Archive for 2014
SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
By : Unknown
by. ishak hariyanto
A.
Latar belakang
Sejak zaman pra sejarah,
penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup
mengarungi lautan lepas. Sejak awal masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan
perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia
Tenggara. Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan
wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual
disana menarik bagi para pedagang, dan menjadi daerah lintasan penting antara
Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku
dipasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk kemudian dijual kepada para pedagang
asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra dan Jawa antara abad ke-1 dan 7 M
sering disinggahi pedagang asing seperti Lamuri (Aceh), Barus, dan Palembang di
Sumatra; Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.[1]
Bersamaan dengan itu,
datang pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah. Mereka tidak hanya
membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada juga yang berupaya
menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah ada di Indonesia
ini bersamaan dengan kehadiran para pedagang Arab tersebut. Meskipun belum
tersebar secara intensif ke seluruh wilayah Indonesia.
B. Rumusan Masalah
a. Kapan Islam masuk ke
Indonesia?
b. Bagaimankah corak dan
perkembangan Islam di Indonesia?
c. Siapakah tokoh-tokoh
perkembangan Islam di Indonesia?
C. Masuknya Islam Ke Indonesia
Ditinjau dari sudut
sejarah, agama Islam masuk ke Indonesia melalui berbagai cara. Pada umumnya
pembawa agama Islam adalah para pedagang yang berasal dari jazirah Arab, mereka
merasa berkewajiban menyiarkan agama Islam kepada orang lain. Agama Islam masuk
ke Indonesia dengan cara damai, tidak dengan kekerasan, peperangan ataupun
paksaan.
Ada beberapa pendapat para
ahli tentang waktu dan daerah yang mula-mula dimasuki Islam di Indonesia, di
antaranya menurut Drs Juned Pariduri, berkesimpulan bahwa agama
Islam pertama kali masuk ke Indonesia melalui daerah Sumatra Utara (Tapanuli)
pada abad ke-7. Kesimpulan ini didasarkan pada penyelidikannya terhadap sebuah
makam Syaikh Mukaiddin di Tapanuli yang berangka tahun 48 H (670 M). Sedangkan Hamka, berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Jawa pada abad ke-7 M(674).
Hal ini didasarkan pada kisah sejarah yang menceritakan tentang Raja Ta-Cheh
yang mengirimkan utusan menghadap Ratu Sima dan menaruh pundi-pundi berisi emas
ditengah-tengah jalan dengan maksud untuk menguji kejujuran, keamanan dan
kemakmuran negeri itu. Menurut Hamka, Raja Ta-Cheh adalah Raja Arab Islam, dan
pendapat Zainal Arifin Abbas, berpendapat bahwa agama Islam masuk di Sumatra
Utara pada abad 7 M (648). Beliau mengatakan pada waktu itu telah datang di
Tiongkok seorang pemimpin Arab Islam yang telah mempunyai pengikut di Sumatra
Utara.
Berdasarkan pendapat para
ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad
ke-7 M. Pada abad ke-13 agama Islam berkembang dengan pesat ke
seluruh Indonesia. Hal itu di tandai dengan adanya penemuan-penemuan batu nisan
atau makam yang berciri khas Islam, misalnya di Leran (dekat Gresik) terdapat
sebuah batu berisi keterangan tentang meninggalnya seorang perempuan bernama
Fatimah binti Maimun pada tahun 1082 dan di Samudra Pasai terdapat makam-makam
Raja Islam, di antaranya Sultan Malik as-Shaleh yang meninggal pada tahun 676 H
atau 1292 M.
Berbeda dengan pendapat di atas, dua orang sarjana barat yaitu Prof.
Gabriel Ferrand dan Prof. Paul Wheatly. Bersumber pada keterangan para musafir
dan pedagang Arab tentang Asia Tenggara, maka ke-2 sarjana tersebut bahwa agama
Islam masuk ke Indonesia sejak awal ke-8 M, langsung dibawa oleh para pedagang
dan musafir Arab.
D. Corak dan Perkembangan Islam di Indonesia
·
Masa Kesulthanan
Untuk melihat lebih jelas
gambaran keislaman di kesultanan atau kerajaan-kerajaan Islam akan di uraikan
sebagai berikut.
Di daerah-daerah yang sedikit sekali di sentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha
seperti daerah-daerah Aceh dan Minangkabau di Sumatera dan Banten di Jawa, Agama
Islam secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama, sosial dan politik
penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut agama Islam itu telah
menunjukkan diri dalam bentuk yang lebih murni.[2]
Di kerajaan Banjar, dengan masuk Islamnya raja, perkembangan Islam
selanjutnya tidak begitu sulit karena raja menunjangnya dengan fasilitas dan
kemudahan-kemudahan lainnya dan hasilnya mebawa kepada kehidupan masyarakat
Banjar yang benar-benar bersendikan Islam. Secara konkrit, kehidupan keagamaan
di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya mufti dan qadhi atas jasa
Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang fiqih dan tasawuf. Di
kerajaan ini, telah berhasil pengkodifikasian hukum-hukum yang sepenuhnya
berorientasi pada hukum islam yang dinamakan Undang-Undang Sultan Adam. Dalam
Undang-Undang ini timbul kesan bahwa kedudukan mufti mirip dengan Mahkamah
Agung sekarang yang bertugas mengontrol dan kalau perlu berfungsi sebagai
lembaga untuk naik banding dari mahkamah biasa. Tercatat dalam sejarah Banjar,
di berlakukannya hukum bunuh bagi orang murtad, hukum
potong tangan untuk pencuri dan mendera bagi yang kedapatan berbuat zina.
Guna memadu penyebaran agama Islam dipulau jawa, maka dilakukan upaya agar
Islam dan tradisi Jawa didamaikan satu dengan yang lainnya, serta dibangun
masjid sebagai pusat pendidikan Islam.
Dengan kelonggaran-kelonggaran tersebut, tergeraklah petinggi dan penguasa
kerajaan untuk memeluk agama Islam. Bila penguasa memeluk agama Islam serta
memasukkan syari’at Islam ke daerah kerajaannya, rakyat pun akan masuk agama
tersebut dan akan melaksanakan ajarannya. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan
yang berada di bawah kekuasaannya. Ini seperti ketika di pimpin
oleh Sultan Agung. Ketika Sultan Agung masuk Islam, kerajaan-kerajaan yang ada
di bawah kekuasaan Mataram ikut pula masuk Islam seperti kerajaan Cirebon,
Priangan dan lain sebagainya. Lalu Sultan Agung menyesuaikan seluruh tata
laksana kerajaan dengan istilah-istilah keislaman, meskipun kadang-kadang tidak
sesuai dengan arti sebenarnya.
·
Masa Penjajahan
Ditengah-tengah proses
transformasi sosial yang relatif damai itu, datanglah pedagang-pedagang Barat,
yaitu portugis, kemudian spanyol, di susul Belanda dan Inggris. Tujuannya
adalah menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam Indonesia di sepanjang pesisir
kepulauan Nusantara ini.
Pada mulanya mereka datang ke Indonesia hanya untuk menjalinkan hubungan
dagang karena Indonesia kaya akan rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin
memonopoli perdagangan tersebut dan menjadi tuan bagi bangsa Indonesia.
Apalagi setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat
urusan pribumi dan Arab, pemerintah Hindia-Belanda lebih berani membuat
kebijaksanaan mengenai masalah Islam di Indonesia karena Snouck mempunyai
pengalaman dalam penelitian lapangan di Negeri Arab, Jawa dan Aceh. Lalu ia
mengemukakan gagasannya yang di kenal dengan politik Islam di Indonesia. Dengan
politik itu ia membagi masalah Islam dalam tiga kategori yaitu:
a. Bidang agama murni atau
ibadah;
b. Bidang sosial
kemasyarakatan; dan
c. Politik.
Terhadap bidang agama
murni, pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk
melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah
Belanda.
Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang
berlaku sehingga pada waktu itu dicetuskanlah teori untuk membatasi keberlakuan
hukum Islam, yakni teori reseptie yang maksudnya hukum Islam baru bisa
diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan alat kebiasaan. Oleh karena itu,
terjadi kemandekan hukum Islam.[3]
Sedangkan dalam bidang
politik, pemerintah melarang keras orang Islam membahas hukum Islam baik dari
Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan atau
ketatanegaraan.
·
Gerakan dan organisasi Islam
Akibat dari “resep
politik Islam”-nya Snouck Hurgronye itu, menjelang permulaan abad xx umat Islam
Indonesia yang jumlahnya semakin bertambah menghadapi tiga tayangan dari
pemerintah Hindia Belanda, yaitu: politik devide etimpera, politik penindasan
dengan kekerasan dan politik menjinakan melalui asosiasi.
Namun, ajaran Islam pada
hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Dengan
pengalaman tersebut, orang Islam bangkit dengan menggunakan taktik baru, bukan
dengan perlawanan fisik tetapi dengan membangun organisasi. Oleh karena itu,
masa terakhir kekuasaan Belanda di Indonesiadi tandai dengan tumbuhnya
kesadaran berpolitik bagi bangsa Indonesia, sebagai hasil perubahan-perubahan
sosial dan ekonomi, dampak dari pendidikan Barat, serta gagasan-gagasan aliran
pembaruan Islam di Mesir.
Akibat dari situasi ini,
timbullah perkumpulan-perkumpulan politik baru dan muncullah pemikir-pemikir
politik yang sadar diri. Karena persatuan dalam syarikat Islam itu berdasarkan
ideologi Islam, yakni hanya orang Indonesia yang beragama Islamlah yang dapat
di terima dalam organisasi tersebut, para pejabat dan
pemerintahan (pangreh praja) ditolak dari keanggotaan itu.
Persaingan antara
partai-partai politik itu mengakibatkan putusnya hubungan antara pemimpin
Islam, yaitu santri dan para pengikut tradisi Jawa dan abangan. Di kalangan
santri sendiri, dengan lahirnya gerakan pembaruan Islam dari Mesir yang
mengompromikan rasionalisme Barat dengan fundamentalisme Islam, telah
menimbulkan perpecahan sehingga sejak itu dikalangan kaum muslimin terdapat dua
kubu: para cendekiawan Muslimin berpendidikan Barat, dan para kiayi serta Ulama
tradisional.
Selama pendudukan jepang,
pihak Jepang rupanya lebih memihak kepada kaum muslimin dari pada golongan
nasionalis karena mereka berusaha menggunakan agama untuk tujuan perang mereka.
Ada tiga perantara politik berikut ini yang merupakan hasil bentukan pemerintah
Jepang yang menguntungkan kaum muslimin, yaitu:
1. Shumubu, yaitu
Kantor Urusan Agama yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi zaman Belanda.
2. Masyumi,
yakni singkatan dari Majelis Syura Muslimin Indonesia menggantikan MIAI yang
dibubarkan pada bulan oktober 1943.
3. Hizbullah, semacam organisasi
militer untuk pemuda-pemuda Muslimin yang dipimpin oleh Zainul Arifin.[4]
E. Tokoh-Tokoh Dalam Perkembangan Islam Di Indonesia
Proses penyebaran Islam di
wilayah indonesia tidak dapat dilepas dari peran aktif para ulama. Melalui
merekalah Islam dapat diterima dengan baik dikalangan masyarakat. Di antara
Ulama tersebut adalah sebagai berikut:
a.Hamzah Fansuri
Hidup pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda sekitar tahun 1590. Pengembaraan
intelektualnya tidak hanya di Fansur-Aceh, tetapi juga ke India, Persia, Mekkah
dan Madinah. Dalam pengembaraan itu ia sempat mempelajari ilmu fiqh, tauhid,
tasawuf, dan sastra Arab.
b. Syaikh Muhammad Yusuf
Al-Makasari
Beliau lahir di Moncong
Loe, Gowa, Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Juli 1626 M/1037 H. Ia memperoleh
pengetahuan Islam dari banyak guru, di antaranya yaitu; Sayid Ba Alwi bin Abdullah
Al-‘allaham (orang Arab yang menetap di Bontoala), Syaikh Nuruddin Ar-Raniri
(Aceh), Muhammad bin Wajih As-Sa’di Al-Yamani (Yaman), Ayub bin Ahmad bin Ayub
Ad-Dimisqi Al-Khalwati (Damaskus), dan lain sebagainya.[5]
c. Syaikh Abdussamad
Al-Palimbani
Dia merupakan salah
seorang ulama terkenal yang berasal dari Sumatra Selatan. Ayahnya adalah
seorang Sayid dari San’a, Yaman. Ia dikirim ayahnya ke Timur Tengah untuk
belajar. Di antara ulama sezaman yang sempat bertemu dengan beliau adalah;
Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Bugis, Abdurrahman Bugis
Al-Batawi dan Daud Al-Tatani.[6]
d. Syaikh Muhammad bin Umar
n-Nawawi Al-Bantani
Beliau lahir di Tanar,
Serang, Banten. Sejak kecil ia dan kedua saudaranya, Tamim dan Ahmad, di didik
oleh ayahnya dalam bidang agama; ilmu nahwu, fiqh dan tafsir. Selain itu ia
juga belajar dari Haji Sabal, ulama terkenal saat itu, dan dari Raden Haji
Yusuf di Purwakarta Jawa Barat. Kemudian ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan
ibadah haji dan menetap disana kurang lebih tiga tahun. Di Mekkah ia belajar
Sayid Abmad bi Sayid Abdurrahman An-Nawawi, Sayid Ahmad Dimyati dan Sayid Ahmad
Zaini Dahlan. Sedangkan di Madinah ia berguru kepada Syaikh Muhammad Khatib
Sambas Al-Hambali. Selain itu ia juga mempunyai guru utama dari Mesir.
Pada tahun 1833 beliau
kembali ke Banten. Dengan bekal pengetahuan agamanya ia banyak terlibat proses
belajar mengajar dengan para pemuda di wilayahnya yang tertarik denga
kepandaiannya.. tetapi ternyata beliau tidak betah tinggal di kampung halamannya.
Karena itu pada tahun 1855 ia berangkat ke Haramain dan menetap disana hingga
beliau wafat pada tahun 1897 M/1314 H.
e. Wali Songo
Dalam sejarah penyebaran
Islam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa terdapat sembilan orang ulama yang
memiliki peran sangat besar. Mereka dikenal dengan sebutan wali songo.
Para wali ini umumnya tinggal di pantai utara Jawa sejak dari abad ke-15
hingga pertengahan abad ke-16. Para wali menyebarkan Islam di Jawa di tiga
wilayah penting, yaitu; Surabaya, Gresik dan Lamongan (Jawa Timur), Demak,
Kudus dan Muria (Jawa Tengah), serta di Cirebon Jawa Barat. Wali Songo adalah
para ulama yang menjadi pembaru masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan
berbagai bentuk peradaban baru seperti, kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan,
kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Adapun wali-wali tersebut
yaitu; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Sunan Kudus dan Sunan Muria.
F. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas
dapat kami simpulkan sebagai berikut:
a. Perkembangan Islam
di Indonesia adalah berkat peran para pedagang dari Jazirah Arabia melalui
jalan perdagangan, dakwah dan perkawinan.
b. Para ulama awal
yang menyebarkan Islam di Indonesia di antaranya yaitu; Hamzah Fansuri, Syaikh
Muhammad Yusuf Al-Makasari, Syaikh Abdussamad Al-Palimbani, Syaikh Muhammad bin
Umar Nawawi Al-Bantani dan wali songo (Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel,
Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat,
Sunan Kudus dan Sunan Muria)
[1]Untuk penjelasan teori-teori
masuknya islam di nusantara (termasuk di jawa) dapat di lacak beberapa buku,
misalnya T.W. Arnold, the preaching of islam: A history of the
propagation of the muslim faith (lahore SA Muhammad asraf, 1968), hlm. 369,
tan sen, Cheng ho: penyebar islam dari china ke nusantara (jakarta: penerbit
buku kompas2010); john bastin dan jullian benda , a history of modern
southeast asia (new jersey: prentice hall, 1968), hlm. 6-15