TURKISH MUSLIMS AND ISLAMIC TURKEY: on perspectives Fethullah Gulen’s movement for finding a European Islamic identity
By : Unknown
MUSLIM
TURKI DAN ISLAM TURKI: dalam perspektif gerakan Fethullah Gulen untuk menemukan
identitas Islam di Eropa
TURKISH
MUSLIMS AND ISLAMIC TURKEY: on perspectives Fethullah Gulen’s movement for finding a European Islamic identity
Oleh: Ishak Hariyanto[1]
Email. ishakharianto@yahoo.co.id
Abstract
This paper talk about Turkish Muslims and Islamic
Turkey: perspectives for a new European Islamic identity. There are significant
refrences for the development of society when humans first found fire, then the
wheel and most recently the silicon or microchip with wich humanity has
revolutionized its thought and behaviour, progress and creativity. However the
societies has a negative historical data bring back the horros of just the last
century. Fethullah Gulen’s concept to redeem all the problem Turkish muslim and
Islam Turkey, he was mentioned social formation of community and society based
on dialogue and tolerance, self-scrifice and altruism, avoidance of political
and ideological conflict, taking action in a positive and harmonious way and
taking responsibility has had a formidable influence on individuals and groups. Gulen also has evoked a thought
changing movement both within Turkey and several other part of the world and
has potential to redefine what it means rationally to be Islamic and European
at the same time.
Keywords: Turkish Muslim, European
Islamic Identity, Gulen’s Social Formula.
A. Pendahuluan
Negara
Turki sekarang merupakan negara yang berbeda di dua benua; Eropa dan Asia,
dengan luas 780.580 km2 dan 95%-nya berada di Asia, sejak tahun 1932 M,
batas-batas negara Turki sebelah utara sampai Laut Hitam, sebelah selatan
sampai Syiria dan Laut Tengah, sebelah Barat Laut Aegea dan Iran serta Rusia di
sebelah Timur. Ibukota pemerintahan bernama Ankara. Sebelum runtuhnya sistem
kesultanan Utsmaniyah, geopolitik Turki mencakup dan meliputi area wilayah yang
sangat luas. Sejak munculnya imperealisme Eropa seluruh wilayah Turki yang
meliputi kawasan-kawasan Afrika Utara, Asia Barat termasuk sebagian Eropa Timur
sedikit demi sedikit mulai dilepaskan. Kekuatan Eropa terutama Inggris dan
Prancis, memaksa bagian-bagian kawasan Arab untuk dilepaskan oleh Turki. Ketika
kemudian menjadi negara republik Turki, batas-batas wilayahnya hanya bagian
kecil dari Eropa dan Asia, seperti disebutkan diatas. (Tohir, 2011: 231)
Pada
saat ini Eropa secara area geografiknya adalah bagian dari samudara Atlantik di
Barat, pegunungna Ural di Timur, kemudian laut Hitam. Lautan Hellespont dan
Aegean di bagian tenggara dari samudra Arctic
di utara dan lautan Mediterranean
di selatan, perbatasan Eropa dan timur ini terus berlanjut dan memicu
terjadinya perbedaan antara Barat dan Timur. Melihat sejarah lampau selama
beberapa abad dimana sungai Don telah mengingatkan pada konsepsi pembatasan
antara apa yang disebut dengan Barat—Timur itu terjadi sejak abad ke-18 ketika
itu telah ada desakan-desakan untuk balik ke pegunungan Ural. (Yilmaz, 2012: 36).
Akan tetapi, bagaimanapun tidak ada
alasan secara spesifik mengapa terjadinya pembatasan antara Timur dan Barat
ini, dan seolah-olah pembedaan ini semakin memperkuat tesis Samuel Huntington
“The Clash Of Civilization”. Lalu apakah pembatasan antara Timur-Barat ini
hanya terletak pada geopolitik semata, ataukah sosio-kultural. Akan tetapi
terjadinya perdebatan antara Timur dan Barat ini berlanjut pada perdebatan yang
berorientasi pada permasalahan politik, idiologi negara dan bahkan mereka saling mencari identitas masing-masing
baik yang bersifat sosio-politik, agama dan budaya yang begitu dinamis dan
kompleks. Dalam tulisan yang singkat ini penulis akan membahas penelitian yang
dilakukan oleh Shanthikumar Hettiarachchi[2]
dalam buku European Muslims,
Civility and Public Life Perspectives On and From the Gulen Movement. (Yilmaz, 2012:
37), dan kaitannya
dengan konteks keberagamaan kontemporer.
B. Muslim Turki dan Modernitas
Perjalanan Muslim di Turki memiliki sejarah yang
sangat panjang, Istanbul Turkey telah berkembang menjadi sebuah kota di Eropa,
dimana konsep sekuler telah
mempengaruhi kota metropolitan ini dengan sangat jelas. Istanbul sebagai negara
Islam terdapat ratusan menara sebagai pemandangan yang sangat indah, dan
pemandangan yang sangat indah ini tentunya sebagai negara yang bercampur dengan
kehidupan negara-negara Eropa lainnya, (Yilmaz, 2012: 38).
Pergumulan Turki dengan modernitas ini
tentunya cukup menarik untuk dikaji, akan tetapi tidak hanya Istanbul saja yang
bergumul dengan modernitas, tapi kota-kota kecil seperti Konya, Izmir, Kayseri
dan Ephesus di Cappadocia juga turut ambil tempat dalam pergumulan modernitas.
Turki saat ini sebagai simbol negara yang mayoritasnya Muslim dan Turki juga
sebagai fakta bahwa adanya pergumulan dan kontak sosial masyarakat dari
Istanbul ke Ephesus, dan tidak hanya itu, pergumulan dengan umat kristiani
disana juga sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat Turki, dimana dalam
sejarahnya bahwa masyarakat Konya melakukan pemujaan-pemujaan terhadap makam
Mevlana Rumi, dimana hal ini juga sangat mirip sekali seperti apa yang terjadi
pada monumen atau patung Rumi di jantung kota Izmir, akan tetapi Konya dan
Izmir sekarang telah berubah menjadi tempat bertemunya negara sekuler yang
modern. Konya dan Izmir adalah tempat pertemuan negara sekuler modern, seperti
perjalanan demokrasi, kepemerintahan serta institusi kemiliteran, dan
pergumulan ini adalah bagian dari tanda kemunculan arsitektur politik di Turki.
Pergumulan secara internal ini jelas
bahwa masyarakat Turki menempatkan norma-norma politik dan norma agama.
Pergumulan ini sesunggguhnya murni sebagai faktor sosial, seperti halnya
masyarakat secara natural dalam bertindak dan bereaksi setelah beberapa tahun
mendapatkan kekangan dari otoritas-otoritas tertentu, dan hegemoni sehingga
termanifestasi terhadap lemahnya hubungan diantara komunitas-komunitas
masyarakat. Dalam pandangan Gulen meskipun Turki adalah negara yang mayoritas
Muslim, akan tetapi kelihatannya sangat homogen sekali, dimana hal ini tampak
dari sikap, watak serta tingkahlakunya dan ini semua mengindikasikan bahwa
mereka tidak menghiraukan adanya bentuk perubahan dan tantangan hidup, dimana
hal ini terlihat bahwa masyarakat Turki mengadopsi salah satu pemikiran apologetics,[3]
yang menegaskan semua pergumulan itu terjadi diluar kontrol mereka, (Blackburn,
2003: 47).
Meskipun mereka telah bergumul dengan
kemoderenan akan tetapi tidak mampu menunjukkan identitas yang jelas dalam
sebuah peradaban mereka di tengah dunia Eropa saat ini. Dalam menunjukkan
identitas Muslim di Eropa bagi Gulen harus mengembangkan sikap yang lebih
progress, individu dan masyarakat harus konsisten dan mampu menunjukkan jati
dirinya dalam sebuah peradaban. Lebih jauh lagi Gulen mengatakan bahwa masa
depan Eropa—Muslim Turki dan muslim yang lainnya harus mampu menciptakan sebuah
perbedaan serta peradaban yang aktual dan jauh memberikan kontribusi yang lebih
bermanfaat kepada umat Islam.
Dimana konsep teologi umat Islam yang
fundamental itu harus lebih bernuansa mengedepankan etika religius, harus lebih fleksibel dan terbuka pada ilmu pengetahuan,
teknologi, filsafat, sosial, politik, budaya, kesenian, kesejahtraan keluarga
dan masyarakat dan juga keilmuan-keilmuan yang lain. Bagi Gulen, Islam di Eropa
pada saat ini harus brilian dan harus memukau mata dunia, agar mampu mengajak
dan menetralkan Islam yang berwajah ekstrim, seperti Islam yang kekurangan
figur pemikiran, serta memiliki interpretasi yang tidak jelas terhadap
Islam—sehingga dapat merusak citra Islam, seperti aksi teror, sehingga membuat
orang lupa bahwa sesungguhnya Islam bukan agama kekerasan, akan tetapi Islam
adalah agama perdamain dan memiliki nilai universal.
Islam saat ini harus lebih dewasa dalam
menyikapi aksi-aksi yang ekstrim dalam tubuh Islam sendiri—seperti konsep mati
syahid, bunuh diri sebagai taktik teror untuk meresahkan masyarakat, hal-hal
semacam inilah yang harus mampu di netralkan bagi semua pemikir Muslim saat
ini, agar mampu menjawab permasalahan Islam yang memiliki wajah ekstrim
yang terekam di media-media dunia,
(Yilmaz, 2012: 39).
C. Karakteristik dan Identitas Islam
di Turki
Identitas Islam di Turki memiliki
karakter dan keunikan tersendiri, karena Turki ini adalah bagian dari Eropa dan
sekaligus perbatasan yang menghubungkan antara Asia dan Eropa. Mayoritas
penduduk Turki 98% adalah beragama Islam dimana telah memiliki faktor sejarah
yang cukup panjang sejak 717 CE, ketika angkatan senjata Arab dibawah pimpinan
Tariq Bin Ziad melintasi Mediterranean dan menyerbu Eropa, (Yilmaz, 2012: 41).
Lebih daripada itu penelitian yang dilakukanoleh Ihsan Yilmaz mengatakan bahwa:
Turkey is one of the the very first
muslim countries that encountered the modern west and attempted to respond to
the challenges posed by the western power and civilisation. (Yilmaz, 2012: 44).
Turki sebenarnya bagian dari peradaban Islam
Iran, akan tetapi Turki juga merupakan bagian dari wilayah peradaban Islam yang
memiliki corak serta keragaman yang berbeda, karena dilihat dari sejarahnya
ketika perang dunia I Turki terlibat dalam beberapa peperangan negara yang
mengakibatkan banyaknya energi negara yang terkuras, seperti ekonomi,
wilayah-wilayah kekuasaannya juga banyak yang merdeka, (Tohir, 2011: 230).
Apalagi banyak sultan-sultan Usmaniyah belakangan banyak memilkiki kelemahan.
Maka sejak tahun 1950 M Turki resmi diubah menjadi negara sekuler.[4]
(Tohir, 2011: 230-231).
Permasalahan yang dialami oleh Turki
saat ini adalah permasalahan ideologi politik yang tidak jelas dan sekaligus
keberadaan komunitas Muslim yang ada di Eropa ini bagaikan orang asing yang
hidup dalam komunitas yang tidak jelas juga dikarenakan komunitas Muslim di Turki ini sangat terdesak
dalam menjalankan ritual-ritual keagamaanya dan bahkan mereka hidup seperti
orang asing. Para umat Muslim yang ada di Turki serta pendatang ataupun para
imigran yang sudah menetap di Eropa ini datang dari berbagai macam suku dan
aliran. Dan mereka semua ingin mengembalikan serta meningkatkan nuansa sufistik
dalam diri mereka yang telah lama hilang karena tidak memiliki lingkungan yang
kondusif, dan disatu sisi juga mereka
kehilangan harapan serta ide-ide bagaimana cara mereka untuk mengembalikan
dunia sufistik mereka selama tinggal di Eropa, hal ini diakibatkan oleh konsep
sekuler yang melanda dunia Turki.
Dalam Pandangan Shanthikumar
Hettiarachchi permasalahannya adalah antara muslim Asia selatan dan muslim
Turki yang tinggal dalam budaya politik tidak jelas. Muslim Asia selatan
memiliki kekacauan yang begitu kompleks mengenai proses integrasi untuk
mengadopsi budaya-budaya Eropa tanpa dikompromikan dengan nilai-nilai
kepercayaan mereka, meskipun Muslim secara individu tidak memiliki kritikan
secara jelas mengenai nilai-nilai, konsep serta aspek-aspek kehidupan di dunia
Eropa. Sedangkan muslim Turki, mereka
tidak mampu melihat kesejarahan Islam
ditubuh mereka yang sudah kacau dan disatu sisi juga mereka di tuntutan oleh
keadaan politik negara sekuler yang mereka anut, dalam keadaan yang lain juga
mereka mempromosikan kemajuan atas dampak dari nilai-nilai sekulerisme.
Dua isu inilah yang menjadi jantung
muslim di Eropa dan sekaligus menjadi jantung perjuangan dalam mengungkapkan
diri mereka sebagai seorang Eropa dan sebagai seorang muslim. Maka dari itu
perlunya untuk menyelamatkan muslim yang ada di dunia Eropa, dalam hal ini yang
dibutuhkan oleh umat muslim yang ada di Eropa ini adalah harus mampu melihat aspek kesejarahan,
dan aspek kesejarahan ini harus dilihat sebagai aspek kepercayaan umat muslim
dan aspek kepercayaan dan keberagamaaan yang termanifestasi dalam sebuah sistim
hukum, nilai-nilai sosial dan pemerintahan, karena umat Muslim di Eropa
membutuhkan kenyamanan dalam mencari jati diri mereka dalam tubuh Islam. (Yilmaz,
2012: 41-42).
Dalam hal ini Gulen telah menawarkan
beberapa aspek pemikirannya untuk menyelamatkan Islam yang ada di dunia Eropa,
yakni—wajah Islam jangan digambarkan sebagai implementasi atau agenda politik
semata yang hanya menggambarkan kekerasan di wajah masyarakat, akan tetapi
Islam itu harus mampu menanggapi dan mewadahi wacana-wacana mengenai
spiritualitas, membangun nilai-nilai etika, kekuatan pribadi yang dibarengai
dengan kesadaran akan hukum dan rasa kasih sayang, seperti apa yang telah di
rekomendasikan oleh Gulen untuk menyelamatkan Islam dan komunitas Muslim di
Eropa ini harus menanamkan nilai-nilai kasih sayang, etika kehidupan, hukum
yang mengatur, tidak adanya kekerasan dan tidak adanya permusuhan, inilah yang
ingin dibanguan oleh Gulen dalam menyelamatkan Islam di Eropa dan juga
mengembalikan identitas Muslim Eropa. Islam saat ini harus hidup dengan
penuh kedamaian, dan tidak ada lagi
permusuhan mengenai sejarah masa lampau yang melibatkan generasi-generasi
selanjutnya, dan anggap saja sejarah yang kelam ataupun masa lalu itu adalah
bagian dari kecelakaan sejarah. (Yilmaz, 2012: 42-43).
Pendekatan Gulen dalam
menyelamatkan Islam maupun komunitas muslim dari idiologi politik yang ada di
Eropa ini disebut “faith-based on movement” yang sangat vital sekali yakni
berkaitan dengan parameter etika-sosial yang dapat membangkitkan wacana Islam
dalam menghadapi globalisasi di tengah-tengah masyarakat. Maka dari itu
dibutuhkan penguasaan ilmu pengetahuan, tekhnologi untuk melengkapi kehidupan
agar lebih bermakna dan umat Muslim mampu bertahan dimanapun mereka berada.
Tidak hanya itu Gulen juga menawarkan bahwa sikap toleransi, dialog harus
dibangun secara positif diantara semua pemeluk kepercayaan di Turki.
Jadi bagi Gulen kalau sudah bersikap
toleransi maka posisi Islam tidak hanya menawarkan slogan-slogan
multikulturalisme semata—akan tetapi multikulturalisme adalah bagian yang harus
dikampanyekan kepada masyarakat, agar masyarakat lebih bersifat inklusif secara
lansung, dan bagi Gulen tidak ada lagi alasan mengenai permusuhan yang
berakibat pada konflik yang tidak stabil, kehancuran institusional sehingga
mengakibatkan Negara dalam membangun perdamain dan kasih sayang diantara semua
pemeluk keyakinan menjadi terhambat. Pemikiran-pemikiran fundamental dan
ekstrim yang merusak wajah Islam sebagai agama damai itu harus diperbaiki, maka
untuk memperbaiki itu semua Gulen menawarkan jalan keluar, bahwa Islam saat ini
harus mengacu pada etika yang berbasiskan kepatuhan terhadap hukum dan
pemerintahan, ekonomi, hubungan internasional dan kedewasaan politik (political maturity).
Pendekatan “faith-based on movement”
Gulen inilah yang memberikan kedewasaan serta menyelamatkan Islam di Eropa baik
kedewasaan politik Turki dalam
membanngun identitas Islam di Eropa, dan juga Islam itu sendiri harus progressive, saling memahami diantara
semua pemuluk kepercayaan, dan tidak adanya anggapan truth claim diantara semua anggota masyarakat yang menganggap
dirinya paling berkuasa dan gengsi menerima segala perbedaan. Sikap yang merasa
unggul secara pribadi dan merasa memiliki kekuatan yang absolut inilah yang
mengakibatkan adanya anggapan kebenaran (truth
claim), dan bahkan berujung pada sikap yang ekslusif, sikap inilah yang membuat gesekan-gesekan idiologi
yang tidak sehat.
D. Pendekatan Movement Fethullah Gulen
Melihat permasalahan
Turki yang begitu kompleks maka dalam konteks ini penulis ingin mendeskripsikan
pendekatan “Movement” Gulen dalam mengatasi permasalahan-permasalahan di dunia Eropa.
Permasalahan Turki memang begitu kompleks dalam sejarahnya, akan tetapi Gulen menyelamatkan
Turki dari keterpurukan ia tidak terjebak dalam keindahan sejarah masa lampau.
Tujuan Gulen sebenarnya untuk mendidik para generasi muda dengan memiliki bekal
spiritual, kecerdasan dalam ilmu pengetahuan dan berkomitmen demi kepentingan
bersama agar mampu memberikan kontribusi bagi umat Islam, seperti dikutip
statement Gulen berikut:
It is an education of heart and souls as
well as of the mind. Aimed at invigorating the whole being to achieve personal
competence and the ability to be useful citizen for the benefit of others,
(Esposito, 2003: xiii).
Dan permasalahan umat Islam bagi Gulen tidak
hanya itu saja, akan tetapi adanya
pandangan-pandangan keberadaan Islam secara praksis fundamentalis dalam
memahami Qur’an secara teks fundamental itu memang ada, akan tetapi bagi Gulen
hal-hal semacam ini harus dihargai keberadaannya dan bahkan harus dirubah
pandangannya tentang Islam agar lebih fresh, seperti yang dikutip berikut ini:
Fethulleh Gulen innovatively introduces
views, idea and praxis. Gulen speaks intensely of Islamic praxis being
fundamentally Qur’anic but freshly compatible beyond the medieval
interpretation of certain fundamentals of Islam. Gulen unequivocally and
devoutly respects and honours the primordial religiosity expressed in the
Qur’an and Allah-experience’ unique to the prophet of Islam. Gulen’s practical
proposition is that the roots his discourse within the historical tradition of Islam
but introduces a fresh way to understand Islam and to adapt in to contemporary
issues of political, scientific, cultural and social paradigm which he thinks
are part of the praxis of Islam, (Yilmaz, 2012: 47).
Dalam konsep gerakan (movement) Gulen
menyebut konsepnya dengan “bridge-building approach” yang ditawarkan oleh Gulen
untuk menjawab permasalah-permasalahan yang rumit dalam dunia Islam—karena bagi
Gulen Islam tanpa terjun dalam dunia praksis sama artinya kosong. maka dari itu
umat Islam saat ini harus menjunjung tinggi sikap toleransi terhadap umat-umat
yang lain, karena ketika umat Islam saling toleransi dengan yang lain maka akan tercipta rasa
saling menerima, saling percaya, saling menghargai hak-hak dan kewajiban antara
satu dengan yang lain. Wanda Krause mengatakan dalam Gulen bahwa pentingnya
toleransi:
No matter how charming and enchanting
the atmosphere that catches the eye or fills the heart is there is no
permission for us to forget the truth to which we are commited. We cannot stay
alien toward each other while we are in the same camp. We do not have a
monopoly of the good and beautifu; therefore we cannot be allowed to wage a war
with the passengers who are heading to the same destination but on a different
path. (Krause, 2012: 61).
Bagi
penulis pemikiran-pemikiran semacam ini yang harus menjadi contoh dalam
meningkatkan nuansa toleransi, menerima perbedaan keyakinan, menciptakan dialog
serta membangun tempat pendidikan yang kondusif, karena bagi Gulen lewat
pendidikan yang multikulturallah Islam bisa menciptakan jati diri di
tengah-tengah Eropa. Muslim saat ini harus mampu memukau mata dunia, agar umat Islam
bisa selamat dari keterpurukan dan inilah letak perbedaan Gulen menurut penulis
dengan ilmuan-ilmuan serta pemikir yang lain, karena konsep Gullen harus
dibarengi dengan action. Aksi bagi
Gulen yang dimaksud membangun sekolah-sekolah profesional, universitas,
institusi pendidikan yang berbasiskan multikulturalisme, dialog, keterbukaan
terhadap ilmu-ilmu sosial, etika, politik, antropologi, sosiologi dan lainnya.
Menurut Gulen bagaimana mungkin Islam akan mampu menjawab tantangan zaman pada
arena modern tanpa adanya pendekatan yang lebih fresh. Islam agar mampu
menghadapi arus dunia modern tentunya Islam harus mampu menginspirasi Islam di
Eropa, dan konsep inilah yang disebut oleh Gulen sebagai “bridge building
aproach”.
Gulen’s movement ini tentu telah
menginspirasi banyak orang, dan bahkan hampir di seratus negara di dunia
tersebar para Gulenian. Sekolah-sekolah Gulen berdiri di negara-negara besar.
Sekolah gulen selalu menanamkan nilai-nilai pelayanan yang profesional yang
disebut dalam bahasa turki “hizmet” yang berarti pelayanan. Pemikiran tentang
pelayanan ini tentu Gulen terinspirasi oleh ajaran Islam yakni kesalehan dalam
berbuat dan bertindak, karena konsep Gulen harus adanya aplikasi bukan sekedar
teori inilah yang disebut dengan Gulen’s movement, (Esposito, 2003: xiii).
Dalam konteks pendidikan tentu Gulen tentu
menekankan pada penguasaan akan sains modern, jadi tidak ada pemisahan antara
spiritualitas, nilai-nilai sufistik dengan ilmu kemanusiaan seperti, biologi,
antropologi, sosiologi, etika dan politik. Kesadaran Gulen ini tentu
menginspirasi para pengikut Gulen untuk mengembangkan pendidikan ala-konsep
gerakan Gulen ini. Nilai-nilai etika spiritualitas bagi Gulen harus terus
dikembangkan sebagai jati diri Muslim apalagi dalam pencarian identitas di
Eropa, hal semacam ini bagi Gulen harus dikembangkan seperti dikutip berikut:
Judge your worth in the creator’s sight,
by how much space he occupies in your heart, and your worth in people eyes by
how you treat them. Do not neglect the truth even for a moment. And yet, be
human being among other human beings, (Krause, 2012: 59).
Gulen “movement concept” ini mungkin
saja bisa menjadi contoh dan bisa diterpakan dalam konteks indonesia, karena
gerakan-gerakan Gulen ini mengedepanakan
sikap toleransi dan cinta sesama. Toleransi ini suatu niat yang baik untuk mengenal
dan bahkan untuk menghargai semua pemeluk kepercayaan. Sikap toleransi ini
harus dibangun dalam diri umat Islam seperti dijelaskan berikut:
Islam is word derived from the root word
silm and salamah. It means surrending, guiding, to peace and contentment,
and establishing security and accord…. How unfortunate it is that Islam, which
is based on this understanding and spirit, is shown by some circles to be
synonymous with terorism. This is great historical mistake; wrapping a system
based on safety and trust in a veil of terrorism just shows that spirit of
Islam remains unknown, (Krause, 2012:
61-62).
Konsep Gullen ini sangat unik karena tidak
membuang nilai-nilai yang bersifat tradisional dalam tubuh Islam yang bersifat
primordial—akan tetapi nilai-nilai tradisional ini dia balut kedalam dunia
meodern, tentunya ini adalah hal yang sangat luar biasa, sehingga kita bisa
lihat negara Turki yang telah memiliki program-program yang begitu modern, dan
dari konsep Gulen ini juga mampu mengharmonisasikan serta mengintegrasikan
kesejarahan Turki yang bermacam-macam dan mereka juga mampu mengaplikasikannya
kedalam kehidupan sosial—politik yang memiliki daya tarik bagi dunia
Islam.
Konsep Gulen ini juga mampu mendamaikan
tradisi-tradisi Islam yang seratus tahun lalu, kemudian tradisi Islam ini
dikontekstualisasikan dengan kondisi saat ini, dan hal ini bukanlah tugas yang
mudah bagi Gulen, akan tetapi dia percaya bahwa semua itu bisa terjadi, apabila
konsep “bridge-building aproach” ini dikembangkan. Pendekatan Gulen ini masih
terbilang sangat fresh karena mampu menyelamatkan Muslim di negara Turki dari
keterpurukan idiologi, kebudayaan, sosial dan prekonomian, maka pendekatan
Gulen inilah yang menginspirasi masyarakat Turki kepada diskursus “Islam
modernity” seperti yang dikutip berikut:
Gulen’s Islam modernity and community
based on praxis is a challenge both to the traditional understanding of Islam
and to a blind following of the project of modernity, (Yilmaz,
2012: 48).
Memang Gulen sadar, bahwa ia akan
mendapatkan rintangan serta tantangan yang sangat besar dalam konsep
gerakannya, akan tetapi bagi dia semua ini membutuhkan ketekunan, kemampuan
strategi yang luas dan bahkan harus kerja keras untuk menciptakan hubungan
kepemimpinan militer Turki dengan para
elit-elit negara sekular, (Yilmaz, 2012: 49)
Gerakan Gulen dalam mengembangkan konsep
“bridge-building” ini juga berfungsi sebagai perluasan kekuatan di dunia Eropa,
dan memang harus memiliki sikap yang
terbuka terhadap nilai-nilai kebudayaan dan pluralitas, konsep pergerakan Gulen
ini juga harus dibarengi dengan adanya kesadaran akan hukum, sosial, politik
ekonomi, etika keislaman, institusi kenegaraan, kesejahtraan keluarga yang
meamadai dan tentunya hal yang sangat krusial yakni mengenai pendidikan
perempuan dan lainya, agar mampu
membangun konsep hidup yang taat terhadap pemerintahan sebagai warga negara.
Tidak hanya itu, Gulen dalam bukunya Mastering Knowledge In Modern Times juga
menawarkan konsep “theology of social responsibility” konsep ini di tawarkan
oleh Gullen agar umat Islam mampu menghadapi musuh-musuhnya, diantara musuh
Islam itu adalah; permasalahan kemiskinan, ketertinggalan, perpecahan dan
kebodohan. Permasalahan ini menurut Gulen harus diselesaikan agar Islam mampu
memiliki gaung dalam tantangan zaman, serta fenomena kemanusiaan—maka dari
itu untuk menghadapi musuh Islam
tersebut bagi Gulen harus memulai membangun sekolah-sekolah, universitas,
institusi pendidikan serta lingkungan pendidikan yang kondusif dan juga
menyediakan tempat-tempat tinggal (dormitory). Membangun tempat-tempat
pendidikan ini tidak hanya ditujukan kepada orang-orang Muslim saja, akan
tetapi bagi non muslim juga agar tercipta dialog multikulturalisme serta
menghargai perbedaan. “Theology of social responsibility” bagi Gulen harus di
praktikkan dalam institusi-institusi manapun agar mapu memberikan kontribusi
dalam membangun konsep baru permasalahn teologi dalam dunia Islam agar mampu
menghadapi tantangan zaman.
Bagi Gulen ia percaya bahwa umat islam
saat ini bias menciptakan sejarah, akan tetapi umat islam harus mampu tanggung
jawab atas permasalahan sosial, mereka harus aktif dalam institusi pendidikan,
tidak hanya itu Gulen mengatakan ketika umat Islam memiliki konsep “Theology of
social responsibility”. Umat muslim tidak hanya akan berkutat didalam
kepercayaan sebagai insider semata, akan tetapi juga sebagai outsider dan
bahkan mampu menjadi kedua-duanya sehingga akan tercipta hokum serta perdamain
di dunia.
Dalam konteks zaman modern saat ini
Gulen merekomendasikan kepada umat Islam agar bertanggung jawab atas
permasalahan sosial agar pesan-pesan didalam al-Qur’an termanifestasi dalam
kehidupan nyata yang tidak hanya sebatas teks. Maka dari itu Islam harus mampu
memaknai pesan-pesan al-Quran sebagai esensi yang universal dan dapat diterima
dalam segala zaman—maka untuk membuat ajaran al-Qur’an menjadi universal harus
dianalisis dalam permasalahan sosial kemanusiaan atau yang disebut dengan
“theology of social responsibility”.
Menurut Gulen tidak hanya itu saja, akan
tetapi untuk menjadi umat muslim saat ini menjadi sebuah keharusan untuk
menguasai ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, ekonomi, kebudayaan, antroplogi
dan juga etika, dan inilah yang disebut oleh Gullen sebagai konsep “faith based
on ovement” dan dalam “faith based on movement” ini harus ada theology of social responsibility,
(Albayrak, 2011: 91-92).
Theology
of social responsibility ini bagi Gulen menuntut para pemikir untuk
bertanggung jawab atas fenomena sosial akan tetapi juga menuntut pada kesalehan
pribadi, seperti hadits mengatakan “the one who knows oneself will know God”
dan tidak hanya itu siapapun yang memiliki tingkat kesalehan yang tinggi
dan juga memiliki pengetahuan maka akan
berpotensi untuk bertanggung jawab pada
diri sendiri dan juga tuhan, dalam konteks kesalehan spiritual dan
tanggungjawab Gulen mengatakan berikut:
A believer is someone who truts a
candidate of trust with a worthy future, who promises safety to his
surroundings, and who has integrated colorful differences in harmony. Such a
believer is a decent human being. With such a kind disposition, one is gentle
and sensitive, both before people and before God to the extent that if the
believer is threatened with death or faces various pressures and false accusations
will never attempt to act crudely… the believer is an exemplary person, who
opens one’s heart to everyone, (Gulen, 2011: 93).
Gulen
juga berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mengembangkan konsep “theology of
social responsibility” karena dia ingin membawa pesan kepedulian dengan penuh
cinta kepada sesama baik muslim maupun non muslim, dengan membawa pesan cinta, nir-kekerasan
serta kepedulian ini Gulen mengatakan:
One loves
everyone and everything for God sake, breathers love, and always creates an aura
of love around oneself. The believer hastens to stop cries and responds to
grievances, treats pains with antidotes, and transforms the cries of people to
laughter … the believer transforms the storm of the fire into breezes of divine
pleasure. One mourns to prevent people’s mourning and sheds tears as much as
the river of Oxus to prevent the tears of others. The believer evaluates
oneself based on contributions to the well being of others. The focus of the
believer is always on “we” rather than “I.” Therefore, the believer is not
selfish, but someone who thiks of others.
Maka bagi Gulen sudah saatnya umat
muslim saat ini untuk saling toleran, saling peduli terhadap sesama atas nama
kemanusiaan bukan atas nama kepercayaan masing-masing. Umat muslim harus menciptakan
kesalehan pribadi menciptakan keharmonisan dan perdamaian bagi umat mansuia,
saling menolong melayani, karena manusia adalah hamba tuhan maka saatnya hidup
dipenuhi dengan cinta dan toleransi.
E. Kesimpulan
Turki adalah negara
Muslim yang paling pertama menghirup udara Barat modern, dan juga memiliki
penduduk yang mayoritasnya Muslim. Meskipun begitu Muslim di Eropa hidup dalam
himpitan teologi yang tidak jelas karena Turki sekarang adalah bagian dari
dunia Eropa yang telah menganut paham
sekuler yang berimplikasi pada kehidupan masyarakat, sehingga Turki tidak mampu
memahami kesejarahn Islam yang kuat dalam menunjukkan jati diri mereka di
tengah-tengah paham modernisme, sehingga mengakibatkan para Muslim di Turki
kehilangan identitas serta jati diri mereka, dan tidak bisa menghirup udara
nilai spiritualitas secara bebas, dan umat Islam Turki sebagai seorang Muslim yang
hidup di tengah-tengah peradaban Eropa baru mereka bagaikan hidup di negara
asing.
Permasalahan umat Muslim di Turki memang
begitu rumit, akan tetapi ada beberap konsep yang telah dibangun Gulen dalam
mengatasi permasalahan umat Islam serta muslim Turki—dalam hal ini Gulen merekomendasikan—bahwa
Islam sebagai sebuah agama seharusnya memiliki tingkat kesadaran yang tinggi akan
ilmu pengetahuan, sosial, ekonomi, budaya antropologi, etika dan sebagainya,
sebagai seorang Muslim tidak boleh ragu apabila dalam sebuah tantangan dunia
modern ini mendapatkan ujian yang berat. Gullen menekankan bahwa pentingnya
dialog antara semua pemeluk kepercayaan, karena dengan dialog semua akan
terbuka dan hal ini harus dilakukan oleh semua manusia baik itu Muslim maupun
non Muslim agar tercipta dunia yang penuh dengan keamanan dan kedamaian.
Islam juga harus dijauhkan dari wajah
Islam yang fundamental ekstrim seperti islamophobia
atau westphobia, dan inilah tantangan
umat Muslim di era modern ini. Konsep “movement” Gullen dalam konteks ini akan
mampu untuk menstransformasi budaya dialog diantara semua komunitas, agar tidak
ada lagi kepercayaan yamg menganggap diri paling berkuasa, truth claim, yang akan mendorong terjadinya perpecahan di muka
bumi. Tidak hanya itu warga Eropa saat ini harus memabngun kesadaran
kewarganegaraan mereka, bertanggungjawab dan peduli pada semua, bukan hanya
golongan semata akan tetapi semua golongan. Rasa persaudaraan, kepedulian,
cinta kasih, nir-kekerasan dan menghormati semua perbedaan, menjalankan hukum,
nilai-nilai sosial Islam, budaya, etika, kesemuanya inilah yang akan mampu
menjawab tantangan zaman dan lebih memberikan kontribusi yang positif bagi
ketahanan umat Islam di tengah-tengah pergulatan kemanusian yang serba modern.
DAFTAR PUSTAKA
Blackburn, Simon, The Oxford Dictionary of Philosophy,
terj. Yudi Santoso, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Gullen, Fethulleh, Mastering Knowledge In Modern Times, (ed.), Ismail Albayrak, New
York: Blue Doom Press, 2011.
Shanthikumar Hettiarachchi dalam http://www.dialoguesociety.org/tag.
Akses Tanggal 30 Desember 2013.
Thohir, Ajid, Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Polotik,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.
Weller Paul dan Yilmaz Ihsan, European Muslims, Civility and Public Life
Perspectives On and From the Gulen Movement, India: Continuum International
Publishing Group, 2012.
Yavuz and Esposito, Turkish Islam Secular State The Gulen
Movement, Syracuse University Press, 2003.
Krause, Wanda, Civility In Islamic Activism: Toward A Better Understanding of Shared
Values For Civil Society Development, Continuum International, 2012 (ed.) Paul
Weller dan Ihsan Yilmaz.
[1]Mahasiswa Program Pascasarjana,
Jurusan Filsafat Islam (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta).
[2]Shanthikumar
Hettiarachchi PhD menerima gelarnya pada bidang mayoritas dan minoritas konflik
etnis dan agama, Melbourne College of Divinity, University of Melbourne. Dia adalah seorang ahli dalam bidang Agama, konflik dan kohesi sosial.
Hettiarachchi bekerja secara ekstensif dengan kelompok-kelompok masyarakat dan
gerakan sosial di Sri Lanka. Dia
juga sering mengembangkan dan memfasilitasi berbagai program Pusat yang
menyangkut umat beragama, budaya dan etnis yang berbeda. Selain itu juga
Hettiarachchi adalah pendiri Co-ordinator dari Luton Dewan Faiths,
Bedfordshire, Inggris. Kepentingan penelitian utamanya dalam komunitas diaspora
- afiliasi keagamaan di Inggris, Eropa dan Australia. Informasi ini bisa di
lacak di http://www.dialoguesociety.org/tag/Dr-Shanthikumar-Hettiarachchi.html.
Akses 30 Desember 2013.
[3]Sikap pembelaan terhadap suatu
doktrin, akan tetapi dalam pengertian yang berbeda apologetics ini dalam teologi, yakni suatu upaya untuk
memperlihatkan kalau iman bisa dibuktikan lewat akal, atau minimal konsisten
dengan akal. Penggunaan lebih umum istilah ini adalah semua upaya apapun
bentuknya yang dimaksud untuk membela atau sikap pembelaan terhadap suatu
doktrin.
[4]Sekuler yang dimaksud yakni
menghilangkan sistem kekhalifahan dan kesultanan dibawah pimpinan mustofa Kemal
Attaruk, dimana pada tahun 1950 untuk pertama kalinya Turki mengadakan
pemilu partai republik bentukan Mustofa
Kemal Attaruk kemudian dikalahkan oleh partai demokrat. Tahun 1961 partai
republik berkuasa kembali namun didominasi oleh partai motherland.
FILSAFAT ETIKA IMMANUEL KANT DALAM KONTEKS NEGARA DEMOKRASI
By : Unknown
FILSAFAT ETIKA IMMANUEL KANT DALAM KONTEKS NEGARA DEMOKRASI
Oleh. Ishak Hariyanto[1]
Email. ishakharianto@yahoo.co.id
Abstrak
Etika adalah aturan yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, karena bayangkan saja dunia tanpa adanya etika atau moralitas maka
konsekuensinya akan menjadi dunia dimana tidak ada seorangpun yang memiliki
hati nurani, di mana tak seorang pun yang akan pernah merasa bersalah atau
menyesal atas apa yang mereka lakukan atau tidak mereka lakukan. Makalah ini berbicara
tentang Etika Kant dalam konteks negara demokrasi, kant mengatakan bahwa etika adalah sebuah sistem aturan yang harus diikuti karena
wajib tanpa peduli pada apa yang diinginkan atau dimaui seseorang.
Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih jauh etika
filsafat Immanuel Kant untuk memberikan suntikan etika serta moralitas kebaikan
dalam fenomena demokrasi saat ini. Demokrasi dalam konteks ini adalah kedaulatan
milik rakyat, rakyat bebas memilih dan dipilih, rakyat diatas segala-galanya. Akan tetapi demokrasi tersebut salah dimaknai serta
salah diaplikasikan oleh kebanyakan orang, sehingga demokrasi hanya dimaknai sebagai
jalan untuk mencapai kepentingan pribadi semata. Bagi Kant sesungguhnya ini menandakan
betapa keringnya moralitas yang ada pada diri kita, maka dari itu Kant
mengajarkan etika kewajiban untuk melakukan kebaikan tanpa ada suatu tujuan
tertentu dan tidak menggunakan orang lain jadi sarana demi kepentingan pribadi,
etika ini disebut oleh Kant sebagai konsep deontologi yakni nilai-nilai etika kebaikan yang berdasarkan
konsep kewajiban agar hidup lebih berkualitas.
Kata kunci. Filsafat Etika Immanuel Kant,
Negara Demokrasi
A. Pendahuluan
Moral sangat penting dalam kehidupan kita
bayangkan andaikan dunia tanpa moralitas itu akan menjadi sebuah dunia di mana
tidak ada seorang pun memiliki keyakinan tentang moral entah itu apa yang disebut dengan benar dan yang salah, baik atukah buruk. Maka
Konsekuensinya akan menjadi dunia dimana tidak ada seorangpun memiliki hati
nurani, di mana tak seorang pun yang akan pernah merasa bersalah atau menyesal
atas apa yang mereka lakukan atau tidak mereka lakukan. Meninjam bahasa
Sokrates “kita sedang membicarakan masalah yang tidak kecil, yakni mengenai
bagaimana kita harus hidup”.[2]
Karena
kita mebicarakan masalah besar yakni tentang moral maka banyak juga kontroversi
tentang makna moral. Filsafat moral sesungguhnya upaya untuk
mensistematisasikan pengetahuan tentang hakikat moralitas dan apa yang di
tuntut dari kita seperti kata Sokrates, tentang “bagaimana seharusnya hidup”
dan mengapa demikian. Maka akan sangat berguna jika kita memulainya dengan
sebuah definisi yang sederhana dan tidak kontroversial mengenai moralitas.
Mengutip pendapat Emmet Barcalow mengenai moral yakni:
There would be no moral restrains or constraints on
peoples behavior.It would be also be a world in which there was no conception
of vice and virtue, kindness, honesty and compassion would not be considered
morally better than cruetly, dishonesty and malevolence. No distinction would
be made between justice and injustice. No one would be believe that anyone has
any moral rights or duties. No one would ever claim or believe that people have
a moral right to life or right to freedom of expression or that we have a moral
duty to refrain from harming others.[3]
Terjemahan
bebasnya: bayangkan saja andaikan dunia tidak ada moralitas, maka tidak akan
ada yang mampu menahan kendala serta perilaku yang ada pada manusia. Hal ini
juga akan menjadi sebuah dunia di mana tidak akan ada konsepsi mengenai
kebajikan, kebaikan, kejujuran dan kasih sayang. Semuanya tidak akan bisa
dianggap secara moral lebih baik daripada ketidak jujuran dan kedengkian. Dan
tidak akan ada perbedaan antara keadilan
dan ketidakadilan. Tidak ada yang akan percaya bahwa seseorang memiliki hak
moral atau kewajiban. Tidak ada yang akan pernah mengklaim atau percaya bahwa
orang-orang memiliki hak moral untuk
hidup atau hak untuk kebebasan berekspresi dan bahkan kita memiliki kewajiban
moral untuk menahan diri dari menyakiti orang lain.
Selain
itu juga dunia tanpa moralitas tidak akan ada secara moral dengan benar atau
salah, baik atau buruk. Dunia tanpa moral maka manusia tidak akan bermoral
serta kebaikan dunia akan diganti menjadi kekejaman, perbudakan. Tidak akan ada
rasa keadilan karena tidak adanya moralitas. Orang yang tidak bermoral tidak
akan bisa dituduh melakukan kejahatan, tidak ada yang memiliki tugas amoral
untuk mengurangi bahaya serius yang diberlakukan kepada orang terhadap resiko
keinginan mereka. Dalam konteks negara demokrasi saat ini banyaknya
demoralisasi yang terjadi, pemerkosaan, pembunuhan, korupsi merajalela, lalu
dimankah letak moralitas yang menjadi dasar aturan hidup. Kehidupan ini akan
rusak apabila tidak ada hal yang baik yang tertanam dalam diri kita, maka dalam
hal ini kant mengajarkan kita untuk melakukan hal yang baik dan memang itu
nalar kita sudah menganggap baik tanpa terkecuali dan itulah yang disebut
dengan deontologi (etika kewajiban).
Dalam
konsep moralitas memang berbeda-beda
dalam setiap masyarakat dan merupakan kesepahaman yang pas untuk
kebiasaan-kebiasaan yang di setujui bersama.[4] Akan tetapi dalam hal ini
penulis sangat tertarik untuk mengkaji konsep etika yang dibangun oleh Immanuel
Kant dan menghubungkan dengan
negara demokrasi.
B. Biografi Singkat Kehidupan Immanuel Kant
Immanuel Kant adalah seorang filsuf yang sangat luas
pengaruhnya dalam sejarah Filsafat modern hingga sekarang. Ia lahir di
Konisberg PrusiaTimur, pada tanggal 22 April 1724. Kant merupakan anak keempat
dari empat bersaudara dan ia lahir dalam keluarga yang miskin.[5]
Orientasi etis pietisme[6] yang
sangat kental dan tiadanya penekanan terhadap dogma teologis menjadi sebuah
ciri khas kant dan faktor determinan dalam filsafatnya. Setelah menyelesaikan
kuliah di universitas Konigsberg dan ia menjadi tutor di beberapa keluarga
aristokrat. Kant mengajar di almamaternya sebagai dosen selama lima belas
tahun. Ia banyak menulis buku-buku sebagian dari karya-karyanya adalah tentang
metafisika, logika, etika, dan sains dan
juga tentang alam.[7]
Pada tahun 1770 dia diangkat menjadi guru besar logika
dan metafisika di Konigsberg, dan pada tahun 1781 dia menerbitkan karyanya yang
sangat luar biasa termasyhur yakni Critique Of Pure Reason. Karya ini
membuka bidang-bidang studi masalah-masalah baru pada zaman ketika dia hidup.
Kant juga adalah sosok filsuf yang sangat teratur rendah hari dan tidak suka
menonjolkan keilmuannya.
C. Latar Belakang Pemikiran Immanuel Kant
Dalam konteks pemikiran, seseorang tidaklah
lepas dari sejarah serta setting sosial yang mempengaruhi kehidupannya dimana
dia hidup. Dalam hal
ini penulis mencoba
memberikan hal-hal yang melatarbelakangi
pemikiran filosofis Immanuel Kant yakni zaman yang disebut
dengan
Aufklarung (zaman pencerahan). Pada abad ke-18, kita semua pernah membaca bahwa di Eropa Barat mengalami suatu zaman
baru yakni zaman pencerahan.[8] Atau
senada dengan zaman yang disebut dengan enlightenment.[9]
Pada
zaman ini orang-orang mendapatkan cahaya baru dalam segi rasionya.
Menurut Immanuel Kant pencerahan yang dimaksudkan adalah orang
keluar dari keadaan akil-balig atau terlahir kembali
seperti orang yang sedang berulang tahun. Orang-orang sebelum terjadinya
pencerahan belum memiliki sikap kritis dan rasionya belum digunakan. Sehingga
ketika terjadinya pencerahan ketika itu mereka baru sadar bahwa banyaknya kesalahan yang terjadi terhadap rasionya.
Kesalah itu terletak pada keengganan
memanfaatkan rasionya, karena lebih berpusat pada otoritas di
luar dirinya-seperti wahyu ilahi, nasihat orang yang terkenal,
ajaran-ajaran Gereja atau negara. Begitu besarnya otoritas gereja pada saat itu
sehingga memicu adanya gerakan-gerakan. Maka di saat itu pula terjadilah perkembangan ilmu pengetahuan dengan sangat
pesatnya. Ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu disebut dalam bahasa Jerman
dengan aufklarung dan sangat mempengaruhi pola pemikiran Immanuel Kant.
Sehingga wajar Kant adalah filsuf yang sangat berpengaruh serta termasyhur di
abad pertengahan.
Perkembangan pola pemikiran pada zaman pencerahan ini
tidak hanya berkembang di Jerman saja akan tetapi pencerahan ini berkembang juga di
Inggris lalu di daratan Eropa, kemudian di Prancis
berjalan dengan amat radikal, sehingga memberi
jalan bagi revolusi Prancis pada tanggal 14 juli 1789. Pada masa pencerahan di Jerman, muncul
gerakan keagamaan Lutheranisme abad ke-18. Gerakan yang dimaksudkan adalah
Pietisme yang dipelopori Spener (1635-1705) dan France (1663-1727), muncul
reaksi atas teologicial akademik yang sangat rasional
dan Gereja Institusional yang kaku. Pietisme amat menekankan kesalehan hidup,
sikap batin yang baik dan moralitas keras. Ajaran gereja
yang sejati berada dalam organisasi manapun atau dalam teologi melainkan dalam
hati orang percaya dan saleh. Dari sinilah Kant tidak suka beribadah di gereja,
dan menganggap doa-doa tidak perlu sebab Tuhan sudah
mengetahui setiap kebutuhan dan isi hati
manusia, baginya doa bisa mendatangkan penghinaan
terhadap diri sendiri. Selanjutnya dengan adanya Allah free will
dan kebakaan jiwa tidak bisa dibuktikan secara teoritis melainkan sebagai
postulat/dalil-dalil dari akal budi
praktis: ide yang menyangkut kewajiban mentaati hukum moral. Pemikiran Kant juga sangat dipengaruhi oleh Leibniz dan Hume. Keduanya mewakili pemikiran
filosofis kuat di masa pencerahan. Leibniz sebagai
tokoh rasionalisme, dan Hume sebagai tokoh empirisme.[10]
D. EtikaImmanuel Kant
dan Kaitannya Dengan Negara Demokrasi
Etika kant dalam negara demokrasi disini terkait
apabila dalam suatu masyarakat sudah tidak menghiraukan lagi aturan, hukum
serta norma-norma sosila dalam hidup bermasyarakat. Maka etika kant disini
masuk untuk mengkritisi negara yang mengusung demokrasi yang hanya
mengatasnamkan rakyat, demi rakyat dan aspirasi rakyat, akan tetapi itu semua
hanya omong kosong, maka ajaran
etika Kant disini masuk untuk mengkritisi semua yang mengatasnamakan rakayat,
karena ajaran Kant tentang Etika terdiri dari prinsip akal budi praktis yang murni. Prinsip-prinsip praktis dalam arti
proposisi-proposisi yang berisi ketentuan umum kehendak, yang memiliki beberapa
aturan praktis. Prinsip-prinsip itu bersifat subjektif, atau merupakan
maksim-maksim, ketika kondisi ini oleh subjek dianggap baik hanya bagi kehendaknya
sendiri. Prinsip-prinsip itu bersifat objektif, atau merupakan hukum praktis,
ketika kondisi tersebut oleh subjek diketahui objektif, yakni baik untuk
kehendak setiap makhluk yang rasional, karena akal dalam konteks ini berfungsi sebagai verifikator.[11]
Etika dalam pandangan Kant yakni sebuah sistem aturan
yang harus diikuti karena wajib tanpa peduli pada apa yang diinginkan atau
dimaui seseorang. Betapa murni sekali etika yang diajarkan oleh kant kepada kita semua. Menarik etika yang
diajarkan oleh kant di atas dengan konteks kekinian, yakni demokrasi masih sangat relevan sekali karena bagaimana kita
harus berbuat buat kepada seseorang tanpa ada tujuan tertentu akan tetapi
memang itu baik untuk dilakukan. Seperti contoh seorang pejabat negara secara tidak
sadar dan secara spontan menolong anak jalanan yang sedang kelaparan karena
seharian belum makan. Etika yang seperti ini yang telah diajarkan oleh Kant yakni etika kewajiban
menolong orang tanpa ada tujuan tertentu yang penting orang itu selamat/bertindaklah secara maksim. Ajaran etika Kant yang harus kita
resapi juga yakni tidak ada konsep bahwa
manusia menjadi sarana bagi kepentingan orang lain.
Akan tetapi pada konteks negara demokrasi[12] saat ini keuniversalan etika
serta keabsolutan etika itu jarang kita menjumpainya karena penulis beranggapan
di negara demokrasi Indonesia ini kita masih menganut kebenaran yang relatif
seperti yang diusung oleh kaum relativis, sehingga mengakibatkan konflik kepentingan pribadi dan orang saling sikut satu sama lain dan
melakukan tindakan-tindakan amoral dan bahkan membuat orang lain menjadi sarana
serta budak demi kepentingan pribadi. Karena para kaum relativis beranggapan berikut ini:
There is no permanent
or universal standard by which right and truth in regard to these metters can
be established and different folkways compared and criticized.[13]
Apabila kita tidak mengakui kebenaran itu secara umum dan
mengatakan bahwa kebaikan itu relatif, maka yang akan terjadi di
negara kita ini akan banyaknya kasus-kasus kekerasan yang terekam
di media-media, pemerkosaan, pembunuhan, dan bahkan korupsi. Kenapa itu semua
bisa terjadi, karena tidak adanya kontrol efektif dari para pengambil kebijakan
sehingga mengakibatkan fenomena tersebut bisa terjadi. Untuk menjawab
fenomena-fenomena tersebut maka kita hendaknya meresapi apa yang telah
diajarkan oleh etikus tersohor yakni Immnuel Kant. Kant beranggapan kekerasan, pemerkosaan, korupsi dan penyakit yang ada di
masyarakat itu bisa terjadi karena
jauh dari nilai-nilai etika kewajiban serta jauh dari moralitas yang menjadi
aturan dalam hidup.[14]
Demokrasi yang menjadi
kebanggaan negara pada saat ini sesungguhnya belumlah siap,
dikarenakan hilangnya aplikasi moralitas yang mengakibatkannya belum siap. Kita lihat saja bagaimana maraknya para
pejabat yang gila kehormatan saling adu satu sama lain untuk mendapatkan sebuah
kekuasaan, alih-alih mengatasnamakan rakyat dan demokrasi. Secara tidak lansung
masyarakat hanya di buat menjadi kambing hitam oleh para pejabat dan masyarakat
hanya dijadikan sebagai sarana untuk mengamankan posisi mereka. Bagi Kant hal
yang seperti ini sesungguhnya tidak bermoral karena kita selalu menggunakan
orang lain untuk menjadi sarana kepentingan pribadi kita, karena konsep etika yang
dibangun oleh kant membutuhkan law and
order, yakni suatu kebaikan itu harus berdasarkan aturan-aturan serta
norma-norma sosial, karena dalam kancah kehidupan bermasyarakat secara beradab
hanya akan terjadi apabila manusia itumemnuhi aturan: aturan allah, alam,
negara serta aturan-aturan yang lain.[15]
Pada saat ini Indonesia telah dihadapkan pada pesta terbesar
yakni pemilihan presiden, bagaimanakah nasib
masyarakat kedepannya apakah para pejabat setelah mendapatkan suara serta
aspirasi dari rakyat akan tetap loyal untuk rakyat ataukah berpaling setelah
mereka mendapatkan posisi yang tertinggi. Apakah sesungguhnya
masyarakat hanya menjadi korban serta batu loncatan semata, ataukah masyarakat hanya
sekedar menjadi sarana kepentingan mereka, tanpa memikirkan visi-misi yang telah
mereka usung atas nama rakyat. Dalam pandangan Kant hal seperti ini
sesungguhnya sebuah perbuatan yang tidak bermoral karena kita selalu
mengatasnamakan rakyat dan menggunakan rakyat menjadi sarana kepentingan
pribadi.
Untuk menjawab
itu semua hendaknya kita harus kembali
kepada nilai-nilai etika yang diajarkan oleh Kant, yakni sebuah etika kewajiban
untuk melakukan hal-hal yang baik, tanpa ada sebuah tujuan
tertentu, karena sebuah perbuatan baik yang dilakukan seseorang tanpa tujuan
tertentu dan memang kebaikan itu dilakukan secara spontanitas itulah yang
disebut oleh Kant sebagai konsep“deontologi”Namun pada saat yang sama
hanya sedikit dari kita yang sadar bahwa sesungguhnya etika ini sangat penting
sekali sebagai senjata kita untuk menghadapi tantangan global agar dunia ini
penuh dengan kedamaian dan ketentraman, dan tidak ada lagi orang yang saling sikut
sesama saudara, membunuh satu sama lain atas nama agama, ras, suku dan bahkan
kepercayaan.[16]
Kewajiban untuk melakukan sesuatu yang baik akan menjadi dasar bagi tindakan moral dantindakan
yang baik juga harus dilakukan tanpa terkecuali
sebagai pijakan moral. Kadang-kadang kita beranggapan bahwa kesehatan,
prestasi, kekayaan, maupun keberhasilan merupakan tindakan
baik, akan tetapi bagi Kant
hal ini hanya
bersifat sementara saja, hanya
baik secara terbatas, sehingga kemungkinan untuk berbuat jahat masih ada.
Dalam penilaiannya Kant sesuatu yang dikatakan
baik apabila
perbuatan itu memang baik tanpa
ada sebuah pencapaian tujuan tertentu. Perbuatan yang baik dan
bermoral yakni apabila seseorang melakukan sesuatu yang baik memang
sebuah keharusandan itu dilakukan
berdasarkan spontanitas (imperatif kategoris).
Dalam
The Metaphysics of Moral (Metafisika Moralitas),
Kant menghubungkan pendapat antara legalitas dan moralitas. Legalitas dalam pandangannya adalah sebagai kesesuaian atau
ketidaksesuaian. Kesesuaian atau ketidaksesuaian ini yang ada dalam diri
manusia belum bernilai moral, dikarenakan dorongan batin tidak menjadi objek
atau tidak diperhatikan. Nilai moral itu ada apabila diperoleh dalam moralitas.
Moralitas merupakan kesesuaian antara sifat dan perbuatan manusia dengan
norma hukum batiniah manusia. Kant melihat
moralitas sebagai kebaikan yang tertinggi, dan kebaikan yang tertinggi itu
menjadi kebaikan yang sempurna. Kebaikan yang dimaksud Kant berbeda dengan
kebaikan dalam arti empiris, atau kebaikan yang bersifat sementara. Akan tetapi kebaikan yang tertinggi itu akan
menciptkan kebahagiaan.[17]
Untuk mencapai
kebahagiaan yang sejati tidaklah mudah seperti apa yang kita bayangkan, akan
tetapi memerlukan pembiasaan untuk melakukan hal yang baik. dalam hal mencapai
kebahagiaan yang sejati filsuf tersohor di dunia Aristoteles pernah mengatakan tentang
kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati baginya adalah sesuatu yang
dicari oleh setiap manusia dalam hidupnya tidak akan ada lagi yang akan dicari
lagi oleh manusia selain kebahagiaan, akan tetapi selama itu belum
dicapai oleh manusia maka manusia
tidak akan pernah merasa puas dan tetap masih mencari, yang dicari oleh manusia itu sebenarnya
adalah kebahagiaan, kalau orang sudah bahagia maka tidak akan ada lagi yang dicari
selebihnya. Dan sebaliknya selama ia
belum bahagia apapun yang diperoleh tidak akan membuatnya merasa
puas. Kebahagiaan menurut Aristoteles apa-apa yang dicari oleh seseorang. Etika kebahagian ini
disebut oleh Aristoteles dengan etika “eudaimonia”[18] yang
berarti “bahagia”. Jadi bagaimana manusia harus
hidup, Aristoteles menjawab bahwa manusia harus meletakkan kehidupannya
sedemikian rupa sehingga ia menjadi
semakin bahagia.
Kebahagiaan merupakan tujuan akhir manusia, jadi aturan-aturan
moralitas bukan sesuatu yang tidak dapat dimengerti. Jadi betapa pentingnya untuk menanamkan nilai-nilai
moral dalam aspek kehidupan guna mencapai kebahagiaan yang sebenarnya. Dan kita hendaknya hidup secara bermoral karena itulah
jalan kebahagiaan, tujuan moralitas adalah mengantarkan manusia ke tujuan
akhirnya yakni kebahagiaan.[19] Oleh
karena itu hendaknya kita selalu mempertimbangkan apa-apa yang hendak kita lakukan dan pentingnya pertimbangan secara
rasioanal sebagai dasar moralitas, karena moralitas adalah keseluruhan
peraturan tentang bagaimana manusia harus mengatur kehidupannya supaya menjadi
orang baik.[20]
Dalam konteks etika, penulis mencoba menarik pendapat
Paul Recoeur dalam Kaplan, dimana Recoeur memberikan tiga tesis dalam kaitannya
dengan etika dan moralitas. Dimana etika merujuk pada tujuan teologis menjalani
kehidupan yang baik, yang merupakan karakteristik dari tradisi Aristotelian,
sementara moralitas merujuk pada kewajiban untuk menghormati norma-norma
universal yang merupakan karakteristik dari tradisi deontological ethics[21] yang
dianut oleh kantian: (1) keutamaan etika di atas moralitas, (2) keniscayaan
bahwa tujuan etika harus di mediasi oleh norma moral, (3) moralitas jalan lain
harus memasukkan etika untuk menyelesaikan pelbagai konflik dan apriori. Etika
mencakup moralitas-tetapi sementara ia merupakan subordinat etika, moralitas
merupakan sebuah momen yang penting dan deontologis berkaitan dengan
aktualisasai etika.[22]
Diantara tradisi
Kantian dan Aristoteles. Recoeur
mengusulkan untuk menegakkan “suatu hubungan yang meliputi subordinasi dan
komplementaritas sekaligus”, yang pada ahirnya akan diperkuat oleh jalan lain
terahir moralitas menuju etika. Jalan lain terahir menuju etika yang diperkaya
oleh moralitas adalah bentuk kearifan praktis yang diarahkan menuju aplikasi
yang tepat atas norma-norma universal dalam pelbagai situasi partikular.
Kearifan praktis merupakan seni mediasi syarat partikular dari tujuan etis dan
syarat universal dari norma moral yang diarahkan untuk bertindak secara tepat
dan adil dengan tujuan mencapai kebahagiaan bersama orang lain dalam sebuah
masyarakat yang baik dan adil.
Keterkaitan antara moral dan
etika menjadi dasar suatu tindakan yang bersifat mutlak
namun tetap memiliki patokan tertentu. Etika mencari tahu hukum tindakan atau
prinsip moral dalam setiap perbuatan manusia dan moralitas menjadi suatu
kesesuaian tindakan manusia dengan norma batiniah. Etika dan moral
mengarahkan manusia agar dapat bertindak demi kewajibannya semata-mata.[23]
Teori Kant tentang moralitas ini menyatakan potensi
kemanusiaan untuk membatasi keterbatasan kita. Bagi Kant, ada perbedaan jelas
yang bisa di tarik antara penalaran teoretis murni dan penalaran praktis murni.
Penalaran teoretis kita terbatas dan terkondisi: kita tidak bisa tahu hal-hal
dalam cara mediasi dalam cara yang mungkin seperti caranya malaikat. Secara
moral, kita juga terbatas: kita sering di dorong oleh nafsu dan
keinginan hewani dari pada di dorong oleh pertimbangan moral. Namun demikian,
dalam kasus moralitas menurut Kant, kita masih mampu mengetahui apa
yang benar. Ada cara-cara dimana kita dapat mengerjakan apa yang
menjadi tugas kita, melalui prinsip-prinsip penguniversalan dimana kita
merencanakan untuk bertindak dan mempertimbangkan implikasi dari
prinsip-prinsip tersebut untuk menjadi hukum universal yang disebut “categorical
imperative” atau berlaku mendesak secara kategoris.[24]
Namun demikian, untuk bertindak secara moral bukan
sekedar melakukan hal yang benar, tetapi untuk melakukan hal yang benar demi
melakukan hal yang benar itu sendiri bukan melakukan itu demi hal itu cocok
dengan kita atau tidak. Bagi Kant, memberi uang pada pengemis karena kasihan
padanya adalah bukan tindakan moral, yang bisa di sebut tindakan
moral adalah memberi uang pada pengemis dikarenakan amal baik dan bisa di
universalkan sebagai hal yang baik. Jadi, kapasitas moral yang sama-sama
dimiliki manusia ini, menurut Kant, adalah yang membedakan kita dengan binatang
dan membuat kita secara khusus layak di hormati.[25]
Mungkin, implikasi
paling terkenal yang bisa di tarik Kant dari analisisnya tentang kapasitas
moral kita untuk mengetahui dan menjalankan hukum moral adalah argumennya bahwa
manusia tidak boleh di perlakukan sebagai sarana tujuan-tujuan tertentu.
Prinsip ini menjadi salah satu inspirasi bagi ide Hak Asasi Manusia secara universal
yang sangat berpengaruh pada abad ke-20. Teori moral Kant juga terus menjadi
acuan yang sangat penting bagi teori selanjutnya dan bagi etika internasional
kontemporer. Bagi beberapa pihak, pandangannya tentang moralitas menangkap inti
rasional dan universal tentang penalaran moral, yang kemudian dapat memberi
tolak ukur bagi kritik moral yang beroperasi melintasi batas-batas budaya dan
kekuasaan. Bagi pihak lain, teori moral Kant tidak mampu mempertahankan
klaimnya terhadap universalitas, terlalu abstrak dan rasionalistik, dan karena
itu tidak peka terhadap kekhasan pengalaman dan tradisi etis yang berbeda. Dalam hal hukum moralitas yang universal yang
diperdebatkan seperti dikutip berikut ini:
According to Kant deontology, the ultimate principle of morality must
be a moral law conceived so abstractly that it is capable of guiding us to the
right action in application to every possible set of circumstances. So the only
relevant feature of the moral law is its generality, the fact that it has the
formal property of universalizability, by virtue of which it can
be applied at all times to every moral agent. From this chain of reasoning
about our ordinary moral concepts, Kant derived as a preliminary statement of
moral obligation the notion that right actions are those that practical reason
would will as universal law.[26]
Berdasarkan
deontoliginya Kant, dia mengatakan bahwa moralitas harus dijadikan sebagaikewajiban,
prinsip dan jugasebagai hukum.Dalam konsepsi moralitas yang abstrak itu
sesungguhnya mampu membimbing kita kepada tindakan yang tepat dalamkeadaan
apapun. Jadi satu-satunya bagian yang sesuai dari hukummoral itu adalah keumumannya,
faktanyamoral memiliki sifat formal dari keuniversalannya yang dapat diterapkan
pada setiap saat bagi pelaku moral. Dari keseluruhan nalar kita tentang
konsep moral, Kant memberikan pernyataan tentang kewajiban moral itu sendiri,
kewajiban moral itu dalam gagasannya adalah setiap tindakan yang
tepat adalah mereka yang melakukan tindakan bermoral secara praktis atas
kemauannya tanpa tujuan tertentu itulah yang disebut dengan
hukum universal.
Meskipun hukum keuniversalan tentang moralitas dipermasalahkan akan tetapi paling tidak berfungsi secara
praktis seperti dikutip berikut ini:
Reason is transcendent for theoretical philosophy,
that is, it is a concept such that no instance corresponding to it can be given
in any possible experience, and of an object of which we cannot obtain any
theoretical knowledge: The concept of freedom cannot hold as a constitutive but
solely as a regulative and, indeed, merely negative principle of speculative
reason. But in reason's practical use the concept of freedom proves its reality
by practical principles, which are laws of a causality of pure reason for
determining choice independently of any empirical conditions (of sensibility
generally) and prove a pure will in us, in which moral concepts and laws have
their source. On this concept of freedom, which is positive (from a practical
point of view), are based unconditional practical laws, which are called moral.
For us, whose choice is sensibly affected and so does not of itself.[27]
Alasan transenden dalam filsafat teoritis adalah tentang sebuah
konsep pengalaman dan mungkin tidak ada contoh yang sesuai dengan itu. Dimana
konsep pengalaman dari obyek yang kita tidak dapat memperolehnya dalam
pengetahuan secara teoritis: Konsep kebebasan tidak hanya semata-mata sebagai
konstitutif akan tetapi sebagai alasan yang regulatif dan memang itu
hanya alasan prinsip yang negatif bukan alasan spekulatif. Akan
tetapi alasan penggunaan konsep kebebasan secara praktis ini membuktikan
realitasnya pada prinsip-prinsip yang praktis, dimana itu semua merupakan hukum
kausalitas atau alasan secara alami dalam menentukan pilihan
secara independen dari kondisi-kondisi empiris atau kepekaan umum yang
membuktikan kemauan secara alami dalam diri kita, dimana konsep moral dan hukum
itu sesungguhnya memiliki sumber tersendiri. Pada konsep kebebasan yang positif
ini sebenarnya harus dilihat dari sudut pandang dan harus didasarkan
pada hukum yang praktis tanpa syarat apapun dan itulah yang disebut dengan moral.
Jadi pada dasarnya sebuah pilihan yang bijaksana itu tidak terkontaminasi oleh
keinginan atau tujuan apapun, akan tetapi berjalan dengan alasan yang
murni atau berjalan dengan sendirinya.
E. Perbedaan Antara Imperatif Hipotetis dan Imperatif
Kategoris
Dalam konteks ini penulis ingin mencoba menjabarkan
apa yang menjadi permasalahan dalam moralitas kita, dan apa yang harus kita
lakukan. Kant dalam menjabarkan mengenai moralitas yakni skadang-kadang kita agak
sulit membedakan antara imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Oleh
karena penulis mencoba menjabarkan perbedaan diantara keduanya sebagai landasan
kita dalam hidup berdemokrasi.
1. Imperatif Hipotetis
Imperatif
Hipotetis adalah perintah bersyarat yang mengatakan suatu tindakan diperlukan
sebagai sarana atau syarat untuk mencapai sesuatu yang yang diinginkan. Prinsip-prinsip
dari imperatif-hipotetis hanya menyaratkan adanya tujuan-tujuan tertentu yang
mau dicapai saja sehingga melakukan hal yang baik. Contohnya: jika para pejabat
ingin menduduki posisi tertinggi, maka harus berani blusukan dan menyuarakan
kepentingan-kepentingan rakyat. Perintah dalam imperatif hipotetis memang
memberikan suatu perbuatan yang baik dalam arti tertentu seperti “menduduki
posisi tertinggi” sebab ada syarat untuk meraih suatu tujuan.[28]
Sebuah imperatif memberitahu kita tindakan-tindakan
mana yang baik, dan di lain pihak imperatif yang sama juga merumuskan suatu
kaidah praktis bagi kehendak kita. Dengan adanya imperatif, kita bisa tahu
tindakan yang diambil adalah baik tetapi dalam arti tertentu, yang perlu
diperhatikan adalah kita tidak harus mengambil tindakan tersebut atau bahkan
kita dapat menolak kaidah budi praktis tersebut. Imperatif hipotetis hanya menyatakan
bahwa suatu tindakan itu baik bagi suatu tujuan yang mungkin diinginkan atau
tujuan yang nyatanya diinginkan. Dalam artian kita melakukan hal yang baik
karena ada tujuan tertentu saja untuk kepentingan kita.
a). Imperatif hipotetis
problematis
kadang-kadang imperatif hipotetis bersifat problematik
jika tujuan yang hendak dicapai adalah apa yang mungkin diinginkan. Sedangkan
imperatif hipotetis bersifat pragmatis bila tujuan yang hendak dicapai adalah
jelas atau nyata diinginkan. Segala sesuatu yang dapat dicapai oleh usaha
manusia berbudi adalah sebuah tujuan yang bisa saja dikehendaki oleh dirinya
sendiri. Sebagai akibat dari
semuanya itu adalah adanya banyak prinsip tindakan yang jumlahnya tidak
terhingga tetapi sejauh tindakan tersebut dimengerti sebagai suatu yang mutlak
perlu untuk meraih tujuan tertentu. Semuanya itu terdapat pada ilmu pengetahuan
alam dan sering disebut imperatif–imperatif kecakapan. Didalamnya tidak ada
permasalahan mengenai rasionalitas atau kebaikan dari tujuan tersebut.
Realitas ini menunjukkan bahwa
banyaknya tujuan yang diinginkan oleh kebanyakan orang dan banyaknya
sarana-sarana yang dipakai dan diperlukan seringkali bertentangan satu sama
lain. Kant berpendapat bahwa apabila tujuan yang ingin dicapai adalah apa yang
mungkin diinginkan orang, maka imperatif hipotetisnya bersifat problematik.
Sebagai gambaran secara umum,mungkin kita
semua masih ingat ketika masih anak-anak dulu, kita tidak tahu apa yang
menjadi tujuan hidup kita kedepannya. Akan tetapi orangtualah yang membantu
membekali kita dengan kemampuan menggunakan sarana-sarana yang ada demi meraih
sesuatu yang mungkin kita inginkan. Tetapi sebenarnya mereka juga tidak tahu
dengan pasti apa yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dalam hidup anaknya
kelak. Orangtua mendidik anak-anaknya
dengan berpikir bahwa selama apa yang ingin dicapai adalah apa yang mungkin
anak mereka inginkan. Maka orangtua perlu memberikan kecakapan-kecakapan dalam
memakai berbagai hal yang mungkin akan mereka capai sebagai tujuanya. Akibatnya
masing-masing orang tua bisa memiliki sesuatu dan tujuan untuk mencapai apa
yang mereka inginkan yang pastinya berbeda-beda atau bahkan dapat saling
bertentangan satu sama lain.
Ada
satu tujuan yang berbeda yang mungkin dinginkan dan pada kenyataannya
sudah tentu dinginkan oleh setiap orang. Tujuan yang diinginkan
tersebut adalah kebahagiaan. Maksud dari kebahagiaan ini menurut Kant adalah
terpuaskannya semua keinginan dan kecenderungan manusia yang tetap dibidang
empiris seperti: kekayaan, kehormatan, kekuasaan, kesejahteraan, kesehatan,
dll. Kebahagiaan sebagai tujuan,
menurut Kant tidak hanyasesuatu yang bisa dimiliki manusia, melainkan juga
dapat dipastikan sebagai suatu yang diidamkan manusia berdasarkan keharusan
kodratnya.[29]
b). Imperatif hipotetis
asertoris
Imperatif hipotetis asertoris
merupakan sebuah tindakan yang menegaskan keharusan praktis suatu tindakan
sebagai sarana untuk menggapai suatu tujuan. Imperatif hipotetis asertoris memerintahkan
orang untuk mencapai tujuan yang hendak dicapainya, misalnya: “kebahagiaan” imperatif
tersebut akan mengatakan misalnya; setiap orang memang menghendaki kebahagiaan
karena keharusan kodrat, sehingga kita wajib dan perlu melakukan banyak cara untuk
dapat mencapainya. Sudah barang tentu kita memerlukan tindakan-tindakan tertentu sebagai sarana untuk dapat mewujudkannya,
contohnya: Apabila kita ingin sukses dalam hidup maka berusahalah dengan
sungguh-sunguh dan jangan mudah menyerah apabila menghadapi
permasalahan.
Jadi kebahagiaan bukanlah suatu
tujuan yang dapat diletakkan di hadapan kita atau dikesampingkan dengan sesuka
hati, seperti seseorang memilih atau tidak memilih suatu barang kesukaannya. Karena
dalam imperatif hipotetis asertoris keharusan tindakan yang diperintahkan
secara spontan, mungkin kitabisa kenyataanya setiap orang menghendaki
kebahagiaan. Imperatif hipotetis asertoris menekankan bahwa semua orang memang benar-benar
menghendaki yang namanya kebahagiaan dan pastinya kita wajib melakukan tindakan
tertentu guna mencapai semuanya itu.
Imperatif
hipotetis asertoris tidak hanya menunjukkan sarana-sarana yang perlu untuk
mencapai apa yang diinginkan, melainkan juga sarana-sarana untuk mencapai
tujuan yang dapat kita andaikan a priori yang mutlak perlu dan dapat
dipastikan ada pada diri setiap orang berdasarkan keharusan kodratnya, kemampuan
orang untuk memilih sarana-sarana yang tepat demi mencapai kebahagiaan ini
dinamai oleh Kant sebagai wisdom (kebijaksanaan).[30]
Jadi sebuah perintah yang berhubungan dengan pemilihan
sarana-sarana untuk mencapai kebahagiaan tersebut menurut Kant disebut sebagai
petunjuk-petunjuk kebijaksanaan yang tetap bersifat hipotetis. Dalam imperatif
hipotetis asertoris, suatu perbuatan atau tindakan diperintahkan tidak secara
mutlak, melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih lanjut.
Hingga pada akhirnya menurut Kant ada imperatif yang memerintahkan suatu
tindakan dilakukan begitu saja dan terlepas dari tujuan yang hendak dicapai dan
imperatif ini bersifat kategoris.
2. imperatif
kategoris
Manusia
dalam dinamika hidupnya sebenarnya senantiasa dipengaruhi oleh berbagai bentuk
pemikiran dan pemahamannya masing-masing. Dapat juga dikatakan bahwa citra diri
dan eksistensinya merupakan wujud dari perkembangan budi dan rasionalnya. Dalam
konteks ini kant beranggapan imperatif kategoris mengikat para pelaku rasional,
semata-mata karena mereka makhluk rasional dengan kata lain seseorang yang tidak
menerima prinsip ini dinyatakan bersalah bukan hanya tidak bermoral melainkan
karena irrasioanal. Hal ini mencengangkan kita bahwa ada dorongan baik rasional
maupun moral atas apa yang boleh dipercayai dan dilakukan oleh orang yang baik.
Tetapi apakah sesungguhnya ini, dalam hal apa kita harus menolak imperatif
kategoris akan berarti rsional
Gagasan pokok adalah seperti ini, suatu keputusan moral
harus didukung oleh alasan-alasan yang baik jikalau benar bahwa anda harus atau
tidak boleh melakukan sesuatu tindakan, maka harus ada alasan mengapa anda
harus melakukan atau tidak bolehmelakukan itu. Misalnya kita berpikir bahwa
kita tidak boleh membakar hutan karena hal itu akanmerusak harta orang dan
orang-oang akan terbunuh.[31]
Jebakan Kant terletakpada kenyataan, “jikalau kita bisa
mengartikan hal-hal itu sebagai alasan untuk satu kasus, kita juga harus
menerimanya sebagai alasan-alasan dalam kasus lain”. Jikalau ada kasus lain
dimana harta rusak orang-orang tebunuh apakah kita harus menerima hal itu
sebagai alsan untuk tindakan dalamkasus itu juga. Tidak baik mengatakan bahwa
kita menerima alsan-alasan itu pada suatu saat, tetapi tidak untuk seterusnya;
atau orang lain harus menghormatinya serta menerimanya tetapi kita tidak harus.
Alasan moralnya jika benar karena mengikat semua orang pada setiap waktu. Inilah tuntutan untuk konsistensi, dan Kant benar
ketika beranggapan bahwa tak ada seorangpun yang rasional dapat menyangkalnya.[32]
Dalam imperatif kategoris ini ada kewajiban yang
menentukan sikap dan perilaku setiap manusia. Kewajiban itu sendiri menurut
Kant adalah paham a priori akal budi praktis murni, maka kewajiban itu
tidak bersandar dari suatu realitas empiris. Maka Kant menyajikan dua kriteria
untuk mengetahui kewajiban itu. Kriteria itu tidak hanya sekedar perintah,
lebih jauh lagi Kant menyebutnya dalam Imperatif. Inti dari imperatif kategoris ini adalah bertindaklah
secara moral/maksim. Ada dua segi yang
perlu dalam imperatif kategoris ini. Pertama, bahwa dia berupa perintah, dan
kedua, bahwa perintah itu kategoris.[33]
Dalam konteks negara
demokrasi sesungguhnya para pejabat harus memperhatikan apa yang disebut dengan
Imperatif kategoris oleh Kant agar kita lebih bermoral. Bukan hanya sekedar mengusung nama rakyat, aspirasi rakyat
untuk kepentingan pribadi semata, sehingga rakyat
hanya sebagai sarana serta kambing hitam dalam mencapai tujuan saja. Akan
tetapi kita harus memperhatikan imperatif kategoris ini sebuah landasan dalam
bertindak karena imperatif kategorisini adalah keharusan yang tidak bersyarat,
melainkan mutlak. Imperatif ini memerintahkan sesuatu bukan untuk mencapai
tujuan tertentu, melainkan karena perintah itu baik pada dirinya. Jelas bahwa
bertindak secara moral tidak tergantung pada berbagai maksud baik atau tujuan
atau kondisi, melainkan berlaku kapan dan di mana saja dalam situasi apapun.
Bertindak secara moral dirumuskan oleh Immanuel Kant sebagai berikut, “Bertindaklah semata-mata menurut prinsip
(maksim)[34]
yang dapat sekaligus dan dikehendaki menjadi hukum umum”. Maksim itu menjadi dasar
penilaian moral terhadap orang lain. Etika yang mendasarkan pada maksim lebih
tepat dibandingkan etika peraturan atau norma.[35]
F. Kesimpulan
Dari ulasan mengenai etika di atas penulis mencoba
menarik kesimpulan dari intisari ajaran etika Immanuel Kant. Ajaran Kant tentang etika
sungguh-sungguh terdiri dari etika yang sangat murni. Dalam prinsip akal budi praktis yang murni terdiri
dari prinsip-prinsip praktis dalam arti proposisi-proposisi yang berisi
ketentuan umum kehendak, yang memiliki beberapa aturan secara praktis.
Prinsip-prinsip itu bersifat subjektif, atau merupakan maksim-maksim, jika
kondisi ini dianggap oleh subjek sebagai suatu yang benar hanya bagi
kehendaknya sendiri akan tetapi prinsip-prinsip
itu bersifat objektif, atau merupakan hukum praktis, ketika kondisi tersebut
oleh subjek diketahui objektif, yakni sahih untuk kehendak setiap makhluk yang
rasional.
Dari ajaran Kant tentang etika juga terdapat pembagian
yakni. Pertama, bagi Kant etika menjadi kewajiban mendasar dalam
tindakan moral dan moralitas. Dan terlebih lagi dalam konteks negara demokrasi harus
selalu mempertimbangkan nilai-nilai moralitas, karena etika merupakan kesesuaian antara sifat dan
perbuatan manusia dengan norma hukum batiniah manusia. Kedua, kewajiban
yang menjadi dasar tindakan moral memiliki dua Kriteria yang disebut dengan
imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Imperatif hipotetis merupakan
perintah bersyarat, artinya suatu tindakan diperlukan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan. Sedangkan imperatif kategoris adalah keharusan yang tidak
bersyarat kita melakukan hal baik karena secara spontanitas.
Untuk kita semua, mungkin selama ini kita sering
menonton fenomena serta aplikasi demokrasi di negara ini, dimana demokrasi itu lebih cenderung kepada imperatif hipotetis, yakni
bertindak untuk mendapatkan sesuatu yang hendak dicapai tanpa memperhatikan
nilai moral yang terkandung didalamnya. Dan cenderung bertindak
hanya mementingkan urusan pribadi semata dan bahkan kita selalu membuat orang
lain menjadi sarana demi kepentingan kita, dan dalam konteks negara demokrasi
disini bahwa masyarakat sebagai korban dan sarana semata, bukan bertindak hanya
demi kepentingan pribadi dan memanfaatkan orang lain menjadi sarana kepentingan
kita. Oleh karena itu mulai
saat ini hendaknya kita selalu memperhatikan nilai-nilai moral serta etika
kewajiban deontologi sebelum bertindak, dan untuk menjawab itu semua
Immanuel Kant telah merekomendasikan kepada kita mengenai kewajiban-kewajiban
dan menyeru kita untuk bertindak berdasarkan kewajiban mutlak dalam diri kita masing-masing dan tentunya demi bangsa yang kita
cintai.
DAFTAR PUSTAKA
Awaludinblogspot.com
diakses 23 Maret 2013.
Barcalow, Emmet, Moral
Philosophy Theories And Issues, United States Of America: Wadsworth Publishing Company, 1998.
Blacburn, Simon, Kamus
Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Kant, Immanuel, The
Metaphysics Of Moral, United States Of America: Cambridge University Press, 1991.
----------------------,
Critique Of Pure Reason, The Liberal Arts Press New York, 1956.
Kaplan, M., David, Recoeur’s
Critical Theory, terj. Ruslani Yogyakarta: Pustaka Utama Yogyakarta 2010.
Rachels James,The
Elements Of Moral Phylosophy, terj. A. Sudiarja, Yogyakarta: Kanisius,
2004.
Suharyo, I.,Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Suseno, Magnis,
Franz, Menjadi Manusia Belajar Dari Aristoteles, Yogyakarta: Kanisius, 2009.
--------------------, 13 Tokoh Etika: Sejak Jaman
Yunani Sampai Abad ke-19, Yogyakarta:
Kanisius, 1997.
Tjahjadi, Lili,S.P., Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang
Etika dan Imperatif Kategoris, Yogyakarta:
Kanisius, 1991.
--------------------, Petualangan Intelektual, Yogyakarta,
Kanisius 2004.
[2]James Rachels, The Elements Of Moral Phylosophy, Terj. A.
Sudiarja, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 17.
[3]Emmet Barcalow, Moral Philosophy Theories And Issues, (United
States Of America: Wadsworth Publishing Company, 1998), hlm. 1.
[4]James Rachels, The Elements Of Moral..., hlm. 42.
[5]S.P. Lili
Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif
Kategoris, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 25.
[6]Pietism(pietisme) adalah gerakan devosi di
gereja lutheran; secara luas pietisme adalah sikap apapun terhadap agama yang
menekankan kesalehan dan iman lebih tinggi daripada pembuktian dan rasio. Baca
Simon Blacburn, Kamus Filsafat. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013),
hlm. 663. Pietisme adalah gerakan kebangkitan dalam Protestantisme yang
dirintis oleh Philipp Jakob Spener (1635-1705) yang menekankan doa, pembacaan
Kitab Suci, pengalaman religius, dan kehidupan Kristiani yang yang
sungguh-sungguh dalam komunitas-komunitas kecil. Gerakan ini muncul sebagi
reaksi untuk melawan ortodoksi formal Gerejawi resmi yang amat kuat. Pietisme
juga mendorong munculnya metodisme dan mempunyai pengaruh pada ahli-ahli
teologi. I. Suharyo,Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm.
256.
[7]Immanuel Kant, Critique Of Pure Reason, (The Liberal Arts Press
New York, 1956), hlm. xxxi-xxxii.
[8]S.P. Lili
Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika...,hlm.
25.
[9]Enlightenmentmerupakan periode pemikirna Eropa
yang dicirikan oleh penekanan terhadap pengalaman dan rasio, tidak mempercayai
agama dan otoritas tradisional, dan terjadi kemunculan bertahap ideal-ideal
tentang masyarakat yang liberal, sekuler dan demokratis. Di Inggris, gerakan
ini dimulai pada abad ke-17 lewat tulisan tulisan Francis Bacon dan Hobbes.
Sedangkan di perancis lebih pada penekanan baru terhadap rasio dan di tandai
oleh Descrates. Sedangkan di Jerman ditandai dengan filsafat kritis Kant. Simon
Blackburn, Kamus ..., hlm. 280.
[11]Immanuel Kant, Critique Of Pure...,hlm. 29.
[12] Demokrasi yang dimaksud
disini adalah pemerintahan dipegang oleh rakyat secara lansung, demokrasi
dalampemikiran Yunani kuno yang lahir di Athena merupakan pemerintahan oleh
warga langsung. Dalam masyarakat modern kedaulatan di tangan rakyat secara umum
baik laki-laki maupun perempuan yang di ekspresikan secara lansung lewat pemilu
dengan syarat-syarat tertentu. Silahkan
lihat Simon Blacburn, Kamus..., hlm.226.
[16]James Rachels, The Elements Of Moral..., hlm. 230.
[18]Eudaimoniaberasal dari
bahasa yunani yang berarti kebahagiaan, rasa kesejahteraan, keberhasilan, etika
eudaimonia ini adalah tujuan sentral semua sistem etika kuno. Menurut
Aristoteles ini adalah hal yang paling baik termulia danpaling menyenangkan di
dunia.Eudaimonia ini diartikan sebagai etika atau konsep kebahagian atau rasa kesejahteraan namun kata
ini memiliki konotasi yang sama dengankeberhasilan karena sebagai tambahan
untuk menjalani hidup dengan baik ia juga harus mengandung tindakan yang baik.
Simon Blackburn, Kamus ..., hlm. 295.
[21]Deontological Ethics (Etika Deontologis)
merupakan etika yang berdasarkan konsep tentang kewajiban, atau apa yang benar,
hak-hak, lawan dari sistem etika yang berdasarkan ide dasar meraih sejumlah kondisi
hubungan baikatau kualitas-kualitas karakter yang dibutuhkan untuk hidup dengan
baik. Sistem deontologis ini disuarkaan oleh Kant. Lihat Simon Blackburn, Kamus
..., hlm. 230.
[22]David M. Kaplan, Recoeur’s Critical Theory, terj. Ruslani,
(Yogyakarta: Pustaka Utama Yogyakarta 2010), hlm. 154.
[23]S.P. Lili.
Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta, Kanisius 2004),
hlm. 287.
[24]David M. Kaplan, Recoeur’s Critical...,hlm 155.
[25]Awaludinblogspot.com diakses 23 Maret 2013.
[27]Immanuel Kant, The Metaphysics Of Moral, (United States Of
America: Cambridge University Press, 1991), hlm. 48.
[28]S.P. Lili. Tjhajadi, Petualangan
…, hlm. 289.
[29]Ibid.
[30]Ibid.
[31]James Rachels, The Elements Of Moral..., hlm. 231.
[33]Franz Magnis Suseno, 13
Tokoh Etika: Sejak Jaman Yunani Sampai Abad ke-19(Yogyakarta:
Kanisius, 1997), hlm. 145
[34]Maxim adalah perintah subjektif
dalam bertindak, sikap dasar hati orang dalam mengambil sikap-sikap dan
tindakan-tindakan yang konkret. Maksim bukan segala macam pertimbangan. Maksim
adalah sikap-sikap dasar yang memberikan arah bersama kepada sejumlah maksud
dan tindakan konkret. Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika..., hlm.
147.
Maxim umumnya aturan atau panduan sederhana
dan mudah diingat untuk menjalani hidup: seperti contoh: mustahil pengutang
bisa memberi pinjaman. Sedangkan Tennyson membicarakan tentang maksim yakni
sekumpulan maksim yang dikhotbahkan langsung ke hati anak perempuan
sehingga maksim diasosiakan dengan pendekatan pepatah bagi moralitas. Dalam
penggunaan Kant setiap tindakan muncul sesuai dengan maksim atau prinsip
subjektif yang bersesuaian sehingga tindakan itu-pun dilakukan. Bentuk pertamanya
adalah imperatif kategoris yang menegaskan bahwa kita hanya bisa memberi
tahu apakah sebuah tindakan sudah benar dengan melihat apakah maksimnya
dapat diniatkan secara konsisten untuk menjadi hukum universal. Sedangkan dalam
Maximin Principle (prinsip maksim) yang kemukakan oleh John Rawls
mengatakan prinsip maksim adalah teori keputusan yang menyatakan bahwa
minimal dalam sejumlah situasi keputusan yang benar adalah yang sanggup
memaksimalkan hasil minimum dari situlah istilah ini berasal, maksimalisasi
yang minimum yaitumebuat hasil yang terburuk menjadi sebaik mungkin, pendapat
ini sering di deskripsikan sebagai pembalikan resiko. Prinsip ini merupakan
komponen kunci dalam karya John Rawls yang sangat berpengaruh yakni A Thery
Of Justice. Simon Blacburn, Kamus..., hlm. 541-532.