dan keinginan hewani dari pada di dorong oleh pertimbangan moral. Namun demikian, dalam kasus moralitas menurut Kant, kita masih mampu mengetahui apa yang  benar. Ada cara-cara dimana kita dapat mengerjakan apa yang menjadi tugas kita, melalui prinsip-prinsip penguniversalan dimana kita merencanakan untuk bertindak dan mempertimbangkan implikasi dari prinsip-prinsip tersebut untuk menjadi hukum universal yang disebut “categorical imperative” atau berlaku mendesak secara kategoris.[24]
Namun demikian, untuk bertindak secara moral bukan sekedar melakukan hal yang benar, tetapi untuk melakukan hal yang benar demi melakukan hal yang benar itu sendiri bukan melakukan itu demi hal itu cocok dengan kita atau tidak. Bagi Kant, memberi uang pada pengemis karena kasihan padanya adalah bukan tindakan moral, yang bisa  di sebut tindakan moral adalah memberi uang pada pengemis dikarenakan amal baik dan bisa di universalkan sebagai hal yang baik. Jadi, kapasitas moral yang sama-sama dimiliki manusia ini, menurut Kant, adalah yang membedakan kita dengan binatang dan membuat kita  secara khusus layak di hormati.[25]
Mungkin, implikasi paling terkenal yang bisa di tarik Kant dari analisisnya tentang kapasitas moral kita untuk mengetahui dan menjalankan hukum moral adalah argumennya bahwa manusia tidak boleh di perlakukan sebagai sarana tujuan-tujuan tertentu. Prinsip ini menjadi salah satu inspirasi bagi ide Hak Asasi Manusia secara universal yang sangat berpengaruh pada abad ke-20. Teori moral Kant juga terus menjadi acuan yang sangat penting bagi teori selanjutnya dan bagi etika internasional kontemporer. Bagi beberapa pihak, pandangannya tentang moralitas menangkap inti rasional dan universal tentang penalaran moral, yang kemudian dapat memberi tolak ukur bagi kritik moral yang beroperasi melintasi batas-batas budaya dan kekuasaan. Bagi pihak lain, teori moral Kant tidak mampu mempertahankan klaimnya terhadap universalitas, terlalu abstrak dan rasionalistik, dan karena itu tidak peka terhadap kekhasan pengalaman dan tradisi etis yang berbeda. Dalam hal hukum moralitas yang universal yang diperdebatkan seperti dikutip berikut ini:
According to Kant deontology, the ultimate principle of morality must be a moral law conceived so abstractly that it is capable of guiding us to the right action in application to every possible set of circumstances. So the only relevant feature of the moral law is its generality, the fact that it has the formal property of universalizability, by virtue of which it can be applied at all times to every moral agent. From this chain of reasoning about our ordinary moral concepts, Kant derived as a preliminary statement of moral obligation the notion that right actions are those that practical reason would will as universal law.[26]

Berdasarkan deontoliginya Kant, dia mengatakan bahwa moralitas harus dijadikan sebagaikewajiban, prinsip dan jugasebagai hukum.Dalam konsepsi moralitas yang abstrak itu sesungguhnya mampu membimbing kita kepada tindakan yang tepat dalamkeadaan apapun. Jadi satu-satunya bagian yang sesuai dari hukummoral itu adalah keumumannya, faktanyamoral memiliki sifat formal dari keuniversalannya yang dapat diterapkan pada setiap saat bagi pelaku moral. Dari keseluruhan nalar kita tentang konsep moral, Kant memberikan pernyataan tentang kewajiban moral itu sendiri, kewajiban moral itu dalam gagasannya adalah setiap tindakan yang tepat adalah mereka yang melakukan tindakan bermoral secara praktis atas kemauannya tanpa tujuan tertentu itulah yang disebut dengan hukum universal.
            Meskipun hukum keuniversalan tentang moralitas dipermasalahkan akan tetapi paling tidak berfungsi secara praktis seperti dikutip berikut ini:
Reason is transcendent for theoretical philosophy, that is, it is a concept such that no instance corresponding to it can be given in any possible experience, and of an object of which we cannot obtain any theoretical knowledge: The concept of freedom cannot hold as a constitutive but solely as a regulative and, indeed, merely negative principle of speculative reason. But in reason's practical use the concept of freedom proves its reality by practical principles, which are laws of a causality of pure reason for determining choice independently of any empirical conditions (of sensibility generally) and prove a pure will in us, in which moral concepts and laws have their source. On this concept of freedom, which is positive (from a practical point of view), are based unconditional practical laws, which are called moral. For us, whose choice is sensibly affected and so does not of itself.[27]
Alasan transenden dalam filsafat teoritis adalah tentang sebuah konsep pengalaman dan mungkin tidak ada contoh yang sesuai dengan itu. Dimana konsep pengalaman dari obyek yang kita tidak dapat memperolehnya dalam pengetahuan secara teoritis: Konsep kebebasan tidak hanya semata-mata sebagai konstitutif akan tetapi sebagai alasan yang regulatif dan memang itu hanya alasan prinsip yang negatif bukan alasan spekulatif. Akan tetapi alasan penggunaan konsep kebebasan secara praktis ini membuktikan realitasnya pada prinsip-prinsip yang praktis, dimana itu semua merupakan hukum kausalitas atau alasan secara alami dalam menentukan pilihan secara independen dari kondisi-kondisi empiris atau kepekaan umum yang membuktikan kemauan secara alami dalam diri kita, dimana konsep moral dan hukum itu sesungguhnya memiliki sumber tersendiri. Pada konsep kebebasan yang positif ini sebenarnya harus dilihat dari sudut pandang dan harus didasarkan pada hukum yang praktis tanpa syarat apapun dan itulah yang disebut dengan moral. Jadi pada dasarnya sebuah pilihan yang bijaksana itu tidak terkontaminasi oleh keinginan atau tujuan apapun, akan tetapi berjalan dengan alasan yang murni atau berjalan dengan sendirinya.
E. Perbedaan Antara Imperatif Hipotetis dan Imperatif Kategoris
            Dalam konteks ini penulis ingin mencoba menjabarkan apa yang menjadi permasalahan dalam moralitas kita, dan apa yang harus kita lakukan. Kant dalam menjabarkan mengenai moralitas yakni skadang-kadang kita agak sulit membedakan antara imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Oleh karena penulis mencoba menjabarkan perbedaan diantara keduanya sebagai landasan kita dalam hidup berdemokrasi.
1. Imperatif Hipotetis
            Imperatif Hipotetis adalah perintah bersyarat yang mengatakan suatu tindakan diperlukan sebagai sarana atau syarat untuk mencapai sesuatu yang yang diinginkan. Prinsip-prinsip dari imperatif-hipotetis hanya menyaratkan adanya tujuan-tujuan tertentu yang mau dicapai saja sehingga melakukan hal yang baik. Contohnya: jika para pejabat ingin menduduki posisi tertinggi, maka harus berani blusukan dan menyuarakan kepentingan-kepentingan rakyat. Perintah dalam imperatif hipotetis memang memberikan suatu perbuatan yang baik dalam arti tertentu seperti “menduduki posisi tertinggi” sebab ada syarat untuk meraih suatu tujuan.[28]
Sebuah imperatif memberitahu kita tindakan-tindakan mana yang baik, dan di lain pihak imperatif yang sama juga merumuskan suatu kaidah praktis bagi kehendak kita. Dengan adanya imperatif, kita bisa tahu tindakan yang diambil adalah baik tetapi dalam arti tertentu, yang perlu diperhatikan adalah kita tidak harus mengambil tindakan tersebut atau bahkan kita dapat menolak kaidah budi praktis tersebut. Imperatif hipotetis hanya menyatakan bahwa suatu tindakan itu baik bagi suatu tujuan yang mungkin diinginkan atau tujuan yang nyatanya diinginkan. Dalam artian kita melakukan hal yang baik karena ada tujuan tertentu saja untuk kepentingan kita.
a). Imperatif hipotetis problematis 
                 kadang-kadang imperatif hipotetis bersifat problematik jika tujuan yang hendak dicapai adalah apa yang mungkin diinginkan. Sedangkan imperatif hipotetis bersifat pragmatis bila tujuan yang hendak dicapai adalah jelas atau nyata diinginkan. Segala sesuatu yang dapat dicapai oleh usaha manusia berbudi adalah sebuah tujuan yang bisa saja dikehendaki oleh dirinya sendiri.             Sebagai akibat dari semuanya itu adalah adanya banyak prinsip tindakan yang jumlahnya tidak terhingga tetapi sejauh tindakan tersebut dimengerti sebagai suatu yang mutlak perlu untuk meraih tujuan tertentu. Semuanya itu terdapat pada ilmu pengetahuan alam dan sering disebut imperatif–imperatif kecakapan. Didalamnya tidak ada permasalahan mengenai rasionalitas atau kebaikan dari tujuan tersebut.
                 Realitas ini menunjukkan bahwa banyaknya tujuan yang diinginkan oleh kebanyakan orang dan banyaknya sarana-sarana yang dipakai dan diperlukan seringkali bertentangan satu sama lain. Kant berpendapat bahwa apabila tujuan yang ingin dicapai adalah apa yang mungkin diinginkan orang, maka imperatif hipotetisnya bersifat problematik.
            Sebagai gambaran secara umum,mungkin kita semua masih ingat ketika masih anak-anak dulu, kita tidak tahu apa yang menjadi tujuan hidup kita kedepannya. Akan tetapi orangtualah yang membantu membekali kita dengan kemampuan menggunakan sarana-sarana yang ada demi meraih sesuatu yang mungkin kita inginkan. Tetapi sebenarnya mereka juga tidak tahu dengan pasti apa yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dalam hidup anaknya kelak.   Orangtua mendidik anak-anaknya dengan berpikir bahwa selama apa yang ingin dicapai adalah apa yang mungkin anak mereka inginkan. Maka orangtua perlu memberikan kecakapan-kecakapan dalam memakai berbagai hal yang mungkin akan mereka capai sebagai tujuanya. Akibatnya masing-masing orang tua bisa memiliki sesuatu dan tujuan untuk mencapai apa yang mereka inginkan yang pastinya berbeda-beda atau bahkan dapat saling bertentangan satu sama lain.
            Ada satu tujuan yang berbeda yang mungkin dinginkan dan pada kenyataannya sudah  tentu dinginkan oleh setiap orang. Tujuan yang diinginkan tersebut adalah kebahagiaan. Maksud dari kebahagiaan ini menurut Kant adalah terpuaskannya semua keinginan dan kecenderungan manusia yang tetap dibidang empiris seperti: kekayaan, kehormatan, kekuasaan, kesejahteraan, kesehatan, dll.          Kebahagiaan sebagai tujuan, menurut Kant tidak hanyasesuatu yang bisa dimiliki manusia, melainkan juga dapat dipastikan sebagai suatu yang diidamkan manusia berdasarkan keharusan kodratnya.[29]
b). Imperatif hipotetis asertoris
                          Imperatif hipotetis asertoris merupakan sebuah tindakan yang menegaskan keharusan praktis suatu tindakan sebagai sarana untuk menggapai suatu tujuan. Imperatif hipotetis asertoris memerintahkan orang untuk mencapai tujuan yang hendak dicapainya, misalnya: “kebahagiaan” imperatif tersebut akan mengatakan misalnya; setiap orang memang menghendaki kebahagiaan karena keharusan kodrat, sehingga kita wajib dan perlu melakukan banyak cara untuk dapat mencapainya. Sudah barang tentu kita memerlukan tindakan-tindakan tertentu sebagai sarana untuk dapat mewujudkannya, contohnya: Apabila kita ingin sukses dalam hidup maka berusahalah dengan sungguh-sunguh dan jangan mudah menyerah apabila menghadapi permasalahan.
                        Jadi kebahagiaan bukanlah suatu tujuan yang dapat diletakkan di hadapan kita atau dikesampingkan dengan sesuka hati, seperti seseorang memilih atau tidak memilih suatu barang kesukaannya. Karena dalam imperatif hipotetis asertoris keharusan tindakan yang diperintahkan secara spontan, mungkin kitabisa kenyataanya setiap orang menghendaki kebahagiaan. Imperatif hipotetis asertoris menekankan bahwa semua orang memang benar-benar menghendaki yang namanya kebahagiaan dan pastinya kita wajib melakukan tindakan tertentu guna mencapai semuanya itu.
     Imperatif hipotetis asertoris tidak hanya menunjukkan sarana-sarana yang perlu untuk mencapai apa yang diinginkan, melainkan juga sarana-sarana untuk mencapai tujuan yang dapat kita andaikan a priori yang mutlak perlu dan dapat dipastikan ada pada diri setiap orang berdasarkan keharusan kodratnya, kemampuan orang untuk memilih sarana-sarana yang tepat demi mencapai kebahagiaan ini dinamai oleh Kant sebagai wisdom (kebijaksanaan).[30]
Jadi sebuah perintah yang berhubungan dengan pemilihan sarana-sarana untuk mencapai kebahagiaan tersebut menurut Kant disebut sebagai petunjuk-petunjuk kebijaksanaan yang tetap bersifat hipotetis. Dalam imperatif hipotetis asertoris, suatu perbuatan atau tindakan diperintahkan tidak secara mutlak, melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih lanjut. Hingga pada akhirnya menurut Kant ada imperatif yang memerintahkan suatu tindakan dilakukan begitu saja dan terlepas dari tujuan yang hendak dicapai dan imperatif  ini bersifat kategoris.
2.   imperatif kategoris
            Manusia dalam dinamika hidupnya sebenarnya senantiasa dipengaruhi oleh berbagai bentuk pemikiran dan pemahamannya masing-masing. Dapat juga dikatakan bahwa citra diri dan eksistensinya merupakan wujud dari perkembangan budi dan rasionalnya. Dalam konteks ini kant beranggapan imperatif kategoris mengikat para pelaku rasional, semata-mata karena mereka makhluk rasional dengan kata lain seseorang yang tidak menerima prinsip ini dinyatakan bersalah bukan hanya tidak bermoral melainkan karena irrasioanal. Hal ini mencengangkan kita bahwa ada dorongan baik rasional maupun moral atas apa yang boleh dipercayai dan dilakukan oleh orang yang baik. Tetapi apakah sesungguhnya ini, dalam hal apa kita harus menolak imperatif kategoris akan berarti rsional
            Gagasan pokok adalah seperti ini, suatu keputusan moral harus didukung oleh alasan-alasan yang baik jikalau benar bahwa anda harus atau tidak boleh melakukan sesuatu tindakan, maka harus ada alasan mengapa anda harus melakukan atau tidak bolehmelakukan itu. Misalnya kita berpikir bahwa kita tidak boleh membakar hutan karena hal itu akanmerusak harta orang dan orang-oang akan terbunuh.[31]
            Jebakan Kant terletakpada kenyataan, “jikalau kita bisa mengartikan hal-hal itu sebagai alasan untuk satu kasus, kita juga harus menerimanya sebagai alasan-alasan dalam kasus lain”. Jikalau ada kasus lain dimana harta rusak orang-orang tebunuh apakah kita harus menerima hal itu sebagai alsan untuk tindakan dalamkasus itu juga. Tidak baik mengatakan bahwa kita menerima alsan-alasan itu pada suatu saat, tetapi tidak untuk seterusnya; atau orang lain harus menghormatinya serta menerimanya tetapi kita tidak harus. Alasan moralnya jika benar karena mengikat semua orang pada setiap waktu. Inilah tuntutan untuk konsistensi, dan Kant benar ketika beranggapan bahwa tak ada seorangpun yang rasional dapat menyangkalnya.[32]
            Dalam imperatif kategoris ini ada kewajiban yang menentukan sikap dan perilaku setiap manusia. Kewajiban itu sendiri menurut Kant adalah paham a priori akal budi praktis murni, maka kewajiban itu tidak bersandar dari suatu realitas empiris. Maka Kant menyajikan dua kriteria untuk mengetahui kewajiban itu. Kriteria itu tidak hanya sekedar perintah, lebih jauh lagi Kant menyebutnya dalam Imperatif. Inti dari imperatif kategoris ini adalah bertindaklah secara moral/maksim. Ada dua segi yang perlu dalam imperatif kategoris ini. Pertama, bahwa dia berupa perintah, dan kedua, bahwa perintah itu kategoris.[33]
            Dalam konteks negara demokrasi sesungguhnya para pejabat harus memperhatikan apa yang disebut dengan Imperatif kategoris oleh Kant agar kita lebih bermoral. Bukan hanya sekedar mengusung nama rakyat, aspirasi rakyat untuk kepentingan pribadi semata, sehingga rakyat hanya sebagai sarana serta kambing hitam dalam mencapai tujuan saja. Akan tetapi kita harus memperhatikan imperatif kategoris ini sebuah landasan dalam bertindak karena imperatif kategorisini adalah keharusan yang tidak bersyarat, melainkan mutlak. Imperatif ini memerintahkan sesuatu bukan untuk mencapai tujuan tertentu, melainkan karena perintah itu baik pada dirinya. Jelas bahwa bertindak secara moral tidak tergantung pada berbagai maksud baik atau tujuan atau kondisi, melainkan berlaku kapan dan di mana saja dalam situasi apapun. Bertindak secara moral dirumuskan oleh Immanuel Kant sebagai berikut, “Bertindaklah semata-mata menurut prinsip (maksim)[34] yang dapat sekaligus dan dikehendaki menjadi hukum umum”. Maksim itu menjadi dasar penilaian moral terhadap orang lain. Etika yang mendasarkan pada maksim lebih tepat dibandingkan etika peraturan atau norma.[35]

F. Kesimpulan
            Dari ulasan mengenai etika di atas penulis mencoba menarik kesimpulan dari intisari ajaran etika Immanuel Kant. Ajaran Kant tentang etika sungguh-sungguh terdiri dari etika yang sangat murni. Dalam prinsip akal budi praktis yang murni terdiri dari prinsip-prinsip praktis dalam arti proposisi-proposisi yang berisi ketentuan umum kehendak, yang memiliki beberapa aturan secara praktis. Prinsip-prinsip itu bersifat subjektif, atau merupakan maksim-maksim, jika kondisi ini dianggap oleh subjek sebagai suatu yang benar hanya bagi kehendaknya sendiri akan tetapi prinsip-prinsip itu bersifat objektif, atau merupakan hukum praktis, ketika kondisi tersebut oleh subjek diketahui objektif, yakni sahih untuk kehendak setiap makhluk yang rasional.
            Dari ajaran Kant tentang etika juga terdapat pembagian yakni. Pertama, bagi Kant etika menjadi kewajiban mendasar dalam tindakan moral dan moralitas. Dan terlebih lagi dalam konteks negara demokrasi harus selalu mempertimbangkan nilai-nilai moralitas, karena etika  merupakan kesesuaian antara sifat dan perbuatan manusia dengan norma hukum batiniah manusia. Kedua, kewajiban yang menjadi dasar tindakan moral memiliki dua Kriteria yang disebut dengan imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Imperatif hipotetis merupakan perintah bersyarat, artinya suatu tindakan diperlukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Sedangkan imperatif kategoris adalah keharusan yang tidak bersyarat kita melakukan hal baik karena secara spontanitas.
Untuk kita semua, mungkin selama ini kita sering menonton fenomena serta aplikasi demokrasi di negara ini, dimana demokrasi itu lebih cenderung kepada imperatif hipotetis, yakni bertindak untuk mendapatkan sesuatu yang hendak dicapai tanpa memperhatikan nilai moral yang terkandung didalamnya. Dan cenderung bertindak hanya mementingkan urusan pribadi semata dan bahkan kita selalu membuat orang lain menjadi sarana demi kepentingan kita, dan dalam konteks negara demokrasi disini bahwa masyarakat sebagai korban dan sarana semata, bukan bertindak hanya demi kepentingan pribadi dan memanfaatkan orang lain menjadi sarana kepentingan kita. Oleh karena itu mulai saat ini hendaknya kita selalu memperhatikan nilai-nilai moral serta etika kewajiban deontologi sebelum bertindak, dan untuk menjawab itu semua Immanuel Kant telah merekomendasikan kepada kita mengenai kewajiban-kewajiban dan menyeru kita untuk bertindak berdasarkan kewajiban mutlak dalam diri kita masing-masing dan tentunya demi bangsa yang kita cintai.




























DAFTAR PUSTAKA

Awaludinblogspot.com diakses 23 Maret 2013.
Barcalow, Emmet, Moral Philosophy Theories And Issues, United States Of           America: Wadsworth Publishing Company, 1998.
Blacburn, Simon, Kamus Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Kant, Immanuel, The Metaphysics Of Moral, United States Of America:     Cambridge University Press, 1991.
----------------------, Critique Of Pure Reason, The Liberal Arts Press New York,       1956.
Kaplan, M., David, Recoeur’s Critical Theory, terj. Ruslani Yogyakarta: Pustaka   Utama Yogyakarta 2010.
Rachels James,The Elements Of Moral Phylosophy, terj. A. Sudiarja,           Yogyakarta:    Kanisius, 2004.
Suharyo, I.,Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Suseno, Magnis, Franz, Menjadi Manusia Belajar Dari Aristoteles, Yogyakarta:      Kanisius, 2009.
--------------------, 13 Tokoh EtikaSejak Jaman Yunani Sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Tjahjadi, Lili,S.P., Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan          Imperatif Kategoris, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
--------------------, Petualangan Intelektual, Yogyakarta, Kanisius 2004.










                [1]Mahasiswa Program Pascasarjana, Jurusan Filsafat Islam (Universitas Islam Negeri  Sunan Kalijaga Yogyakarta).
[2]James Rachels, The Elements Of Moral Phylosophy, Terj. A. Sudiarja, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 17.
[3]Emmet Barcalow, Moral Philosophy Theories And Issues, (United States Of America: Wadsworth Publishing Company, 1998), hlm. 1.
[4]James Rachels, The Elements Of Moral..., hlm. 42.
[5]S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif Kategoris, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 25.
[6]Pietism(pietisme) adalah gerakan devosi di gereja lutheran; secara luas pietisme adalah sikap apapun terhadap agama yang menekankan kesalehan dan iman lebih tinggi daripada pembuktian dan rasio. Baca Simon Blacburn, Kamus Filsafat. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 663. Pietisme adalah gerakan kebangkitan dalam Protestantisme yang dirintis oleh Philipp Jakob Spener (1635-1705) yang menekankan doa, pembacaan Kitab Suci, pengalaman religius, dan kehidupan Kristiani yang yang sungguh-sungguh dalam komunitas-komunitas kecil. Gerakan ini muncul sebagi reaksi untuk melawan ortodoksi formal Gerejawi resmi yang amat kuat. Pietisme juga mendorong munculnya metodisme dan mempunyai pengaruh pada ahli-ahli teologi. I. Suharyo,Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 256.
[7]Immanuel Kant, Critique Of Pure Reason, (The Liberal Arts Press New York, 1956), hlm. xxxi-xxxii.
[8]S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika...,hlm. 25.
[9]Enlightenmentmerupakan periode pemikirna Eropa yang dicirikan oleh penekanan terhadap pengalaman dan rasio, tidak mempercayai agama dan otoritas tradisional, dan terjadi kemunculan bertahap ideal-ideal tentang masyarakat yang liberal, sekuler dan demokratis. Di Inggris, gerakan ini dimulai pada abad ke-17 lewat tulisan tulisan Francis Bacon dan Hobbes. Sedangkan di perancis lebih pada penekanan baru terhadap rasio dan di tandai oleh Descrates. Sedangkan di Jerman ditandai dengan filsafat kritis Kant. Simon Blackburn, Kamus ..., hlm. 280.
[10]Ibid., 732.
[11]Immanuel Kant, Critique Of Pure...,hlm. 29.
                [12] Demokrasi yang dimaksud disini adalah pemerintahan dipegang oleh rakyat secara lansung, demokrasi dalampemikiran Yunani kuno yang lahir di Athena merupakan pemerintahan oleh warga langsung. Dalam masyarakat modern kedaulatan di tangan rakyat secara umum baik laki-laki maupun perempuan yang di ekspresikan secara lansung lewat pemilu dengan syarat-syarat tertentu.  Silahkan lihat Simon Blacburn, Kamus..., hlm.226.
                [13] Emmet Barcalow, Moral Philosophy Theories..., hlm. 48.
                [14] Penyampaian Kuliah “Filsafat Etika Dan Moral”padaProgram Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 27 Oktober 2014, oleh. Dr. Haryatmoko, M. A.
[15] I bambang sugiharto, wajah baru etika dan agama, (yogyakarta: kanisius, 2000), hlm. 34.
[16]James Rachels, The Elements Of Moral..., hlm. 230.
                [17]S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral …, hlm. 46.
                [18]Eudaimoniaberasal dari bahasa yunani yang berarti kebahagiaan, rasa kesejahteraan, keberhasilan, etika eudaimonia ini adalah tujuan sentral semua sistem etika kuno. Menurut Aristoteles ini adalah hal yang paling baik termulia danpaling menyenangkan di dunia.Eudaimonia ini diartikan sebagai etika atau konsep  kebahagian atau rasa kesejahteraan namun kata ini memiliki konotasi yang sama dengankeberhasilan karena sebagai tambahan untuk menjalani hidup dengan baik ia juga harus mengandung tindakan yang baik. Simon Blackburn, Kamus ..., hlm. 295.
                [19]Franz Magnis Suseno, Menjadi Manusia Belajar Dari Aristoteles, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 3-4.
                [20]Ibid., hlm. 9.
[21]Deontological Ethics (Etika Deontologis) merupakan etika yang berdasarkan konsep tentang kewajiban, atau apa yang benar, hak-hak, lawan dari sistem etika yang berdasarkan ide dasar meraih sejumlah kondisi hubungan baikatau kualitas-kualitas karakter yang dibutuhkan untuk hidup dengan baik. Sistem deontologis ini disuarkaan oleh Kant. Lihat Simon Blackburn, Kamus ..., hlm. 230.
[22]David M. Kaplan, Recoeur’s Critical Theory, terj. Ruslani, (Yogyakarta: Pustaka Utama Yogyakarta 2010), hlm. 154.
[23]S.P. Lili. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta, Kanisius 2004), hlm. 287.
[24]David M. Kaplan, Recoeur’s Critical...,hlm 155.
[25]Awaludinblogspot.com diakses 23 Maret 2013.
[27]Immanuel Kant, The Metaphysics Of Moral, (United States Of America: Cambridge University Press, 1991), hlm. 48.
[28]S.P. Lili. Tjhajadi, Petualangan …, hlm. 289.
[29]Ibid.
[30]Ibid.
[31]James Rachels, The Elements Of Moral..., hlm. 231.
[32]Ibid., hlm. 232.
[33]Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh EtikaSejak Jaman Yunani Sampai Abad ke-19(Yogyakarta: Kanisius, 1997),  hlm. 145
[34]Maxim adalah perintah subjektif dalam bertindak, sikap dasar hati orang dalam mengambil sikap-sikap dan tindakan-tindakan yang konkret. Maksim bukan segala macam pertimbangan. Maksim adalah sikap-sikap dasar yang memberikan arah bersama kepada sejumlah maksud dan tindakan konkret. Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika..., hlm. 147.
Maxim umumnya aturan atau panduan sederhana dan mudah diingat untuk menjalani hidup: seperti contoh: mustahil pengutang bisa memberi pinjaman. Sedangkan Tennyson membicarakan tentang maksim yakni sekumpulan maksim yang dikhotbahkan langsung ke hati anak perempuan sehingga maksim diasosiakan dengan pendekatan pepatah bagi moralitas. Dalam penggunaan Kant setiap tindakan muncul sesuai dengan maksim atau prinsip subjektif yang bersesuaian sehingga tindakan itu-pun dilakukan. Bentuk pertamanya adalah imperatif kategoris yang menegaskan bahwa kita hanya bisa memberi tahu apakah sebuah tindakan sudah benar dengan melihat apakah maksimnya dapat diniatkan secara konsisten untuk menjadi hukum universal. Sedangkan dalam Maximin Principle (prinsip maksim) yang kemukakan oleh John Rawls mengatakan prinsip maksim adalah teori keputusan yang menyatakan bahwa minimal dalam sejumlah situasi keputusan yang benar adalah yang sanggup memaksimalkan hasil minimum dari situlah istilah ini berasal, maksimalisasi yang minimum yaitumebuat hasil yang terburuk menjadi sebaik mungkin, pendapat ini sering di deskripsikan sebagai pembalikan resiko. Prinsip ini merupakan komponen kunci dalam karya John Rawls yang sangat berpengaruh yakni A Thery Of Justice. Simon Blacburn, Kamus..., hlm. 541-532.
[35]Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh EtikaSejak Jaman Yunani Sampai ..., 146.

- Copyright © FILSAFAT - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -